Omnibus-law Keamanan Samudera

(Menjaga Kedaulatan dan Kekayaan Perairan Nasional)
Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior penggiat dakwah sosial politik.
Peta Indonesia sudah berubah, semakin luas terbentang mulai selat Malaka sampai perairan Tobi di utara Papua Barat. Meliputi batas bentang samudera seluas 5,8 juta kilometer persegi. Di dalamnya terdapat perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,55 juta kilometer persegi, menjadi hak pengelolaan tunggal. Tiada negara lain bisa menerabas ZEE tanpa izin Indonesia. Setiap negara di dunia menjaga etika pergaulan, dan menjunjung kehormatan dan kedaulatan teritorial.
Kapal nelayan Indonesia (asal Batubara, Sumatera Utara) juga pernah ditangkap di Malaysia, karena melanggar batas laut. Setelah menjalani proses hukum, “dijemput” pulang ke Indonesia oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekersama dengan Kementerian Luar Negeri RI. Selama tahun 2019, telah “dijemput” pulang sebanyak 38 nelayan. Termasuk 18 nelayan yang tertangkap di Timor Leste, dan 14 nelayan yang ditangkap coast guard Myanmar.
Masih terdapat 40 nelayan lagi yang belum berhasil dipulangkan, karena menunggu proses hukum. Hukum laut wajib ditaati seluruh negara-negara, tak terkecuali kapal dagang, kapal nelayan, dan kapal militer. Hukum laut internasional, merupakan hasil konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Melalui UNCLOS (United Nations Convention on the Law Of the Sea, tahun 1982, telah ditentukan kriteria batas perairan. Bahwa teritorial negara meliputi jarak sampai 200 mil laut.
Selain teritorial permukaan, UNCLOS menyertakan landasan kontinental, berupa kelanjutan alamiah (natural prolongation). Yakni daratan di bawah laut maksimal seluas 350 mil laut, diukur dari batas dasar laut. Konvensi PBB tentang hukum laut, dilaksanakan oleh IMO (International Maritime Organization). Dewan IMO bertugas menggalang kerjasam antar-pemerintah, dan antar-usaha pelayaran. Juga memberikan status observer (peninjau) beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang kompeten.
Provokasi kapal asing di perairan Natuna, Indonesia, wajib berakhir tanpa kompromi. Kapal nelayan (yang diperkuat dua kapal penjaga pantai) asal China diakhiri tanpa negosiasi, sebagai bagian mempertahankan kedaulatan. Seluruh kapal Tiongkok telah meninggalkan ZEE perairan utara Natuna setelah kunjungan presiden Jokowi. Nampaknya, kunjungan peninjauan presiden Jokowi ke Natuna memberi pesan khusus (dan tegas) kepada pemerintah Tiongkok di Beijing.
Namun, meng-antisipasi berulangnya provokasi pada perairan ZEE, pemerintah perlu memperbaiki undang-undang (UU) bidang Keamanan Laut. Termasuk ZEE sesuai rumusan UNCLOS (United Nations Convention on the Law Of the Sea). Tidak lebih, tidak kurang, dengan segala konsekuensi perlindungan lingkungan perairan, dan pengamanan. UNCLOS juga mendefinisikan tanggungjawab.
Hukum Kemanan Laut
Negara “pemilik” ZEE wajib memperlakukan perairan dengan membuat regulasi (UU). Diantaranya, UU pedoman bisnis (jalur perdagangan), pengelolaan sumber daya alam (eksploitasi), dan kelestarian lingkungan (ekologi). Indonesia telah meratifikasi seluruh konvensi IMO. Sampai meng-adopsi peraturan konvensi IMO ke dalam UU Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Juga sangat banyak pula regulasi setingkat UU yang mendukung sektor kelautan.
Sektor kelautan, termasuk peraturan konstruksi kapal, urusan perikanan, sampai urusan tambak garam. Seiring perkembangan ke-maritim-an global, pemerintah (melalui omnibus law) perlu menyederhanakan perundang-undangan. Berdasar catatan Kementerian Koordinator bidang Polhukam, pada sektor Kelautan terdapat 24 UU, dan 2 PP (Peraturan Pemerintah). Seluruhnya akan “di-omnibus law-kan” menjadi satu dalam payung hukum bertema Keamanan Laut.
Diperkirakan setidaknya terdapat 14 institusi pemangku kepentingan pada sektor Kelautan. Tujuh diantaranya memiliki tugas patroli, tetapi (anehnya) tidak punya kapal patroli. Antara lain misalnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menyebabkan tidak efisien, dan bisa mengarah koruptif. Maka stake-holder kelautan perlu penataan sinergitas. Termasuk kewenangan pengejaran di laut, dan pemeriksaan lingkungan laut.
Badan Keamanan Laut (Bakamla) akan menjadi leading sector Kemaritiman. Di dalamnya akan mengatur keamanan, pertahanan hingga kekayaan laut. Tak terkecuali kekayaan di permukaan, di kedalam, di dasar laut, sampai di balik dasar laut (minyak). Bakamla (Badan Keamanan Laut) memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) melakukan patroli keamanan dan keselamatan. Namun berbeda tindakan militer manakala berhadapan dengan penyusup asing di perairan ZEE.
Cara penyelesian penyusupan di laut wajib diupayakan secara diplomasi. Sembari berkoordinasi dengan IMO. Periode tahun 2020-2021 Indonesia terpilih kembali menjadi anggota Dewan (Executive Body Council) IMO, bersama 39 negara lain, diantara 170 negara anggota. Pada kawasan ASEAN, beberapa negara tetangga juga menjadi Dewan IMO. Yakni, Singapura, Malaysia, dan Filipina. Sehingga koordinasi dapat digalang keamanan se-kawasan.
Pada kawasan ZEE, dilarang terdengar letusan pistol (apalagi tembakan meriam). Walau, berdasar UU Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan, Bakamla, juga berwenang melakukan tindakan. UU Kelautan pada pasal 62 huruf c, merinci tupoksi Bakamla sebagai, “melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.”
Harta Karun Laut
Definisi urusan Kelautan telah cukup memadai. Namun ironisnya, dalam UU Kelautan tahun 2014, tidak terdapat definisi tentang Keamanan Laut. Boleh jadi, urusan Keamanan Laut, “diserahkan” pada UU Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Pada pasal 9 huruf b, tentang tugas Angkatan Laut, dinyatakan, “menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.”
Cara penyelesian penyusupan di laut wajib diupayakan secara diplomasi. Sembari berkoordinasi dengan IMO. Pemerintah Indonesia telah melayangkan nota protes kepada pemerintah RRT. Sebagai negara bersahabat, perlu saling menghormati kedaulatan, berdasar etika, dan hukum internasional yang berlaku. Bukan sekadar kekayaan laut nasional yang dijaga. Melainkan terutama, kedaulatan teritorial negara. Misalnya, khusus ikan saja, saat ini ditaksir senilai Rp 10 ribu trilyun (empat kali dibanding APBN 2020).
Berkah kekayaan laut di selurh perairan Indonesia, dari barat (selat Malaka) ke timur (perairan Tobi, di utara Papua Barat) sungguh menakjubkan. Khusus ikan saja, saat ini ditaksir senilai Rp 10 ribu trilyun (empat kali dibanding APBN 2020). Salahsatu jenis yang paling kesohor, adalah ikan Napoleon (Cheilinus undulatus), yang biasa mencari makanan di sekitar karang. Tubuhnya penuh warna: bagian wajag berwrna krem susu, badan berwarna hijau kebiruan, siripnya berwarna coklat.
Panjangnya bisa mencapai 2 meter pada usia 50 tahun, dengan berat badan mencapai 180 kilogram. Seluruh penyelam selalu mencari ikan Napoleon, sekadar selfie bersama. Bentuknya yang unik, ditambah punuk (benjolan di bagian dahi) serta tergolong hermaphrodit. Saat lahir berjenis jantan. Ketika dewasa menjadi betina. Karena keunikannya menjadi incara perburuan ilegal. Diharga Rp 2 juta per-kilogram (total Rp 300 juta per-ekor).
Ikan Napoleon, telah dinyatakan dilindungi, dilarang diambil (dari laut) di seluruh dunia. Tetapi kekayaan laut Indonesia tetap menjadi “godaan” sindikat internasional melakukan illegal fisihing. Juga gerombolan bersenjata yang coba menguasai teritorial perairan. Termasuk untuk tujuan terorisme, dan peredaran narkoba.
Jalesveva Jayamahe, di laut kita jaya (dan kaya). Memerlukan penjagaan ekstra ketat, tak kalah dengan penjagaan di kantor pusat Bank Indonesia. Niscaya memerlukan sarana, prasarana, dan tenaga level mahir. Juga bantuan “keamanan semesta” tenaga terampil oleh masyarakat nelayan. Konstitusi, UUD pasal 33 ayat (3), meng-amanat-kan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Frasa kata, “dikuasai oleh Negara,” bermakna dijaga, dan dipelihara oleh aparat negara, dengan segala daya dan kekuatan. Lebih lagi telah terdapat UU Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Di dalamnya nyata-nyata diatur tentang ZEE. Pada pasal 8 ayat (1), dinyatakan, “Wilayah Yurisdiksi Indonesia berbatas dengan wilayah yurisdiksi Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Palau, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam.”
UU Wilayah Negara tahun 2008, pada pasal 10 ayat (1) huruf g, menyatakan kewenangan pemerintah, “melaksanakan pengawasan di zona tambahan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran dan menghukum pelanggar peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal, imigrasi, atau saniter di dalam Wilayah Negara atau laut teritorial.” Maka keamanan laut menjadi mandatory, kewajiban undang-undang.
——— 000 ———

Rate this article!
Tags: