Negara Maju Dengan Mendengar

Ade Marantika Al hafidsOleh :
Ade Marantika Al-Huroirota
Pengajar di Ponpes Daarel Azhar Banten , Peraih Beasiswa Lembaga Monash Institute Semarang

Kebutuhan hidup zaman modern yang semakin besar, sementara mendapatkan pekerjaan semakin sulit, membuat orang mudah marah, emosi, dan kerap dilanda stres. Orang lebih sering berkeluh kesah, menggerutu, menyalahkan orang lain, bahkan keadaan. Himpitan kebutuhan (keinginan?) yang terasa mendesak, membuat orang sibuk dengan rutinitas pekerjaan dan tak punya waktu untuk sekedar merenung, merefleksikan diri, mengevaluasi diri, dengan mendengar orang di sekelilingnya. Orang tidak punya waktu untuk sekedar mendengar. Aktifitas mendengar menjadi langka.
Mendengar adalah istilah yang terdengar sederhana, namun sulit dilakukan. Jarang orang bisa mendengar segala ucapan, nasehat, keluhan, saran, terlebih kritik dari orang lain dengan sabar dan ikhlas. Orang lebih suka didengar ketimbang mendengar. Orang lebih suka memberi saran, kritik, sanggahan, bahkan umpatan ketimbang mendengarkan orang lain.
Di kalangan pejabat Negara selama ini, laku mendengar jarang terlihat. Pejabat negara yang pada dasarnya bekerja untuk rakyat, lebih sering disibukkan dengan urusannya sendiri dan seakan jauh dari rakyat. Rakyat yang telah memilihnya, jarang ia dengar. Mereka menjadi tiba-tiba dekat dengan rakyat hanya ketika musim kampanye tiba. Namun, “kedekatan musiman” itu juga bukan untuk mendengar, namun justru karena ingin didengar, mendengarkan janji-janjinya agar rakyat tertarik dan memilihnya.
Sedikiit sosok pemimpin yang memiliki kemampuan mendengar. Presiden terpilih Joko Widodo merupakan satu diantaranya dan kita harus mengakui hal itu. Ketika menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, Ia mempopulerkan gaya memimpin dengan blusukan. Dengan turun langsung kelapangan, Ia melakukan pemeriksaan (checking) dan pengawasan (monitoring) terhadap proyek pemerintah yang sedang dikerjakan.
Dan yang paling disukai masyarakat, Ia mendengar keluh kesah, saran, dan masukan-masukan dari masyarakat secara langsung. Dapat diduga, laku mendengar itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa lebih dari tujuh puluh juta rakyat Indonesia memilihnya sebagai presiden dalam pilpres Juli lalu. Laku mendengar itu telah melahirkan harapan dan kepercayaan rakyat.
Ketika seseorang didengarkan, Ia merasa dihargai, lebih jauh ia merasa dihormati. Pada gilirannya, orang yang mau mendengar akan memiliki daya tarik tersendiri di mata orang lain. Seperti yang tertulis dalam buku Kepribadian Magnetis (2005) bahwa salah satu hal yang membuat seseorang memiliki kepribadian yang memikat adalah karena seseorang itu memiliki kemampuan mendengarkan orang lain dengan baik.
Laku mendengar yang baik, tidak berarti pasif. Mendengar berarti melakukan persiapan sebaik mungkin untuk dapat memberikan tanggapan, nasehat, saran, atau kebijakan dengan tepat, sesuai dengan persoalan yang dihadapi pihak yang didengar. Hal ini jelas, karena tidak mungkin orang dapat memberikan suatu rekomendasi, solusi, atau saran pada orang lain yang sedang memiliki masalah tanpa tahu apa masalahnya dengan jelas.
Mencontoh dan Membudayakan
Ketika presiden terpilih merupakan sosok yang mau mendengar, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana masyarakat mencontoh dan menjadikannya teladan. Ini penting, sebab pemimpin memang harus mampu menjadi teladan bagi yang dipimpin. Sifat baik seseorang pemimpin semestinya tertular di kalangan yang dipimpin. Di samping itu, bagi bangsa dengan karakter majemuk seperti Indonesia, laku mendengar merupakan manivestasi paling dasar dari rasa saling menghormati dan menghargai yang dibutuhkan demi terciptanya persatuan dan perdamaian di tengah perbedaan yang ada.
Berbagai persoalan atau konflik dalam masyarakat merupakan akibat dari ketidak sesuaian atau kepentingan, baik antara masyarakat dengan pembuat kebijakan (pemerintah), maupun antar masyarakat sendiri. Dalam konteks Negara kita, potensi konflik sangat besar. Hal ini karena kemajemukan suku, agama, dan ras yang merupakan keniscayaan bangsa sejak awal berdiri.
Konflik dapat diatasi dengan komunikasi, sementara komunikasi berkonsekuensi dengan laku mendengar dan berbicara.Pada titik inilah, kita, masyarakat, harus dapat menjadi bangsa yang mau mendengar. Sebuah bangsa yang tiap individu di dalamnya memiliki kemampuan mendengarkan orang lain yang berbeda pandangan, budaya, maupun keyakinan. Ini agar terjalin suatu komunikasi yang sinergis, baik antar sesame warga bangsa.
Laku mendengar mesti dibudayakan sejak dini, sehingga dapat menjadi sebuah karakter yang dimiliki setiap anak bangsa. Keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat berperan penting dalam hal ini. Dimulai dari keluarga, orang tua bertugas membudayakan laku mendengar dalam kehidupan keluarga, lewat pola asuh yang demokartis (komunikasi, bermusyawarah, saling mendengar antar anggota keluarga).
Di sekolah, dalam mendidik muridnya guru tidak hanya berperan sebagai pihak yang selalu didengar. Sebaliknya, guru mesti menunjukkan sikap yang mau mendengarkan keluh kesah, pertanyaan, bahkan kritik dan saran dari murid-muridnya. Kemudian di lingkungan masyarakat, tradisi bermusyawarah harus selalu dipegang dalam menentukan suatu keputusan bersama.
Kita tahu, Negara demokrasi adalah negara yang dari, oleh dan untuk rakyat. Sila ke-4 Pancasila yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,” mengisyaratkan pemimpinnya mampu mengambil segala kebijakan dengan bijak dan berdasar pada hikmat. Hikmat adalah prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat. Dan ini hanya akan berjalan jika masing-masing pelaku musyawarah (rakyat/wakil rakyat) mau mendengar kan satu sama lain. Dengan demikian, demokrasi adalah mendengar.

                                                                                                  ————- *** —————

Rate this article!
Tags: