Omnibus Law Cipta Kerja atau Cilaka?

Rancangan Undang-Undang Omnibus Law terkait investasi dan ketenagakerjaan akhirnya diserahkan ke DPR RI pada Rabu (12/2) lalu. Penyerahan draf RUU tersebut sekaligus mengubah nama resmi RUU Omnibus Law dari sebelumnya RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) menjadi menjadi RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).
Namun, hingga kini RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) masih ramai menjadi sorotan dan perbincangan publik khususnya pengusaha dan pekerja. Pasalnya, para buruh menilai justru RUU ini memberikan ketidakpastian kerja, jaminan sosial, dan pendapatan. Kenyataan itupun, rupanya menyulut ribuan masa Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) aksi protes. Pesan dalam aksi tersebut adalah “Tolak RUU Omnibus Law Cilaka,”(kompas.com,17/2).
Merujuk dari UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kalau kita perhatikan dan cermati bersama soal kompensasi dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yang harus dibayar perusahaan kepada buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) jumlahnya jadi lebih sedikit. Sehingga, memberikan kesan RUU Omnibus Law Cipta Kerja semakin mereduksi hak-hak buruh. Bahkan, tersimpulkan RUU Omnibus Ciptaker tidak mengakomodir perlindungan hak buruh. Serta, tidak adanya jaminan atas tiga hal pokok yakni jaminan pekerjaan (job security), jaminan pendapatan (income security), dan jaminan sosial.
Padahal, melalui Pasal 156 UU 13/2003, ditegaskan bahwa jika terjadi PHK, pengusaha wajib membayar “uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.” Sementara dalam RUU Cilaka, uang penggantian hak dihapus. Bunyi pasal itu berubah jadi, “dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja.”( tirto.id 16/2)
Melihat fakta aturan ketenagakerjaan tersebut, terlihat jelas bahwa ada tuntutan yang sangat besar kepada DPR dan pemerintah untuk mengakomodasi kepentingan pengusaha dan pekerja secara adil dan seimbang. Di tengah situasi pembahasan RUU Omnibus Law Ciptaker ini, tidak ada salahnya kita memberi kesempatan setiap pemangku kepentingan menyampaikan usulan, aspirasi, ataupun koreksi. Begitupun, singkatan nama RUU dari Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang diplesetkan menjadi ‘cilaka’, yang berarti celaka atau mendapat kesulitan, kemalangan, kesusahan, dan kesialan. Semoga menjadi sinyal keharmonisan hubungan pengusaha dan pekerja, sehingga ‘cilaka’ menyingkir, kemakmuran dan kesejahteraan terpahat, tertatah dan terukir dengan indah bagi negeri dan bangsa ini. Amin…
Ani Sri Rahayu
Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Malang.

Rate this article!
Tags: