Optimalkan Lahan Dengan Bertanam Tumpangsari

H Syafii sedang menunggui pekerja memanen bawang merah di ladangnya (supriyanto/bhirawa)

H Syafii sedang menunggui pekerja memanen bawang merah di ladangnya (supriyanto/bhirawa)

Kab Malang, Bhirawa
Berbagai cara ditempuh petani untuk mengoptimalkan produksi lahan pertaniannya. Salah satunya dilakukan oleh H Syafii (57), petani asal desa Purworejo kecamatan Ngantang Kabupaten Malang dengan menggunakan pola bertanam tumpang sari.
Petani yang sejak muda membudidayakan tanaman bawang merah dan padi ini menerapkan jadwal yang cukup ketat untuk lahan pertaniannya, sehingga sejumlah produk pertanian mampu dihasilkan dalam satu tahun di lahan yang sama.
Saat ditemui di sela-sela panen bawang merah di lahannya, Syafii menceritakan bahwa dirinya memiliki lahan tanah kering dan tanah basah. Untuk lahan tanah kering, dirinya menerapkan pola tanam yang sangat ketat karena sangat bergantung pada curah hujan. Sedangkan untuk tanah basah (sawah) tidak ada masalah karena dialiri air irigasi.
Untuk lahan keringnya seluas 30 are, H Syafii menanam sejumlah komoditas secara bergilir. Di awal musim hujan bulan Oktober – Nopember ditanami bawang merah. Dalam usia 2,5 bulan, tanaman bawang merahnya siap panen. Sebelum panen, Syafii menanam Cabe Rawit dan sawi.
“Saat bawang merah usia 1 bulan, maka saya tanam cabe rawit di bagian tengah larikan dan sebulan kemudian saya tanami sawi,” terang H Syafii. Sehingga saat bawang merah panen pada akhir Januari atau awal Pebruari, tanaman cabe rawit dan sawi sudah tumbuh cukup tinggi. Kemudian selang sebulan kemudian sawi yang sudah panen akan digantikan dengan tanaman tomat atau jagung.
“Saat itu usia cabe rawit sudah siap berbuah. Sehingga sebelum musim hujan berakhir, tanaman cabe dan tomat tinggal memanen saja,” kata H Syafii dengan wajah berseri-seri mengingat panen bawang merahnya kali ini cukup berhasil.
Dia kemudian melanjutkan ceritanya, dengan pola tanam tumpang sari dengan jadwal yang cukup ketat ini membuat penghasilannya sangat cukup. Untuk tanaman bawang merahnya seluas 30 are saja, Syafii mampu menghasilkan 4 ton atau senilai Rp 40 juta untuk harga saat ini Rp 10 ribu/kilogram. Padahal biaya pengolahan tanah dan pupuk di awal musim senilai Rp 25 juta.
“Biaya yang cukup besar untuk membeli pupuk kandang (kotoran ayam) dan mengolah tanah (mencangkul untuk membuat larikan). Tetapi ini hanya diawal musim tanam, selebihnya tinggal membeli pupuk kimia Urea, Za dan NPK untuk pemupukan setiap komoditas tanaman,” tuturnya.
Dikatakan, penggunaan pupuk kandang tersebut bertujuan untuk menjaga kesuburan dan kegemburan lahannya. Sebab kalau hanya mengandalkan pupuk kimia, maka hasilnya kurang optimal.
“Kalau harganya saat pas bagus, maka untungnya lumayan. Tetapi kalau pas harga jeblok ya insya Allah kembali modal,” kata H Syafii sambil mengikat daun bawang merah sebelum diangkut untuk dijemur.
Ditambahkan, untuk lahan sawah yang beririgasi biasanya ditanami padi untuk 1 atau 2 kali tanam dan sisanya untuk bertanam bawang merah. “Kalau lahan sawah beririgasi, pengaturan jadwal pola tanamnya lebih mudah. Tetapi saat ini dam bendungannya masih rusak, sehingga petani juga khawatir,” tukasnya.
Sabo dam yang membendung sungai Konto memang rusak akibat terjangan lahar dingin gunung Kelud dan sampai saat ini belum diperbaiki oleh Pemkab Malang. [sup]

Tags: