Oposisi dan Pematangan Demokrasi

Umar Sholahudin

Umar Sholahudin

Oleh :
Umar Sholahudin
Mahasiswa S-3 FISIP Unair, Dosen Sosiologi Unmuh, Surabaya

Setelah menjadi kekuatan oposisi selama 10 tahun, PDI-P akhirnya menuai buahnya. Selain menjadi peraih suara dan kursi terbanyak di parlemen. PDI-P juga mendapat buah politik di Pilpres, yakni berhasil mengantarkan kadernya, Joko Widodo berpasangan dengan Jusuf Kalla menjadi Presiden dan wakil presiden 2014-2019.
Secara politik, meskipun menjadi presiden dan wakil presiden terpilih, Jokowi-JK tidak mudah untuk menjalankan roda pemerintahannya lima tahun mendatang. Hal ini menyusul dukungan politik Jokowi-JK yang tidak mayoritas. Berdasarkan hasil Pileg 2014, Koalisi Jokowi-JK di DPR (2014-2019), mendapatkan sebanyak 207 kursi atau 37% yang terdiri dari PDIP: 109 kursi, PKB: 47, NasDem : 35 dan Hanura 16. Sedagkan Koalisi Merah Putih  yang  terdiri dari Gerindra (73 kursi), Golkar (91), Partai Demokrat (61), PAN (49), PKS (40), dan PPP (39) mendapatkan total kursi 353 kursi, atau 63% kursi DPR. Dari komposisi tersebut, terlihat Koalisi Merah Putih memguasai kursi mayoritas di parlemen.
Dalam beberapa pernyataannya, masing-masing kubu berkomitmen. Jokowi-JK akan tetap membangun koalisi ramping. Sedangkan kubu Prabowo-Hatta akan membangun koalisi permanen sebagai kekuatan oposisi yang kontruktif. Salah satu bentuk komitmen dari koalisi Merah Putih, mereka tidak akan masuk dalam jajaran kabinet yang akan disusun presiden dan wakil presiden terpilih.
Sikap dan komitmen koalisi Merah Putih patut kita dukung dan sekaligus itu sebagai konsekwensi logis dari pertarungan Pilpres; yang menang berkasa, yang kalah menjadi oposisi. Dalam perspektik politik-demokrasi. Pilihan menjadi oposisi sama mulianya dengan memerintah. Bahkan sikap dan pilihan oposisi ini, jika dijalankan dengan baik dan produktif akan menjadi insvestasi politik di Pemilu mendatang.
Kekhawatikan Politik Jokowi-JK
Setelah dihitung secara cermat, Jokowi-JK dan mitra koalisinya mulai khawatir dengan keberlangsungan jalannnya pemerintahan 5 tahun ke depan. Dengan komposisi kekuatan politik di parlemen yang lebih banyak didominasi koalisi Merah Putih, pemerintahan Jokowi-JK diprediksi akan mengalami kesulitan dalam membuat dan mengeksekusi kebijakan-kebijakannya, karena setiap kebijakan-kebijakan stratehisnya akan berhadapan dengan parlemen. Jika parlemen menolak, maka akan sulit untuk memuluskan. Atau setidaknya akan mengalami jalan yang tidak mulus. Dengan kata lain, koalisi ramping, dalam realitas politiknya ternyata tidak mudah.
Karena itu, wajar jika mitra koalisi Jokowi-JK mulai membuka diri dan bahkan berusaha menarik-narik beberapa parpol yang ada di koalisi Merah Putih agar bergabung. Ada beberapa di menjadi target, yakni PAN, PPP, dan Demokrat. PDI-P berharap dari tiga sasaran tersebut, dua partai bisa bergabung.
Dalam konteks ini, mestinya Jokowi-JK harus konsisten dengan gagasan dan idiologi koalisi rampaing dan berkeyakinan koalisi ramping akan berjalan dengan baik dan produktif. Kekhawatiran politik terkait dengan hambatan politik dari parlemen terlalu berlebihan. Jika Jokowi-JK memiliki kebijakan dan program pro rakyat, maka justru itu akan sangat menguntungkan. Partai politik bukan akan berhadapan dengan pemerintah, tapi akan berhadapan dengan suara rakyat, yang saat ini semain kritis dan cerdas. Karena tidak perlu ada kekhawatiran dan ketakutan politik.
Bagi parpol yang akan diajak koalisi Jokowi-JK, lebih hanya akan berdampak negatif bagi partainya sendiri. Karena idiologi dan institusi partai seperti barang dagangan yang dijual murah. Partai tidak memiliki keteguhan idiologi, ternyata partai laiknya komoditas politik yang bisa dipertukarkan dengan jabatan dan kekuasaan, dan image negative lainnya. Lebih dari itu, image partai akan jatuh dimata rakyat. Dan ini akan benih politik yang akan membusukkan institusi partai di kemudian hari (baca: Pemilu mendatang). Masyarakat semakin tidak percaya dengan partai yang berwajah hipokrit. Hukumannya adalah pemilu 2019 suara partai tercanam jatuh tersungkur.
Pematangan Demokrasi
Dalam demokrasi; oposisi adalah sebuah keniscayaan. Dengan hadirnya pemerintahan baru Jokowi-JK, hadirnya kelompok dan kekuatan oposisi (baik di parlemen maupun di masyarakat) sangat dibutuhkan untuk menghindarkan bangsa ini kembali ke rezim otoriatarianisme. Pada saat yang sama, hadirnya kekuatan oposisi dapat mendorong pemerintahan Jokowi-JK untuk lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan. Jika tidak pro rakyat, maka akan berhadapan dengan parlemen.
Kekuatan oposisi merupakan salah satu pilar dari demokrasi yang memilki peran sangat strategis, di samping sebagai kekuatan pengimbang dan pengontrol, juga memiliki peran dalam upaya mempedayakan dan mendidik secara politik potensi masyarakat.
Dengan sikap dan peran oposisi koalisi Merah Putih, setidaknya bisa menyelamatkan bangsa ini jatuh pada jurang demokrasi yang lebih dalam. Dalam Negara demokratis, secara fatsun politik, Parpol yang kalah dalam Pemilu otomatis menjadi partai oposisi dan menjadi kekuatan kontrol dan penyeimbang atas parpol penguasa. Dalam konteks ini, langkah politik PDI-P sangat elegan dan lebih bermartabat daripada berkoalisi.
Langkah oposisi dapat mendorong koalisi Merah Putih berkonsolidasi dan solid untuk meraih kepercayaan rakyat kembali di Pemilu mendatang. Sikap oposisi akan berbuah manis, jika partai-partai oposisi mampu memainkan sikap dan peran oposisinya di Parlemen dengan baik dan maksimal. Dengan demikian, sikap oposisi akan memberikan kontribusi positif secara personal dan kelembagaan partai. Lebih dari itu, langkah ini dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan dan pematangan demokrasi Indonesia ke depan.

                                                     —————————– *** ———————————

Rate this article!
Tags: