Nelayan Berharap Fish Carrier

Oki LukitoOleh :
Oki Lukito
Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim dan Perikana.
Pengurus Dewan Kelautan Jawa Timur

Asmui asal Desa Tasikmadu, Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur bersama ratusan nelayan di wilayahnya, serta masyarakat pesisir selatan dan pantura lainnya, tidak perlu lagi cemas dan gelisah pasca pembatasan solar nelayan awal dan rencana pemerintah menaikan BBM. Pola penangkapan ikan secara berkelompok melibatkan Kapal Penampung (fish carrier) mencuatkan harapan sekaligus jalan keluar atas keresahan masyarakat pesisir soal BBM.
Biaya melaut nelayan sejak dua tahun terakhir ini memang semakin membengkak terutama untuk membeli solar, 60 persen dari biaya produksi. Nelayan di pantai selatan yang biasanya melaut 7 hari, saat ini harus menebar pancing dan jaring serta memasang rumpon sebagai  fishing ground di  Lintang 12, atau sekitar 200 -300 mil laut di Samudra Indonesia dampak overfishing dan onomali iklim. Selain itu mereka dituntut melaut lebih lama,14-15 hari untuk dapat menutup biaya operasional dan meraup untung. Perahu asal Sulawesi khas Mandar jenis Sekoci yang banyak dioperasikan nelayan Prigi, Kabupaten Trenggalek, Pondok Dadap di Kabupaten Malang, Tamperan di Kabupaten Pacitan misalnya, semula cukup membawa 200 liter solar. Akan tetapi saat ini sekali melaut memerlukan 540 liter solar.
Hal serupa dialami kapal penangkap purse-seine yang menghabiskan dua ribu liter solar per trip (7 hari). Padahal ketika ikan masih mudah ditangkap di bawah 100 mil laut, BBM yang dibutuhkan hanya 200 liter dan biaya perbekalan ABK yang merangkap nelayan oneday fishing itu sekitar Rp 15 juta untuk dua hari melaut.
Total biaya yang dibutuhkan Kapal Sekoci (handline) Rp 7,3 juta per trip sudah termasuk lauk pauk enam ABK (Rp 500 ribu), rokok (Rp 690 ribu), alat pancing (Rp 1,2 juta), sekarung beras (Rp 215 ribu), air bersih (Rp 20 ribu), solar 540 liter (Rp 2,9 juta) 65 Es Balok (Rp 1.2 juta), oli mesin 10 liter (Rp 500 ribu).
Kebutuhan operasional purse-seine dengan 30 ABK yang mengandalkan alat tangkap  jaring, pancing rawe dan bubu besar, lebih banyak lagi walaupun durasi melautnya lebih pendek (5-7 hari) yaitu Rp 26 juta untuk membeli perbekalan (Rp 4,5 juta), biskuit (Rp 500 ribu), rokok 30 slop (Rp 3,4 juta), 5 karung beras (Rp 1,075 juta), air bersih (Rp 190 ribu),  2000 liter solar (Rp 11 juta), 22 Balok Es (Rp 4,1 juta), 25 liter oli mesin (Rp 1 juta), termasuk biaya tambat labuh dan kebersihan kolam pelabuhan.
Untuk menutupi biaya operasional Sekoci, maka palka kapal harus terisi sedikitnya 0,5 ton ikan tuna atau tuna kecil (pelagis) yang harganya beragam, Rp 10-30 ribu per kilogram (kg). Sedangkan purse-seine yang wilayah operasinya hingga di perairan Indonesia Bagian Timur dengan kapasitas palka 10 ton itu, harus mendapatkan ikan minimal 3,5 ton, umumnya tongkol, cakalang dan ikan karang seperti kakap merah kakap putih, kerapu, kurisi, tiga wajah, ekor kuning, lencam, bambangan dengan asumsi Rp 7.500 per kg.
Hemat biaya produksi
Salah satu upaya menekan biaya operasional nelayan tradisional termasuk perahu kecil yang kesulitan solar, perlu diatur pola penangkapan secara berkelompok dengan melibatkan Kapal Penampung Ikan. Kapal ini berfungsi sebagai Kapal Induk untuk menampung, menyimpan, mengawetkan sekaligus mengangkut hasil tangkapan nelayan.
Hasil uji coba lima kapal penangkap purse-seine dari kelompok nelayan binaan di Tulungagung dan Trenggalek, efektif mampu menekan biaya operasional disamping berhasil melipat gandakan hasil tangkapan. Sedangkan Kapal Penampung 40 GT sebagai partner, memiliki kapasitas palka 25 ton dilengkapi kamar pendingin, didisain sebagai kapal suplai kebutuhan nelayan, termasuk solar.
Kehadiran Kapal Penampung mampu mengefisiensikan biaya operasional kapal penangkap hingga 30 persen walaupun durasi melaut bertambah dari 7 hari menjadi 13 hari. Hasil tangkapan purse-seine selama 10 hari mencapai 22 ton selanjutnya diangkut Kapal Induk ke Pelabuhan Perikanan terdekat, sementara armada kapal penangkap tetap beroperasi. Hasil penjualan setelah dipotong biaya angkut sesuai kesepakatan, diserahkan kepada keluarga nelayan.
Beroperasi dengan cara berkelompok itu idealnya menggunakan armada kapal 30-40 GT minimal 10 kapal per kelompok. Sementara Kapal Penampungnya lebih besar (100 GT ke atas) dilengkapi unit pembekuan minus 40 derajat (air blast freezer), unit pendingin (cold storage) minus 25 derajat serta peralatan jaring dan pancing. Kapal Penampung sekaligus berfungsi sebagai supplier kebutuhan perbekalan nelayan termasuk alat pancing, spare part mesin, obat, solar selama 3- 6 bulan di laut.
Ke depan jika pemerintahan baru ingin memperbaiki eknomi 7 juta nelayan dan terpaksa menaikkan harga BBM, sebaiknya dalam 100 hari program kerjanya memberikan stimulan Kapal Induk Nelayan. Sebab dengan pola penangkapan berkelompok ini, nelayan yang memiliki perahu kecil pun dapat menikmati hasil tangkapan ikan bernilai ekonomi tinggi.
Ribuan perahu kecil armada semut ukuran 5 GT seperti Jukung, Sro’ol, Etek, Cukrik, Kajang, Sandek yang beroperasi sekitar 4-10 mil laut misalnya, bisa ikut dilibatkan dalam program ini. Nelayan beserta perahunya diangkut Kapal Induk menuju fishing ground. Setibanya di lokasi penangkapan, armada perahu semut yang beroperasi menggunakan mesin tempel atau layar diturunkan menangkap ikan. Setelah palka kapal Induk yang juga berfungsi asrama nelayan itu penuh terisi ikan, perahu diangkut kembali ke homebase.
                                                                                          —————— *** ——————–

Rate this article!
Tags: