Omnibus Law, Cipta Kerja Jangan sampai Sengsarakan Buruh

Jakarta, Bhirawa.
Menanggapi penolakan keras terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja oleh kalangan Serikat Pekerja Indonesia, anggota DPR RI dari fraksi oposisi PKS, Netty Prasetyani menganggap wajar-wajar saja. Sebab katanya, tidak ada asap kalau tidak ada api. Netty berpesan pada teman teman nya di Baleg (Badan Legislasi) yang akan terlibat dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Agar RUU Omnibus Law Cipta Kerja, jangan sampai men-degradasi kehidupan dan kesejahteraan buruh. Jika buruh menyikapi penuh curiga dan menolak RUU Cipta Kerja ini, menurut Netty, mereka perlu diajak rembugan untuk mendapat pencerahan masalahnya.. Karena dulu pada 2006, pernah kejadian para buruh juga menolak revisi UU nomor 23 tahun 2003.
“Saya titip pesan pada teman teman diBaleg, agar bisa betul betul mengawal jalannya pembahasan RUU Cipta Kerja sampai menjadi UU. Pastikan UU Cipta Kerja tetap memberi jaminan kelangsungan kerja, keadilan dan kesejahteraan buruh tetap terjamin. Sehingga kesangsian para buruh terhadap UU Cipta Kerja yang dianggap akan merugikan buruh, tidak terbukti,” ucap Netty Prasetyani dalam forum legislasi ber tema ” Kesiapan DPR Bahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja”, Selasa sore (3/3). Nara sumber lainnya, Waka Baleg Willy Aditya (Nasdem), Abdul Kadir Karding (PKB), Nabil Haroen (PDIP) dan Iswan Abdullah dari KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia).
Sebagai partai oposisi di DPR, Netty Prasetyani (PKS) mengingatkan, bahwa kebijakan apapun yang lahir di bumi Indonesia, harus selaras dengan landasan ideologi Pancasila dan landasan konstitusional yuridis UUD 45. Tentu juga harus menguatkan demokrasi dan otonomi daerah. Jika konten yang diperlukan dalam Omnibus Law ini adalah bagaimana mempermudah perizinan dan birokrasi. Serta penyederhanaan proses yang harus ditempuh oleh para investor supaya bisa membuka lapangan kerja. Ya, kalau memang dianggap cluster Ketenagakerjaan gak perlu diutik, sepakat ya, sudah selesai.
“Yang perlu dikawal adalah proses pembuatn RUU nya. Harus ada keterbukaan, transfaransi,  antara yang dibahas dengan melibatkan Serikat Pekerja (SP). Karena bagaimanapun, dalam penyusunan UU harus melibatkan SP dan para pakar, sehingga RUU Cipta Kerja memenuhi kepentingan dan kebutuhan pekerja, pengusaha dan negara,” papar Netty.
Pimpinan Baleg Willy Aditya memaparkan: Omnibus Law adalah komitmen Presiden Jokowi untuk melakukan demokrasi ekonomi. Itu harus kita pahami dalam kerangka apa ? Inilah momentum-nya. Kita dulu melakukan, demokrasi ekonomi karena krisis dan tekanan IMF dan World Bank, maka terjadi letter of intens struktural adjust ment, paksaan dari lembaga-lembaga internasional  dan krisis global. 
“Hari ini ada krisis global.  Omnibus Law ini datang dari sebuah political will yang luar biasa dari seorang Presiden, untuk meletakkan patron demokrasi ekonomi. Sekarang inilah momentum-nya. Prinsip dari Omnibus Law  adalah mempermudah investasi dan de-birokratisasi perizinan,” tandas Willy.
Abdul Kadir Karding mengajak untuk melihat konsep RUU Omnibus Law Cipta Kerja, secara obyektif. Ada masalah besar yang harus ditanggulangi adalah pengangguran. Tercatat, jumlah pengangguran saat ini mencapai 7,2 juta. Lalu Angkatan Kerja baru setiap tahun 2,8 juta, belum lagi pekerja paruh waktu. Total pengangguran dan setengah menganggur sekitar 45,8 juta. 
“Jumlah pengangguran sebesar ini, jika dibiarkan akan menimbulkan problem sosial politik dan peradaban. Karena orang menganggur, lama, akan tidak ada pendapatan, tidak ada daya beli. Maka peradaban bisa turun. Kita lihat saja, peradaban yng turun, misalnya, Romawi, Paraguay, Turki,” ungkap Abdul Kadir Karding.
Disebutkan, krisis global akibat ketegangan AS dengan China dan krisis global akibat virus Corona. Ditambah melesatnya pertumbuhan teknologi dan ekonomi. Mau tidak mau pemerintah  harus mengambil langkah  untuk meng-adaptasi keadaan tersebut. [ira]

Tags: