Negeri Para Bandit ?

Najamuddin Khairur RijalOleh :
Najamuddin Khairur Rijal
Pengajar Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Saya orang Indonesia. Lahir, besar, dan tinggal di Indonesia. Saya mencintai Indonesia, dari tanahnya saya hidup dan menemukan kepingan kehidupan. Namun, saya sering mendengar rakyat Indonesia mengeluh. Selama tujuh puluh tahun merdeka, keluhan tentang betapa susahnya hidup di tanah Indonesia masih sering terdengar. Kenyataan itu seolah dipertegas dengan angka kemiskinan yang terbilang masih tinggi, kesejahteraan yang semakin timpang, yang kaya semakin lebih cepat kaya sementara yang miskin semakin miskin.
Kita telah memasuki fase kehidupan yang sangat berbeda dengan masa lalu. Berbagai eksperimen telah dilakukan rezim dan pemerintah yang datang silih berganti. Harapannya, wangi kesejahteraan bisa dihirup oleh rakyat. Tetapi mengapa, setelah berakhirnya rezim otoriter, setelah kita bereksperimen dengan sistem demokrasi (yang katanya indah), kemakmuran tiada kunjung datang? Alih-alih makmur, kita menyaksikan kehidupan semakin tak punya harapan bagi banyak manusia Indonesia.
Pertanyaan semacam itu pernah diajukan oleh Mancur Olson dalam bukunya Power and Prosperity (2000). “Mngapa setelah pemerintahan yang buruk, kemakmuran tak kunjung datang?” Mengapa setelah otoritarianisme Orde Baru yang kita caci karena membungkam hak-hak rakyat ditumbangkan, harapan untuk kehidupan yang lebih baik di tengah euforia demokrasi tak juga berwujud nyata?
Dua Bandit
Meminjam tesis Olson, jawabannya mungkin karena negeri ini dikuasai oleh para bandit, negeri para bandit. Menurut Olson, bandit ada dua macam, yaitu bandit yang mengembara (roving bandits) dan bandit yang tidak mengembara atau bandit yang menetap (stationary bandits).
Pertama, bandit yang mengembara adalah para bandit yang sering kita baca di buku-buku sejarah. Mereka datang ke suatu wilayah (negara) secara bergerombol, lalu menjarah habis wilayah itu. Selanjutnya, mereka pergi dan meneruskan pengembaraan menjarah wilayah (negara) lain. Bandit model ini adalah apa yang kita sebut sebagai penjajah, para kolonial dan imperialis.
Namun, di era modern seperti saat ini, karena penjajahan seperti di masa lalu telah berakhir, gaya kolonialisme dan imperialisme tersebut bertransformasi ke dalam bentuk penjajahan gaya baru. Dalam konteks kekinian, bisa jadi mereka berwujud dalam bentuk perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional. Mereka hadir di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam bentuk dan wujud investasi pada berbagai sektor ekonomi dan kekayaan negara.
Naluri alamiah mereka adalah keuntungan global, logika berpikirnya adalah logika bisnis yang melulu tentang profit dan kapital. Cita-citanya mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari negara di mana mereka hadir mengembara untuk menjalankan operasi bisnisnya. Rezim demokrasi adalah mangsa yang paling empuk bagi mereka sebab hanya pada rezim demokratis mereka memiliki ruang terbuka untuk bebas masuk-keluar berkedok investasi asing dengan dalih membantu pertumbuhan ekonomi.
Kedua, bandit tak mengembara. Mereka menetap di suatu wilayah (negara) bahkan menjadi bagian dari wilayah itu. Mereka menyatakan diri membela dan melindungi orang-orang di wilayah itu, sekaligus pada saat yang sama diam-diam menjarah kekayaan yang ada. Bahkan, mereka hidup bersama dengan orang-orang di wilayah itu dengan segala citra dan kharisma yang melekat pada dirinya. Ketika memperoleh simpati orang-orang yang ada di sekitarnya, mereka lalu menggunakan kepercayaan itu sebagai jalan pintas dan sarana untuk mengeruk kekayaan dan menjarah sumber daya.
Bandit di Indonesia
Dalam konteks keindonesiaan kita, mengapa kemakmuran tak kunjung hadir di hati masyarakat, bisa jadi karena masih kuat bahkan semakin kuatnya para bandit-bandit itu bercokol di negeri yang kaya ini. Pertama, perusahaan-perusahaan asing masuk melalui mantra investasi dengan dalih membantu sektor-sektor yang dapat meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Mereka menyasar kekayaan alam Indonesia yang menyangkut hajat hidup banyak orang. Sebut misalnya, perusahaan asing yang bertahun-tahun mengeksplorasi emas di tanah Papua, perusahaan asing yang mengeksplorasi gas alam dan minyak bumi, perusahaan asing yang berinvestasi di bidang tambang mineral, dan aneka label perusahaan asing yang menjamah berbagai dimensi kekayaan di tanah Indonesia lainnya.
Lalu, hasilnya hanya sedikit yang secara nyata kita nikmati, sementara sisanya jauh lebih banyak dibawa ke negara asal mereka. Mereka adalah para kapitalis global yang menumpuk kekayaan dunia. Jadilah kita sebagai budak di negeri sendiri sementara mereka jadi tuan di negeri orang. Kita hanya bisa menjadi pesuruh karena mental sebagian kita adalah mental terjajah.
Kita tidak bisa menikmati seutuhnya apa yang menjadi milik kita, karena para bandit mengembara itu jauh lebih memiliki dan menguasai kapasitas dan kapabilitas. Setelah kekayaan kita habis dan setelah mereka puas, mereka bisa kapan saja pergi untuk mencari mangsa baru. Parahnya, banyak mereka yang juga enggan pergi karena kita justru melayaninya dengan hormat.
Kedua, para koruptor dari kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, para koruptor yang merupakan aparatur negara bisa jadi adalah manifestasi wujud nyata dari bandit yang menetap. Mereka tidak mengembara, karena mereka adalah bagian dari kita. Tetapi, bedanya dengan kita, hati dan pikirannya adalah bandit.
Mereka menjarah dan menikmati kekayaan yang tersedia yang seharusnya menjadi milik bersama. Namun, karena mereka mendapat dan memiliki “mandat”, alhasil naluri bandit lebih menguasai alam pikiran dan hati nuraninya. Ironisnya, kita sendiri yang justru melanggengkan para bandit itu untuk terus menjarah. Jumlah mereka bahkan tidak kalah sedikit dari bandit yang pertama.
Hal yang paling parah adalah ketika kedua bandit itu, bandit yang mengembara dan yang menetap, berkongkalikong, bekerja sama dan melakukan permufakatan jahat untuk mengeruk habis kekayaan guna memberi makan naluri bandit mereka. Jadilah kita tetap berada dalam kubangan kemiskinan, sementara dua bandit yang sedari awal memang kaya menjadi semakin kaya. Kita hanya menjadi penonton karena dua bandit itu punya segalanya: punya kekuasaan ekonomi dan juga kekuasaan politik.
Mengapa kemakmuran tak kunjung datang dalam penantian panjang tujuh puluh tahun kemerdekaan? Bisa jadi jawabannya karena negeri ini dikuasai oleh para bandit. Inilah negeri para bandit.

                                                                                                      ——————- *** ——————

Rate this article!
Negeri Para Bandit ?,5 / 5 ( 2votes )
Tags: