Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa
Sejak Presiden Joko Widodo menyentil soal maraknya pinjaman online (pinjol) ilegal yang membuat warga resah, sejumlah pihak seolah baru tersadar dari tidurnya. Aparat polri langsung bergerak aktif menggerebek kantor pinjol ilegal di berbagai daerah. Ratusan karyawan pinjol ilegal pun ditangkap dan diperiksa. Asetnya disita untuk jadi barang bukti. Pemilik modalnya kini sedang dikejar. Temuan polisi, ada warga negara asing ikut mendalangi operasional berbagai kantor pinjol ilegal.
Satu per satu pejabat pun ikut-ikutan bersuara keras. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Moh. Mahfud MD misalnya meminta masyarakat yang masih menjadi debitur pinjol ilegal untuk tak perlu lagi membayar cicilan pokok dan bunganya. Sementara Ketua DPR RI Puan Maharani tak kalah lantangnya juga berteriak mendesak Polri mengusut pinjol ilegal sampai ke pemodalnya, Kompas (30/10).
Sebelum Presiden mengingatkan keresahan masyarakat akibat pinjol ilegal, bisa jadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menjadi ‘tersangka’ karena dianggap tidak mampu dalam membendung pinjol ilegal. OJK sesungguhnya selama ini telah melakukan berbagai kebijakan untuk memberantas pinjaman online ilegal salah satunya melalui Satgas Waspada Investasi (SWI).
Beberapa langkah dan upaya yang dilakukan SWI di antaranya melakukan cyber patrol, melakukan pemblokiran rutin situs dan aplikasi pinjol ilegal, menertibkan koperasi simpan pinjam yang menawarkan pinjaman online, melakukan pelarangan payment gateway, dan melakukan proses hukum terhadap pinjol ilegal. Namun nampaknya, langkah yang diambil OJK tersebut tidak cukup efektif dalam membendung tumbuhnya pinjol ilegal. Ibaratnya mati satu tumbuh seribu. Kita semua paham bahwa pengaturan dan pengawasan terhadap pinjaman online telah dilakukan melalui Otoritas Jasa Keuangan. Akan tetapi belum terdapat regulasi tentang financial teknology yang memberikan sanksi terhadap penyelenggara pinjaman online ilegal. Publik baru merasakan dampaknya ketika aparat kepolisian secara masif melakukan penggrebekan ke kantor kantor pinjol ilegal.
Berkaca dari fenomena tersebut mengajarkan kepada kita betapa OJK tidak boleh sendirian dalam menghadapi membanjirnya pinjol ilegal. OJK butuh bersinergi dan berkolaborasi dengan instansi lain seperti Polri, Kementerian Kominfo, Gubernur Bank Indonesia, dan juga Menteri Koperasi dan UKM untuk kerja bareng dalam meredakan teror yang ditebar pinjol ilegal ke tengah masyarakat.
Merujuk data yang dimiliki OJK, menunjukkan hanya terdapat 107 perusahaan layanan pinjaman online yang resmi terdaftar di lembaganya. Dari 2018 – 2021 pinjol ilegal yang telah dihentikan sebanyak 3.516 entitas. Jumlah pengaduan masyarakat terkait pinjol ilegal 2019 – 2021 mencapai 19.711 laporan.
Hasil identifikasi ditemukan 9.270 laporan (47,03%) berupa pelanggaran berat dan 10.441 laporan (52,97%) pelanggaran ringan.
Bentuk pelanggaran berat yang dilakukan pinjol ilegal antara lain pencairan tanpa persetujuan pemohon, ancaman penyebaran data pribadi, penagihan pada seluruh nomor kontak di ponsel pemohon dengan teror atau intimidasi, dan penagihan dengan kata kasar serta pelecehan seksual.
Fenomena Pinjol Online
Menjamurnya pinjol ilegal tak terlepas dari tingginya permintaan masyarakat akan dana segar. Di sisi lain, pinjol ilegal menawarkan kemudahan syarat pinjaman. Karena pinjol ilegal tidak perlu comply (patuh) dengan aturan OJK, aturan AFPI. Dia tidak terkait dengan mana-mana. Jadi dia selama orang apply pinjaman dan orangnya mau, dia kasih.
Pinjaman online ilegal menyasar masyarakat yang kesulitan ekonomi. Penagihan dengan ancaman membuktikan sulitnya masyarakat mengembalikan dana pinjaman. Karena itu pinjol menjadi salah satu yang berisiko tinggi. Namun, justru tumbuh subur di Indonesia. Masalah pinjaman online ilegal adalah permasalahan krusial dan meresahkan masyarakat, ada yang terganggu secara psikis, depresi, bahkan bunuh diri karena merasa tertekan.
Perkembangan teknologi saat ini, marak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan malakukan aksi-aksi penipuan seperti pinjaman online ilegal yang berbasis digital. Namun, langkah ini disebut hanya akan membuat lelah pemerintah karena pinjol ilegal akan terus bermunculan.
Persoalan utama yang tak menjadi perhatian pemerintah adalah membangun melek keuangan pada masyarakat, dan pemerintah sejauh ini belum optimal mensosialisasikan pencegahan masyarakat berutang pada pinjol ilegal. Ini akar masalahnya besar sekali, kalau menyembuhkan penyakit daripada mencegah penyakit. Jadi pemerintah akan selalu sibuk dengan menyembuhkan penyakit, bukan mencegah penyakit.
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) terakhir yang dilakukan OJK menunjukkan indeks literasi keuangan mencapai 38,03% dan indeks inklusi keuangan 76,19%. Indeks literasi keuangan ini mencakup pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang memengaruhi sikap untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, serta pengelolaan keuangan dalam mencapai kesejahteraan.
Bagi sebagian warga, pinjaman sangat penting untuk produktivitas usaha, akan tetapi tak sedikit yang meminjam untuk konsumsi. Sementara itu, indeks inklusi keuangan merupakan ketersediaan akses pada pelbagai lembaga, produk dan layanan jasa keuangan sesuai kebutuhan dari kemampuan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan.
Indeks literasi keuangan di Indonesia masih rendah, tapi tidak diiringi dengan inklusi keuangannya. Hal inilah yang menjadi akar persoalan. Jadi, bayangkan, setengah dari yang terinklusi keuangan itu nggak literate, jadi illiterate terhadap literasi keuangan. Inilah yang terjadi. Kalau memberangus bad product-nya capek lah, karena bad product akan selalu muncul. Selain itu, selama ini pemerintah juga terlalu mengedepankan program-program pinjaman pada masyarakat. Namun, bagi masyarakat yang kurang melek keuangan, pinjaman ini kemudian dialihkan untuk konsumsi. Budaya kita budaya kreditan, beli panci kredit, beli barang kredit. Bukan tabungan.
Memotong Akses Pinjol Ilegal
Penyelesaian persoalan pinjol ilegal ini harus dari hulu, semisal persoalan sosial ekonomi masyarakat dan persoalan izin, serta persoalan aplikasi. Dengan demikian, persoalan pinjol ilegal tidak bisa tuntas kalau ditangani hanya di hilir saja.
Masyarakat yang menjadi korban pinjol ilegal harus bisa dipetakan, apakah mereka meminjam itu untuk kegiatan konsumtif atau meminjam untuk kegiatan produktif. Apalagi, kini iklan pinjol legal ataupun ilegal amat banyak di media sosial. Dengan iming-iming kemudahan pencairan. Masyarakat yang tingkat literasi keuangannya rendah akan mudah tertipu,baik soal pinjol legal maupun ilegal ini, terutama soal bunga berbunga dan penalti.
Persyaratan peminjaman pun dibuat menjadi amat mudah. Perusahaan pinjol ilegal bisa tumbuh marak karena mengakali izin pendirian pinjol legal. Kemudian berbekal izin legal, tapi bodong itu, perusahaan tidak perlu repot melihat, apakah profil risiko peminjamnya layak atau tidak. Yang penting cepat, syarat tinggal foto dokumen sipil dan media sosial serta akses ke dalam informasi di gawai calon peminjam.
Kita mendesak agar OJK meninjau kembali persyaratan-persyaratan pendirian pinjol, termasuk memperketat persyaratan profil risiko calon peminjam. Dengan preseden banyaknya aduan pinjol ilegal ini, sudah saatnya OJK merevisi kembali dua aturan induk itu.
Persoalan lainnya yang mendesak dibenahi adalah soal data calon peminjam. Dari mana pinjol ilegal memiliki data tersebut? Kita tahu persoalan jual beli data nasabah, kartu kredit, kredit tanpa agunan perbankan sudah sering kali bobol. Sering kali oleh orang dalam sendiri yang memperjualbelikan data calon peminjam kepada pihak lain.
Di sisi lain, kita menyadari ternyata aplikasi pinjol legal ataupun ilegal bisa ‘membajak’ informasi pribadi di dalam ponsel kita. Walaupun kita dengan sadar menyetujui persyaratan, sering kali tanpa membacanya, karena dokumen tersebut rumit dan bahasannya sukar dimengerti, tapi dampaknya ternyata besar.
Aplikasi itu dengan leluasa menjelajah surel, media sosial, ataupun kontak di dalam ponsel kita. Ini menjelaskan mengapa sering sekali orang yang tidak meminjam di pinjol justru ikut terkena teror penagih utang. Ada persoalan perlindungan data pribadi di sini.
Pelanggaran HAM terjadi karena kompleksitas antara kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai mekanisme pinjaman online, serta belum terdapat regulasi khusus yang mengatur Financial Technology termasuk juga perlindungan terhadap penyalahgunaan data pribadi yang merupakan suatu mekanisme administratif dalam melakukan transaksi Financial Technology. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Perlindungan terhadap hak para pengguna layanan pinjaman online masih belum optimal. Kondisi tersebut perlu mendapat perhatian mengingat pengguna layanan memiliki hak dasar yang perlu mendapatkan perlindungan.
——– *** ——–