NKRI Selama-lamanya

Judul : Menakar NKRI Bubar
Penulis : Ahmad Khoiri, dkk
Penerbit : Harakatuna, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2021
Tebal : xxii + 292 halaman
ISBN : 978-623-93356-5-6
Peresensi : Muhammad Itsbatun Najih*
Alumnus UIN Yogyakarta
Penulis buku, Ahmad Khoiri dkk, mengerucutkan dua penyebab NKRI bisa bubar: radikalisme dan separatisme. Dua variabel ini dijadikan pangkal soal yang secara kasat mata hari ini, cukup beroleh pembenaran. Hingga usia 75 tahun lebih NKRI, pelbagai upaya mengusik keutuhan negeri tidak pernah usai. Termasuk menggugat soalan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.

Saling ejek dan risak di lini masa percakapan media sosial hari ini meski kontestasi Pemilu 2019 telah kelar, senyatanya merupakan fakta yang mesti disikapi serius. Selain polarisasi sosial akibat politik, babakan kehidupan religiositas menampakkan gejala yang sama: saling membidahkan, mengkafirkan, menyesatkan; merasa diri/kelompoknya paling benar. Fenomena memprihatinkan semacam ini mesti menjadi peringatan keras bahwa potensi disintegrasi anak bangsa, bukanlah mengada-ada.

Lantas, moderasi beragama akhirnya merupakan kunci yang dipilih guna meredam radikalisme-ekstremisme. Moderasi beragama kiranya dipahami sebagai langkah memoderasi atas pemahaman dan pengamalan kaum beragama dari sikap/paham yang berlebihan (tatharruf). Dengan kata lain, cara pandang atas sebuah ajaran agama, idealnya dijabarkan secara kontekstual-humanis.

Dengan membabar argumentasi Qurani, senyatanya manusia dicipta dalam kemajemukan sosial-budaya; meskipun Tuhan kuasa menjadikan umat manusia dalam kesatuan integral. Aneka keberbedaan merupakan fitrah sekaligus hikmah yang mendorong saban manusia saling hormat-memuliakan. Pengakuan bahwa Tuhan menciptakan manusia beragam, menjurus pada pemahaman tentang keberagaman yang tidak dimaksudkan untuk saling menghancurkan (halaman: 261).

Sedangkan separatisme, variabel ini bercorak sentimental kedaerahan/kesukuan. Kita memiliki daerah-daerah “khusus” yang rawan bergejolak dengan menuntut memisahkan diri. Terdapat empat daerah dibahas khusus; menyibakkan seluk-beluk separatisme yang tidak pernah benar-benar pupus. Di Indonesia, ekonomi dan politik merupakan dua sebab utama lahirnya separatisme. Separatisme mendasarkan pada kesadaran kolektif untuk mengejar penentuan nasib sendiri yang lebih besar dengan atribut politik identitas (halaman: 32).

Separatisme dan radikalisme sama-sama menyeruakkan segresi kelompok dengan kelompok yang lebih besar (baca: negara-bangsa). Radikalisme merebut kedaulatan, sementara separatisme membentuk kedaulatan sendiri. Bila diamati, keduanya berpijak pada soalan politik identitas primordial. Baik kesamaan agama, suku, dan etnisitas. Buku tebal ini memaparkan dengan baik masing-masing soalan empat daerah tersebut dengan menyandarkan wejangan betapa tetap pentingnya nilai sebuah persatuan-kesatuan ketimbang memaksa ego berdasar kebanggaan semu klaim kekayaan sumber daya alam yang dipunyai.

Menyoal politik identitas, kiranya menyimpan sisi kontradiktif. Bak pisau, bisa digunakan memotong sayur sekaligus dapat mencelakai. Balkanisasi atas Indonesia bisa saja terjadi bila politik identitas digunakan untuk memecah belah. Sedangkan terkata tepat guna bila politik identitas diartikan positif. Yakni, kesadaran kolektif untuk membentuk satu teritori dan mental kesatuan berbangsa-negara yang dipanggul oleh beragam pemeluk agama, beratus suku dan budaya; hingga mencetuskan kesepakatan bersama mendirikan Indonesia. Walhasil, politik identitas mestinya mengkristal menjadi keindonesiaan, mengindonesia, dan berindonesia.

Praksisnya soal atasi separatisme, tawaran buku ini: memperteguh pilar kebangsaan dengan membumikan Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila-UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Salah satu cara aktualisasi Pancasila dengan tidak lagi menghadap-hadapkannya dengan agama. Sayangnya, tak ada elaborasi oleh para penulis buku berkait polemik perlunya kembali ke naskah asli UUD 1945 dan atau wacana amendemen kelima. Padahal, isu krusial tersebut bisa dijadikan salah satu parameter mengikis gejolak separatisme dengan pendekatan halus (non militeristis).

Menariknya, buku ini mengkategorikan pemekaran wilayah sebagai klausul sebab Indonesia bisa bubar. Sememangnya banyak konflik yang telah ditimbulkannya. Pun, tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat lokal. Kontrol pemerintah pusat terkikis banyak karena daerah diberikan kewenangan amat besar mengatur dirinya sendiri lewat aturan bersebut Otonomi Daerah. Karena itu, pemekaran wilayah sedikit-banyak menambah segresi sosial. Memunculkan “raja-raja” kecil dan mengendurkan ikatan/cita rasa keindonesiaan.

Merujuk buku Why Nations Fail (2012) karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson, penyebab sebuah negara gagal adalah eksklusifnya institusi politik-ekonomi yang dijalankan. Yakni, ditandai dengan penguasaan ranah politik dan sumber daya hanya dikuasai segelintir orang (oligarki); sehingga sebabkan ketimpangan sosial-ekonomi yang tajam. Berdasar itu, definisi negara bubar dan negara gagal memiliki konsekuensi pemaknaan yang amat berbeda. Teranggap menjadi negara gagal lebih memungkinkan ketimbang sampai pada bubarnya negara seperti bubarnya Uni Soviet. Asumsinya, NKRI tetap berdiri tegak; sementara kedaulatannya yang terus defisit, merupakan perkara lain.

Walhasil, bubar-tidaknya NKRI berpulang pada sikap masing-masing diri ini kepada sesama. Karena itu, tak kenal lelah untuk menyorongkan tapak tilas histori terbentuknya Indonesia. Merajut memori persatuan-kesatuan atas keberbedaan suku/agama yang justru dapat menyatukan dalam merebut kemerdekaan. Kembali mengakrabi sesama sebagai warga negara. Pandemi Covid-19, kita menyaksikan masyarakat Indonesia saling bantu; masih ada alasan kuat NKRI tak bakal bubar.

Sementara tugas pemerintah adalah optimalisasi sumber daya manusia dan alam: penurunan angka stunting, pemerataan pendidikan, pengembangan riset, dan pemberdayaan ekonomi (halaman 195). Dari simpulan buku barusan, justru terlontar pertanyaan reflektif-sanggahan dari kalangan yang kurang sepakat atas radikalisme yang kerap dijadikan sebab utama robohnya negara sebagaimana tesis buku ini: bisakah dan adakah bubar suatu negara yang perut rakyatnya kenyang?

Ala kulli hal, buku ini berhasil meyakinkan kepada pembaca bahwa radikalisme itu ada, nyata, bahaya laten, dan tak kunjung mati. Karena itu, perlunya bagi segenap anak bangsa untuk tidak menyepelekan dan menganggap remeh laku-laku radikalisme sekecil apapun bentuknya. Tak hanya bersebab ketimpangan ekonomi dan politik sebagai variabel kacau-bubarnya suatu negara sebagaimana dikemukakan banyak ahli, buku ini menyorongkan perspektif lain bahwa radikalisme amat mungkin menjadi sebab gagal-bubarnya suatu negara. Wallahu a’lam

——— *** ———-

Rate this article!
NKRI Selama-lamanya,5 / 5 ( 1votes )
Tags: