Nitisemito: Dihormati Barat dan Timur

Judul : SANG RAJA
Penulis : Iksaka Banu
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tebal : 392 hal
Terbit : Pertama, September 2017
ISBN : 9786024243319
Peresensi : Khoimatun Nikmah
Mahasiswi Teknik Sipil. Universitas Semarang.

Dalam catatan Raffles disebutkan rokok menjadi komoditi di Jawa sejak tahun 1600-an. Hal senada dibenarkan dalam Babab Ing Sangkala (1601-1602), kematian Panembahan Senopati ditandai dengan masuknya tembakau ke Pulau Jawa dan semenjak itu kita mengenal merokok, atau ngaudud.
Dengan gaya realis dan tenang, Iksaka Banu mendedah tokoh penting dalam industri rokok Kudus. Nitisemito yang oleh Ratu Wilhelmina mendapatkan gelar De Kretek Konning (Raja Kretek). Novel ini memiliki tiga suara tuturan, yaitu Bardiman Sapari wartawan dari Koran Matahari Timur, Filipus Retchterhand dan Goenawan Wirosoeseno. Dua nama terakhir adalah pegawai NV Nitisemito saksi jatuh-bangun pabrik rokok itu.
Filipus dan Wirosoeseno adalah dua kutub berbeda. Filipus adalah orang Belanda yang mendapat kepercayaan dalam bidang akuntansi NV Nitisemito. Sedangkan Wirosoeseno anak seorang priyayi Yogyakarta, yang berhasil ngenger dan kemudian bekerja sebagai salah tim promosi. Di tengah keadaan di mana garis demarkasi antara pribumi-belanda menebal, keduanya justru rukun dan bekerja demi ribuan buruh Nitisemito. Kami bisa bersatu dan saling menghargai. Timur dan Barat, demikian tegas Filipus. Bercampurnya unsur barat dan timur di NV Nitisemito semakin menasbihkannya sebagai raja kretek. Selain tentu jumlah karyawan dan produksi rokok Bal Tiga NV Nitisemito menguasai lapisan masyarakat Kudus kala itu.
Kondisi ini yang kemudian menjadi daya tarik semua kalangan, terutama kaum non-priyayi yang lebih mengedepankan rokok bukan sebagai simbol. Kepraktisan rokok pabrikan dan rasa saus yang nikmat, membuat Rokok Tjap Bal Tiga menguasai pasaran rokok kala itu.
Dalam catatan Sander L. Gilman and Zhou Xun, Smoke: A Global History of Smoking (2004), usaha Nitisemito telah lebih dahulu dilakukan oleh Haji Djamari pada akhir abad ke-19. Konon rokok dimulai dengan keampuhan minyak cengkeh menyembuhkan sakit. Kemudian Haji Djamari bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok. Dengan resep saus khusus, Nitisemito mengeluarkan merek rokok tjap kodok nguntal ulo, kemudian diganti tjap bal tiga.
Kemegahan pabrik NV Nitisemito mulai digoyang beberapa halangan. Guncangan pertama ialah ketika telah terjadi kegagalan besar panen cengkeh di Zanzibar dan Madagaskar. Harga satu pikul cengkeh naik dari f.75 menjadi f.160 (hal.167). kondisi makin parah ketika pada 18 Desember 1930, Gunung Merapi meletus. Kata-kata sudah dianggap terlalu sulit untuk menjelaskan keadaan, belakangana kabar murung itu lebih banyak hadir dalam wujud grafik dan angka. (hal.168)
Lubang jarum pertama lolos dilewati Nitisemito. Lubang kedua ialah ketika pemerintahan Hindia Belanda memberlakukan accijn, cukai rokok yang menembus 40% harga jual. Imbas dari kebijakan belasting ordoniante, mengembalikan kas kerajaan Belanda akibat perang dan krisis malaise secara global (hal.85). Hampir-hampir terjadi massa-onstlag, pemecatan massal di NV Nitimsemito.
Ujian kedua lolos dengan ide-ide brilian dari tim promosi Wirosoeseno. Namun ujian terberat adalah ketika terjadi konflik kepentingan dalam keluarga Nitisemito. Antara Karmain dan Akoean Markoem. Aneka gosip dan isu berembus di kalangan karyawan. Pak Nitisemito yang gemar main perempuan, persekongkolan dengan kelompok Sarikat Dagang Islam dan Soekarno. Hingga penahanan Karmain atas tuduhan penggelapan rokok tanpa kertas cukai.
Ini adalah mula jatuhnya NV Nitisemito. Konflik keluarga dan munculnya pesaing kuat merek Minak Djinggo pada tahun 1930. Pemilik rokok ini, Kho Djie Siong, adalah mantan agen Bal Tiga. Kho Djie Siong mempelajari rahasia racikan dan strategi dagang dari Karmain.
Kedekatan dengan kelompok nasionalis, Soekarno dan Sarikat Islam masih terlalu samar dalam novel ini. Iksana Banu belum mengulas lebih seberapa jauh Nitisemito, sebagai pengusaha sukses memiliki peran dalam pergerakan nasional pra kemerdekaan.
Rokok telah menjadi budaya sekaligus identitas bangsa. Meleburkan strata, menghapus kelam sejarah. Mengutip kalimat Mark Hanusz dalam bukunya Kretek-The Cultural and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes, ‘kretek bukan hanya simbol masyarakat dan budaya, rokok perwajahan sebuah bangsa.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: