NKRI Jangan Teroyak (lagi)

NKRIPeristiwa Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh, 1965) setengah abad lalu, menimbulkan kepedihan (dan trauma) mendalam.Tawur nasional antar-anak bangsa yang dilandasi politik ideologi. Sejarah nasional secara resmi mencatat telah terjadi pengkhianatan terhadap NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Untuk kedua kalinya, ekstrem kiri coba meng-kudeta pemerintahan yang sah. Karena itu gestapu patut menjadi pembelajaran agar tidak terulang.
Sampai saat ini trauma masih terasa pedih. Sebagian elit (negarawan) menggagas islah (rekonsiliasi) nasional. Namun sebagian yang lain memilih menuntut keadilan. Sampai pengaduan pada komisi HAM (Hak Asasi Manusia) internasional. Konon  diduga terdapat beberapa “permainan” high politics, serta semacam aliran konspirasi politik, melingkupi gestapu. Tetapi seluruh dugaan, belum pernah benar-benar terbukti.
Namun sesungguhnya, gestapu merupkan urusan dalam negeri. Beda dengan perang antara “kulit putih” pendatang versus pribumi aborigin di Australia. Beda pula dengan kekejaman (genosida) yang dilakukan oleh Kapten Westerling di Makasar (dan daerah sekitarnya). Pembunuhan masal oleh Westerling, bisa diajukan ke Mahkamah Kejahatan Perang. Sampai warga Sulawesi Selatan memperoleh ganti-rugi.
Generasi masa kini (usia 55 tahun kebawah) hanya mendengar cerita tentang gestapu, dalam beberapa versi. Yang dekat dengan kaum santri (dan pemerintah serta TNI), memperoleh kisah ekstremitas golongan kiri (komunis). Sedangkan golongan lain, merasa ada yang menjadi korban, bagai kalah perang. Secara umum, dua kelompok generasi masa kini, memperoleh kisah tentang situasi perang saudara.
Saat itu (bulan September – Oktober 1965) saling-intip antar kelompok politik sembari menghunus senjata. Kelompok politik yang menang (mayoritas) di suatu daerah bisa membunuh kelompok lain yang minoritas. Masing-masing daerah memiliki peta politik berbeda. Kelompok mayoritas di suatu desa, bisa saja menjadi minoritas di desa lain. Posisi mengancam bisa menjadi terancam.
Bahkan anggota tentara pun terpecah secara ideologi politik. Juga mengokang senjata terhadap sesama tentara. Situasi benar-benar chaos. Lebih lagi, Indonesia baru saja mengenyam kemerdekaan (20 tahun sebelumnya). Dan baru “benar-benar” merdeka (membentuk institusi pemerintahan secara efektif) pada tahun 1949. Yakni setelah perjanjian Roem – Royen, dan konferensi meja bundar di Den Haag, bulan Agustus smpai November 1949.
Indonesia bagai ber-pemerintahan negara yang ranum, benar-benar baru terbentuk. Serta belum hilang benar kenangan pahit pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Madiun, September 1948. Muso (pimpinan PKI) memproklamirkan Republik Negara Soviet Indonesia. Tahun 1948, terjadi aksi culik menculik antara pasukan (tentara) yang terkotak-kotak dalam ideologi politik. Terjadi perang saudara tentara antar-brigade.
Beberapa batalyon dan brigade tentara, tidak tunduk pada pemerintah pusat yang dibawahkan oleh duet Soekarno-Hatta. Inilah affairs pertama NKRI, dengan banyak korban penculikan dan pembunuhan. Salahsatu korban pembunuhan saat itu (September 1948) adalah gubernur pertama Jawa Timur, RMT Soerjo. Iring-iringan mobilnya dicegat di kawasan Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur. Jasadnya dibuang di hutan.
Gubernur pertama Jawa Timur, RMT Soerjo, merupakan tokoh nasional yang mengobarkan perang kemerdekaan, November 1945 di Surabaya (dan menjalar ke seluruh pelosok negeri). Penyebabnya, sebagai gubernur tidak bersedia tunduk pada sekutu (yang diboncengi NICA), untuk menyerahkan seluruh senjata. Hal itu terjadi setelah insiden tewasnya Mallaby. Sebelumnya, gubernur sudah bersedia mengadakan genjatan senjata dengan pasukan Inggris.
Trauma Madiun affairs 1948, dan gestapu 1965, cukuplah menjadi pelajaran. Banyak anak negeri memiliki fanatisme ke-NKRI-an. Fanatisme inilah yang mesti ditata, dan difasilitasi oleh pemerintah masa kini. Tak lain, kembali pada UUD. Pada pasal 1 ayat (3) konstitusi menyatakan, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Bukan berdasar politik ideologi.

                                                                                                                     ———   000   ———

Rate this article!
Tags: