Ngalab Berkah Jamasan Gong Komunitas Pepijar

Ritual jamasan gamelan yang dilakukan komunitas seniman jaranan dan reog merupakan tradisi Jawa sebagai upaya mendapatkan keberkahan di bulan Suro.

Kental Dengan Nuansa Magis, Warga Berebut Air Sisa Jamasan Agar Dapat Berkah
Kabupaten Nganjuk, Bhirawa
Tradisi Suroan merupakan tradisi masyakarat Jawa dalam memperingati tahun baru dalam kalender, mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Bagi masyarakat Jawa yang masih memegang teguh tradisi nenek moyang, mereka akan menggelar ritual dengan cara semedi atau menyepi di berbagai lokasi seperti gunung dan juga laut.
Bulan Suro juga dianggap sakral dan memiliki daya magis yang lebih dibanding bulan-bulan lainnya dalam penanggalan Jawa. Karenanya, komunitas seniman tradisional di Kabupaten Nganjuk menggelar jamasan gong atau gongsa. Jamasan gongsa ialah memandikan peralatan kesenian berupa gamelan agar terhindar dari balak dan selalu mendapatkan limpahan berkah dalam menjalankan profesinya sebagai seniman Jawa.
Jamasan gongsa rata-rata dilakukan oleh komunitas seniman jaranan dan reog yang tergabung dalam Paguyuban Pelestari Jaranan dan Reog (Pepijar) Kabupaten Nganjuk. Para seniman ini membawa berbagai alat musik seperti bonang, gong maupun kendang untuk dijamasi atau dimandikan layaknya pusaka bertuah. Tradisi jamasan gongsa ini dilakukan di makam Ki Soemodrono seorang tetua desa di Desa Kaloran Kecamatan Ngronggot Kabupaten Nganjuk.
Kembang setaman, kepulan dupa kemenyan dan air dari tujuh sumber menjadi pelengkap utama ritual jamasan gong di Desa Kaloran. Jamasan gongsa diawali dengan penyerahan alat musik yang biasa digunakan kepada tetua tokoh seni setelah sebelumnya diarak keliling kampung. Kemudian tetua tersebut memberikan doa dan melakukan ritual jamasan gongsa dengan cara menyiram alat musik tradisional dengan air kembang setaman.
Tidak berbeda dengan jamasan pusaka berupa keris atau tombak, jamasan gong juga sangat kental dengan nuansa magis. Mantera berbahasa Jawa dan asap kemenyan yang membumbung mengiringi prosesi ritual jamasan gongsa, sehingga semakin membuat jamasan gong terkesan sakral. Apalagi lokasi jamasan berada di areal makam yang di atasnya terdapat pohon beringin besar yang dipastikan berusia ratusan tahun.
Lebih unik lagi, usai jamasan gong warga berebut membasuh muka dan mendapatkan air sisa jamasan. Warga meyakini bila membasuh muka atau meminum air sisa jamasan ini bisa selalu mendapat rejeki dan berkah dalam hidupnya selama setahun ke depan.
Menurut salah satu warga, Maharani, setiap tahun selalu menyaksikan acara jamasan gongsa ini. Tujuannya agar mendapatkan air sisa jamasan, agar terhindar dari marabahaya, dan selalu mendapat limpahan rejeki. “Ya setiap tahun ikut tradisi ini, airnya itu buat biar bisa selalu dapat rejeki, dapat berkah,” ujar Maharani.
Ketua Pepijar, Djumadi menyebutkan ritual jamasan gong atau gamelan ini, sebagai bentuk syukur para seniman jaranan dan reog yang selama ini mampu mendapat rejeki penghidupan dari kesenian jaranan dan reog. “Jamasan gongsa ini bertujuan untuk membersihkan alat musik gong (alat musik tradisional,Red) memasuki bulan Muharam (Suro), kita mohon kepada Tuhan Alloh SWT agar diberikan kelancaran dan dijauhkan dari sengkala (mara bahaya,Red) ”
Selain melestarikan kebudayaan dan kesenian leluhur yang semakin lama mulai ditinggalkan oleh generasi saat ini. “Jamasan gongsa ini dilakukan setahun sekali, hal ini supaya alat gamelan yang selama ini mengiringi kita dalam melakukan aktivitas kesenian bisa memberikan keberkahan atau ngalab berkah Suroan,” tutur Djumadi. [ristika]

Tags: