Obrolan Reflektif yang Mencerahkan

buku-secangkir-kopiJudul    : Tuhan dalam Secangkir Kopi
Penulis    : Denny Siregar
Penerbit  : Noura Books
Cetakan  : 1-2016
Tebal    : 199 halaman
ISBN    : 978-602-385-112-6
Peresensi  : Al-Mahfud
Penikmat buku, lulusan STAIN Kudus. Selain menulis ulasan buku, juga menulis artikel dan esai

Cara mengungkapkan gagasan atau pendapat nyaris sama pentingnya dengan isi gagasan itu sendiri. Gagasan yang dituangkan secara elegan, tanpa mendoktrin dan menggurui, cenderung lebih mudah diterima semua orang. Buku berjudul Tuhan dalam Secangkir Kopi karya Denny Siregar ini menggambarkan hal tersebut. Di dalamnya berisi kumpulan status-status Facebook yang pernah diunggah Denny Siregar sejak tahun 2010. Banyak hal dibicarakan penggiat dunia maya ini, terutama soal Tuhan dan Agama.
Menariknya, Denny mengungkapkan pemikirannya dengan gaya reflektif dan santai. Denny sering menyuguhkan dialog. Beberapa tulisan menggambarkan ia sedang berbincang santai dengan seorang teman dengan ditemani secangkir kopi. Hal inilah yang membuat tulisan-tulisan Denny jauh dari kesan menggurui atau berceramah. Misalnya, suatu ketika Denny berbicara tentang haji dan kurban dengan seorang temannya di warung kopi. Temannya itu berkata, banyak orang masih sulit menempatkan secara benar antara nilai spiritual dan nilai ritual.
Banyak orang menjalankan ibadah haji sekadar untuk menggugurkan kewajiban. “Apa yang membedakan antara orang yang mengerjakan perintah dengan didasari nilai spiritual dengan sekadar ritual?” tanya Denny kemudian. “Akhlak,” jawab temannya. Dari sana, kita diajak melihat kembali syarat haji, yakni mampu. Mampu, dalam hal ini tak sekadar mampu secara material dan fisik, namun juga mampu secara spiritual. Seseorang yang mampu secara spiritual berarti memiliki ketakwaan (hlm 11). Salah satu wujud ketakwaan salah satunya bisa terlihat dari kepeduliannya terhadap orang lain.
Jika ia banyak harta dan hendak berhaji, namun ada orang di sekitarnya yang hidup susah dan butuh pertolongan, ia akan lebih mengutamakan membantu orang tersebut. “Jangan sampai dia berhaji, tapi orang sekitarnya kelaparan,” kata teman Denny. Pada intinya, seseorang yang berhaji sekadar menggugurkan kewajiban atau bahkan sekadar untuk mendapatkan gelar atau panggilan “Pak Haji” atau “Ibu Hajjah”, biasanya memiliki kewajiban lain yang mestinya lebih ia dahulukan.
Perbincangan juga sampai pada ibadah kurban. Denny bertanya, mana yang lebih harus didahulukan antara menolong saudara yang membutuhkan atau membeli hewan kurban? “Lihat dulu dirimu, apakah kamu punya utang pada seseorang? Bayarlah, jangan sampai dia marah padamu karena kamu bisa beli hewan kurban tapi tak bisa bayar utangmu. Berarti kamu tak adil kepadanya. Atau jika kamu menemukan orang yang sangat membutuhkan uangmu, bantulah dia terlebih dahulu. Kemampuanmu membantunya dengan mengorbankan kurbanmu, adalah kurban atas kurban itu sendiri,” jelas temannya (hlm 13).
Banyak tulisan yang menggambarkan kedewasaan penulisnya dalam menuangkan pemikiran. Menyikapi maraknya perilaku beragama yang cenderung terjebak pada kulit atau simbol luar belaka, Denny menulis sebuah renungan berjudul “Agama Bukan Tuhan”. Sebuah renungan yang mencerahkan pandangan kita; “Agama bukan apa yang tampak di permukaan, karena mutiaranya bertebaran di kedalaman. Untuk itulah kita disuruh untuk mengkaji, karena membaca saja belum tentu punya arti” Menariknya, Denny juga sering menghadirkan analogi yang tak jauh dari secangkir kopi yang menjadi kegemarannya. “Sebagaian orang menganggap kopi itu kenikmatan. Hanya para penikmat yang menganggap kopi itu pencerahan” (hlm 35).
Perspektif
Selain haji dan kurban, Denny membicarakan banyak hal lain. Mulai tentang fenomena seperti poligami dan LGBT, sampai renungan reflektif dalam menyikapi kehendak Tuhan. Satu hal menarik dari tulisan-tulisan Denny kemampuannya menunjukkan perspektif lain dalam memandang suatu hal. Hal ini kemudian memperluas sudut pandang kita dalam melihat dan menyikapi segala sesuatu. Misalnya, ketika seseorang sudah begitu intens berdoa dan berusaha, namun Allah Swt. belum mengabulkan, banyak orang kemudian cenderung bingung dan mempertanyakan janji-Nya: mintalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-kabulkan.
Denny mengajak kita melihat dari perspektif lain. Artinya, tidak selalu melihat dari sudut pandang “kita sabagai hamba yang meminta” dan “Allah sebagai Tuhan yang memberi”. Bisa saja, karena Tuhan Maha Penyayang, Dia menjaga kita dari keadaan yang tidak baik untuk kita, jika Dia mengabulkan permintaan kita. “Kita ini ibarat cangkir. Tuhan ingin menuangkan kopi panas untuk kita. Tapi, Tuhan tahu, letak cangkir kita masih miring. Jika dituangkan kopi, pasti tumpah”. Bisa jadi, jika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, kita justru menjauh dari-Nya dan tenggelam pada kecintaan duniawi (hlm 129-130).
Buku ini menyimpan banyak obrolan menarik tentang Tuhan, Agama, dan berbagai renungan reflektif terkait sikap keberagamaan kita saat ini. Membacanya, pandangan kita seperti dibuka lebar untuk melihat segala sesuatu secara lebih luas, menghindari menilai sesuatu dari satu sudut pandang yang sempit, dan berefleksi tentang sikap keberagamaan kita selama ini.

                                                                                                            ————- *** ————–

Rate this article!
Tags: