Negeri yang Tersandera Korupsi

Oleh :
Robeth Fikri Alfiyan
Merupakan Mahasiswa Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

KORUPSI, korupsi dan korupsi! Itulah pemberitaan berita di pelbagai stasiun televisi, mediacetak maupun media online danjadi perbincangan rakyat setiap harinya. Mata rakyat semua seakan tertuju pada babak baru yang melibatkan mega proyek korupsi KTP Elektronik, Setya Novanto atau biasa dipanggil Setnov (Ketum-Golkar) tersandera fenomena lama yang sulit dihentikan ini.Sebelumnya KPK mendalami kasus dugaan korupsi KTP Elektronik sejatinya sudah 2013 silam. Penetapan Setnov sebagai tersangka disampaikan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, dalam jumpa pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, (Kompas, 10/11/2017).
Budaya korupsi
Saya bertanya, siapa yang tidak tercengang atas kasus KTP Elektronik yang ditaksir merugikan negara sebesar 2,3 Triliun? Kerugian ini bisa juga bertambah dan bisa juga lebih sedikit namun yang pasti ini adalah kejahatan sistematis yang lama terpatri di negeri ini. Saya dan barangkali anda semuanya sepakat bahwa musuh utama negeri ini adalah “praktik-korupsi” yang sudah mem-budaya. Inilah realita sebenarnya yang menerpa kita. Praktik korupsi sudah jadi kebiasaan para elit politik akibat minimnya kesadaranatas apa yang bukan haknya.
Hal ini dapat dilihat dari penetapan KPK terhadap tersangka kasus-kasus korupsi yang masih meminta perlindungan hukum, seperti dalam kaus ini Setnov tanpa malu mencoba meminta perlindungan kepada Presiden Jokowi, Kepala Kepolisian RI Tito Karnavian dan juga pada Jaksa AgungM. Prasetyo agar diberhentikan penyidikannya.
Baginya, lembaga independent KPK yang giat memberantas korupsi inikemudian dianggapmenyelewengkan kekuasan tanpa cukup bukti dan tebang pilih lawan. Atas tuduhan itu maka muncul Panitia Khusus (Pansus) hak angket DPR terhadap KPK sebelum kasus ini diangkat ke publik. Seperti adanya permintaan ulang atas klarifikasi pembukaan rekaman pemeriksaan terhadapMiryam S. Haryani (Hanura) mantan anggota dewan 2009-2014, yang jauh sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka, akibat memberikan keterangan palsudi pengadilan.
Lantas siapakah yang harus disalahkan? Baik KPK dan DPR sejatinya memiliki porsi masing-masing. Semua elemen sepakat menolak korupsi. Tetapi dalam hal ini kenapa hak angket harus digulirkan DPR? Bukannya DPR seharusnya mendukung dan bukan mengutak-atik lembaga yang intens memberantas korupsi?Bagi saya, ini merupakan langkah yang wajib dipertanyakan kembali.
Meyakini atau tidak, Indonesia menjadi negara ladang produk bibit-bibit korupsi. Korupsi telah membudaya, masif dan berjemaah. Sejauh ini KPK cukup sukses memberantas korupsi. Kasus-kasus mega-proyek seperti Hambalang, Suap, E-KTP dan Operasi Tangkap Tangan (OTT)menjadi satu dari sekian kemunculanhak angket. Dalam kasus E-KTP, anggota dewan lain yang berhasil diamankan adalah Markus Nari (Golkar) dan pengusaha Andi Agustinus.
Banyaknya keterlibatan DPR dalam kasus mega-korupsi, tidak mungkin saya sebutkan satu-persatu. Baginya, banyaknya kasus korupsi merupakan contoh gagalnya lembaga KPK memberantas korupsi. Ibaratnyasudah diketahui kesalahannya, bukan justru meminta maaf tapi malah sebaliknya, menuding dan menganggap si pelapor yang salah. Ini logika hukum yang tidak pernah dipahami di negeri ini. Sehingga, perilaku apapun ini masih dianggap batas kewajaran.
Trias Corruptica
Tanpa bersifat terlalu subyektif menilai lembaga DPR sebagai wakil rakyat, bagi saya citra DPR belum sepenuhnya beranjak dari stigma negatif masyarakat.Stigma DPR masih melekat. Indonesia sebagai negara demokrasi terlalu ke-bablasan. Tiga pilar utama (eksekutif, legislatif dan yudikatif) jauh dari kewajaran kamuflase “negarawan” dengan mengedepankan rakyat, bukan satu golongan, partai, lebih-lebih urusan pribadi.
Sebenarnya yang benar adalah “Trias Politica”, Trias Corrupticahanyalah sebuah pelesetan akibat maraknya korupsi.Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh Charles Louis Baron de Montesquieu (1689-1755). Teori ini cukup diamini masyarakat Perancis, setelah berhasil menumbangkan Louis XVI saat berkuasa, kemudian melahirkan revolusi Perancis. Walaupun konsep ini cukup berhasil diterapkan di Perancis, di Indonesia sendiri juga cukup berhasil menyuap dan mengambil hak uang rakyat. Rawut wajah tetap sumringah dan merasa dikriminalisasi pihak wewenang. Bukannya ini angapan yang menggeliti?
Saya tidak mau memperpanjang masalah citra DPR, namun kata “negatif” tetap setia mem-brandingcitra DPR. Pada dataran ini pula rakyat membaca arah kinerja DPR selama 3 tahun belakangan. Benar-benar tidak masuk akal bila alasan hak angket DPR atas KPK untuk perubahan yang lebih baik. Pernyataan apalagi ini? Anggapannya sesederhana mungkin mereka sedang bermain api, berani membakar namun takut bertanggungjawab.
Selama 2016, KPK sudah menangani 99 kasus korupsi, terbanyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, apakah pemberantasan korupsi ini akan menghasilkan jumlah pengembalian uang negara yang signifikan? Jawabannya tidak. Melihat korupsi hanya dari perspektif ekonomi jelas tidak lengkap dan tidak tepat. Lagi pula, siapa yang bisa mengkalkulasi korupsi? Saya termasuk setuju pada pendapat bahwa “the direct costs of corruption are incalculable”.Seperti pendapat Budiman Tanuredjo, korupsi adalah perang yang belum kita menangi. Perang melawan korupsi belum bisa dimenangi karena masih ada paradigma yang menganggap korupsi adalah mesin pencaharian ekonomi.
Melihat realitas yang ada, pandangan korupsi di Indonesia dipandang sebagai minyak pelumas ekonomi. Korupsi merupakan grease wheels, suap dipandang sebagai insentif agar birokrasi melayani publik dengan sebaik-baiknya. Pandangan itu juga terbukti mengapa terdakwa korupsi di pengadilan tak pernah menyesali perbuatannya.
Rakyat sudah sangat muak dengan pelbagai berita mega korupsi, mulai dari dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia tahun 1998 (Rp 138,44 triliun), korupsi bail out Bank Century tahun 2008-2009 (Rp 6,7 triliun), korupsi dalam proses pembangunan wisma atlet di Hambalang tahun 2010-2012 (Rp 464,5 miliar), korupsi kuota haji tahun 2010-2013 (Rp 27,2 miliar), kasus mafia pajak tahun 2010 (Rp 1 triliun) serta korupsi pada proyek pengadaan simulator SIM tahun 2011 (Rp 121 miliar).
Tidak berhenti disitu, praktik korupsi juga berlanjut pada drama suap serta gratifikasi yang akhirnya menyeret Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) aktif kala itu (Akil Mochtar), Hakim MK aktif (Patrialis Akbar) beberapa saat lalu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) aktif saat itu (Irman Gusman) serta masih banyak lagi yang sudah masuk dalam list penahanan KPK.
Dengan demikian cukup sudah akhiri gesekan hak angket DPR atas KPK. PUBLIK menanti negarawan sejati, bukan politisi pandai beretorika, saling lempar sindiran dan menyalahkan. Kembalilah pada tugas masing-masing, tunjukan kalau anda benar-benar wakil rakyat.!

——– *** ———

Rate this article!
Tags: