“New Normal” Kependidikan

Di seluruh dunia sedang gencar disosialisasikan “new normal,” sebagai pola hidup baru berbasis kesehatan lingkungan. Sekaligus sebagai relaksasi terhadap konsep lockdown (dan Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang terasa mencekam. Secara ke-ekonomi-an juga sangat merugikan seluruh lapisan masyarakat (dan pemerintahan). Tetapi konsep protokol “new normal,” memerlukan peng-khusus-an pada bidang pendidikan (umum dan ke-pesantren-an).

Tiada yang lebih memberatkan pemikiran, melebihi perawatan anak yang sakit. Sehingga setiap keluarga melindungi anak-anak. Termasuk anak-anak yang mulai memasuki jenjang pendidikan. Mulai tingkat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), SD (Sekolah Dasar) hingga kelas X (mulai masuk SLTA). Kalangan Kependidikan, dan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), sepakat memperpanjang periode belajar di rumah. Sampai benar-benar telah ditemukan cara efektif penanggulangan pandemi virus corona.

Seluruh peserta didik di Indonesia telah melaksanakan proses “belajar di rumah” selama 12 pekan. Bahkan ujian nasional (Unas) jenjang SMA, MA, dan SMK, ditiadakan. Begitu pula Unas SMP (dan Madrasah Tsanawiyah) ditiadakan. Evaluasi belajar tahap akhir, kembali menjadi domain sekolah. Kelulusan ditentukan oleh sekolah, berdasar rapor selama 6 semester. Surat Keterangan Kelulusan (SKK) sekaligus menjadi syarat utama mendaftar pada jenjang pendidikan lebih tinggi.

Pendaftaran peserta Didik Baru (PPDB) telah dimulai. Termasuk sekolah yang berada di dalam pondok pesantren. Bahkan pendidikan khusus di pesantren (antaralain penghafalan Al-Quran), sebagian sudah ditutup (memenuhi jumlah kuota santri baru). Tetapi sekolah umum, SMA, MA, dan SMK di pesantren, juga baru memulai PPDB. Seluruh pesantren telah melaksanakan protokol PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Seluruh pesantren juga siaga melaksanakan “new normal,” dengan pembatasan penghuni pada setiap kamar. Biasanya, kamar besar ukuran 72 meter persegi, diisi 24 santri (dengan tempat tidur susun). Saat ini dikurangi separuhnya. Begitu pula ruang belajar dikurangi kapasitas-nya hingga 50%. Sehingga banyak santri, dan calon santri baru harus menjalani “daftar tunggu” penyelesaian pembangunan gedung baru (ruang belajar dan asrama).

Pemerintah (dan pemerintah daerah) seyogianya merespons kegiatan pembangunan di pesantren. Karena cukup banyak sekolah negeri (SD, Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, SMA, dan SMK) di dalam kawasan pesantren. Biasanya, pihak pesantren memperoleh kemudahan kredit perbankan untuk biaya pembangunan gedung. Realitanya, pembangunan gedung di pesantren bagai tak mengenal henti.

Kebutuhan yang sama juga wajib ditanggung oleh Pemerintah Daerah (Propinsi serta Kabupaten dan Kota). Sistem zonasi PPDB tahun lalu, menunjukkan realita kekurangan rombongan belajar (kelas) di tingkat SMP, dan SLTA. Realitanya pula, setiap kelas selama ini di-isi 40 peserta didik. Pada protokol “new normal,” kapasitas ruang kelas tidak memenuhi standar normal. Sehingga setiap kelas wajib dikurangi kapasitasnya, menjadi separuhnya (20 peserta didik).

Diperlukan kepedulian pemerintah daerah pada urusan pendidikan. Antara lain melalui penambahan anggaran sektor pendidikan, seperti diamanatkan konstitusi. UUD pada pasal 31 ayat (4), menyatakan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”

Ironisnya, saat ini masih banyak Pemda belum mem-pagu anggaran pendidikan sebesar 20% dari total APBD. Tetapi dinyatakan telah 20% (dengan perhitungan yang menyimpang). Patut disadari, bahwa indeks pendidikan (lama sekolah) masyarakat akan sangat berpengaruh pada kemajuan daerah. Termasuk menentukan daya saing daerah. Seyogianya, pemerintah daerah mematuhi konstitusi. Agar bisa membangun sekolah baru, atau setidak ruang kelas baru, menyesuaikan standar “new normal.”

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: