Nyali Gubernur Soal Cantrang

Oleh :
Oki Lukito
Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim dan Perikanan Pengurus DPD. HNSI Jatim

Pepanjangan izin penggunaan jaring tidak ramah lingkungan antara lain cantrang, payang berakhir akhir bulan Maret lalu. Kebijakan kontroversi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang telah memasung ratusan ribu nelayan belum ada tanda tanda akan dilarang selamanya atau digantung lagi. Yang pasti selama empat tahun kehidupan ekonomi nelayan pengguna jaring produktif tersebut terupuruk. Ribuan buruh pabrik industry pengolahan ikan di Jatim, Jateng dan Sulawesi Utara di PHK.
Sejak pelarangan cantrang melalui Permen KP No 2 tahun 2015 dan Permen KP No 71 Tahun 2016 hingga kini regulasi belum juga diberlakukan, menyusul ketidaksiapan nelayan meninggalkan cantrang. Sikap KKP kemudian melunak dan akhirnya memberikan dispensasi perpanjangan cantrang. Bahkan, sejak larangan digulirkan pada tahun 2015 silam, sudah empat kali perpanjangan diberikan. Nelayan tetap resah pasalnya surat dokumen kapal yang mati tidak bisa diperpanjang walaupun kapalnya masih boleh beroperasi.
Sejak pelarangan penggunaan alat tangkap tersebut, wilayah pesisir pantura Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak pernah sepi dari unjuk rasa, bahkan protes merembet hingga ke Istana Negara. Tawaran pemerintah agar nelayan mengganti alat tangkap yang ramah lingkungan seperti jaring gillnet, bubu dan sejenis ditolak nelayan. Alat tangkap tersebut dinilai tidak efektif.
Dampak dari larangan tersebut tidak hanya memukul ekonomi nelayan akan tetapi industri pengolahan ikan terkena dampaknya. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jatim, sedikitnya 7 pabrik yang memepekerjakan ribuan buruh tutup hingga awal tahun 2018, salah satunya industri perikanan terbesar di Jatim, PT Kelola Mina Laut di Tuban. Pabrik surimi tersebut berhenti beroperasi akibat tidak ada kepastian pasokan bahan baku ikan yang dihasilkan kapal cantrang dan payang.
Kapal dengan alat tangkap cantrang menurut data KKP jumlahnya 13 ribu unit. Di Jatim tercatat 7 ribu unit termasuk payang atau sekitar 40 persen, sisanya merupakan alat tangkap yang tidak dilarang seperti gillnet (jaring insang), pancing ulur (handline), rawai dasar, rawai hanyut, dan bubu lipat. Otomatis produksi ikan laut Jawa Timur dalam tiga tahun menurun. Produksi ikan laut pada 2016 mencapai 390.296,2 ton. Pada tahun 2017 turun menjadi 282.069,28 ton. Demikian pula tahun 2018 ini lebih rendah dari tahun sebelumnya.
Di Bitung, Sulawesi Utara, salah satu sentra perikanan tangkap nasional mengalami hal serupa. Empat dari tujuh pabrik pengolahan ikan menutup usahannya juga karena kesulitan bahan baku. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah yang melarang alih muat ikan di laut dari kapal penangkap ke kapal penampung.
Alih Pekerjaan
Selain larangan alat tangkap regulasi lainnya yang menuai kontroversi adalah Permen KP No 01 tahun 2015 melarang menangkap benih lobster (benur), rajungan, kepeting. Sejak larangan itu diberlakukan banyak upaya penyelundupan benih lobster yang mengandung zat percepatan tumbuh (ZPT) itu digagalkan. Ironinya seiring dengan pelarangan tersebut pencari benur jumlahnya semakin bertambah dan masif. Di Jawa Timur daerah pantai selatan adalah perairan yang kaya benih lobster.
Di Pelabuhan Perikanan Grajagan Banyuwangi misalnya, sedikitnya 400 perahu khusus digunakan menangkap benur memenuhi kolam labuh, jumlah perahu terbuat dari fiberglass dengan mesin pendorong motor tempel itu dalam dua tahun ini terus bertambah. Demikian pula halnya di Pelabuhan Perikanan Pancer di ujung selatan Banyuwangi jumlahnya sangat signifikan sekitar 500-600 perahu, hampir tiga kali lipat dari jumlah kapal yang biasanya digunakan nelayan untuk menangkap ikan di Samudra Indonesia dan Selat Bali
Lokasi lainnya yang menjadi lahan subur pencari benih lobster atau benur terdapat di Nusa Tenggara Barat, perairan Perigi Trenggalek, Popoh Tulungagung, Puger Jember. Diperkirakan per hari perputaran uang di daerah pesisir tersebut minimal 200-500 juta rupiah. Seorang penangkap benur yang bekerja 4 jam sehari bisa mengantongi 150-200 ribu.
Penghasilannya di atas nelayan oneday fishing sekitar 50-75 ribu selama 10 jam melaut. Rata-rata 15-50 ekor benur dihasilkan oleh satu perahu dengan harga benur bervariasi antara 15-30 ribu rupiah per ekor tergantung jenis lobster. Benih lobster mutiara paling dicari dan harganya tinggi mencapai 35-40 ribu per ekor.
Keberadaan Kemanan Laut Terpadu (Kamladu) yang melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut kewenangan provinsi hingga 12 mil, dan rutin mengadakan patroli tidak berfungsi. Keberadaanya sama dengan tiada padahal aparat gabungan pengawasan tersebut dilengkapi kapal patroli dan biaya operasioanal yang tidak kecil bersumber dari APBD. Penangkapan pelaku benur berada di luar lokasi pelabuhan dan biasanya yang ditangkap adalah kurir, padahal jelas tindakan pelanggaran setiap hari terjadi di depan mata.
Pada peringatan Hari Nelayan tanggal 6 April nelayan menunggu Gubernur Jatim berani mensikapi kedua regulasi tersebut dan mengakhiri ketidak pastian. Nelayan dan pencari lobster berharap tidak ada lagi pemasungan. Alih pekerjaan dari nelayan ke penangkap benur adalah indikasi semakin kecilnya penghasilan nelayan akibat semakin terbatasnya hasil tangkapan ikan laut serta tingginya biaya operasional.
Gubernur di semua provinsi yang kaya sumber daya lobster dengan kewenangan wilayahnya hingga12 mil laut, seyogyanya memiliki sense of crisis dan berani bersikap membela rakyatnya dengan melakukan diskresi terhadap regulasi pusat yang membatasi nelayan dan pencari benih lobster yang menyusahkan aparat di daerah. Bagaimanapun laut adalah sumber penghasilannya.
Nelayan tidak membutuhkan pelabuhan mentereng tetapi tidak ada ikannya, nelayan tidak butuh kapal yang tidak bisa dioperasikan karena alat tangkapnya merugi. Sejatinya nelayan merindukan suasana tentram dan nyaman saat menangkap ikan serta tidak dikejar aparat karena persoalan dokumen kapal dan berbagai perizinan yang pengurusannya super njlimet, biaya tinggi dan menjengkelkan itu.

———- *** ———-

Rate this article!
Tags: