Optimasi Peran Keluarga Peduli Anak

Oleh :
Nurul Yaqin, S.Pd.I
Pendidik, asal Sumenep, Madura

Beberapa bulan terakhir kasus penculikan anak dengan tujuan mengambil organ tubuhnya cukup mengkhawatirkan publik. Bahkan, tindakan Taruna (23) melempar anaknya yang baru berumur 47 hari ke dalam tungku yang menyala di Sukabumi, Jawa Barat (detiknews, 24/4/2017) menambah daftar panjang kekerasan terhadap anak di negeri ini. Tindak kejahatan terhadap anak semakin hari kian tak terkendali. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa tahun 2016 tingkat pengaduan dan tindak kekerasan terhadap anak meningkat 15 %. Asrorun Ni’am Sholeh selaku ketua KPAI menyebutkan bahwa total pengaduan anak terkait masalah hukum dan kekerasan tersebut meningkat per triwulan dan mencapai 635 laporan.
Kekerasan terhadap anak dikategorikan sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang membutuhkan extraordinary law (hukum luar biasa). Tak salah jika presiden Jokowi mengambil langkah serius. Presiden mengundang KPAI dan para menteri untuk membahas dan mencari solusi dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak pada Mei 2016 di Jakarta. Bahkan presiden menandatangani peraturan pemerintah pengganti undang-undang  (Perppu) nomor 1 tahun 2016 perubahan kedua nomor 23 tahun 2002 mengenai perlindungan anak. Yang isinya, tindak kejahatan seksual terhadap anak bisa diganjar dengan hukuman mati.
Legitimasi presiden mengganti Perppu di atas patut diapresiasi. Ini adalah bentuk kepedulian pemerintah terhadap kasus kekerasan anak. Namun, memutus mata rantai kejahatan terhadap anak tidak cukup hanya di hilir, tapi juga harus memberantas di hulu. Ruang lingkup hulu yang paling strategis di sini adalah keluarga, tempat penangkal paling ampuh memutus kejahatan terhadap anak yang terus berkelindan. Namun, yang menjadi pertanyaan apakah keluarga telah mengoptimalkan perannya dalam mendidik anak?
Penyimpangan Peran Keluarga
Pada kenyataanya, peran keluarga sebagai tempat berlindung anak masih jauh panggang dari api. Ironisnya, mayoritas tindak kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orang terdekat atau keluarga. Profesor Irwanto, peneliti senior sekaligus Board of End Child Prostitution, Child Pornography an Trafficking of Children for Sexual Purpose (ECPAT) Indonesia menuturkan ’70 persen yang melakukan kekerasan kepada anak adalah orang terdekat’. (netralnews, 21/11/2016).
Dalam artian, keluarga bukan lagi tempat yang nyaman bagi anak. Anak – yang dianggap – sebagai tingkatan manusia paling lemah (baca: fisik) sering kali dijadikan pelampiasan orang dewasa dan keluarga. Terbukti, hasil pemantauan KPAI terhadap kekerasan anak dari 2011 sampai 2015 terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Tahun 2011 terjadi 2178 kasus, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus, dan 2015 tercatat 6006 kasus.
Sayangnya, orangtua berasumsi bahwa kekerasan anak hanya berkutat dalam masalah penculikan, kejahatan seksual, dan kekerasan fisik. Padahal, lebih penting untuk diketahui bahwa metode mendidik anak yang keliru pun termasuk tindak kejahatan. Jamak ditemukan peran keluarga cenderung keliru dalam mendidik anak-anaknya. Orangtua sering kali salah kaprah, alih-alih ingin mengarahkan anak pada kebenaran malah terjebak pada pola asuh yang salah lantaran minim pengetahuan.
Orangtua begitu gampang melabeli anak dengan narasi negatif – yang menurut mereka- tidak akan memberi efek buruk. Contoh sederhana, ketika anak melakukan sedikit kesalahan, spontan orangtuanya mengeluarkan kata-kata negatif, seperti  ‘dasar anak goblok, gitu aja gak bisa’ maka konsep diri anak yang akan terbentuk adalah ‘aku goblok’. Konsep diri menurut Adi W. Gunawan  dalam bukunya Genius Learning Strategy (2006), adalah semacam sistem operasi mental yang akan menghasilkan sebuah label diri setiap anak.
Jika dianalogikan, setiap anak yang lahir diibaratkan meja yang belum mempunyai kaki. Seiring pertumbuhannya, keluarga seperti Ayah, Ibu, Kakek, Nenek dan lain-lain memiliki otoritas terbentuknya kaki meja tersebut. Jika anak terbiasa dengan “konsep diri positif” dari keluarga, maka kaki meja akan kokoh dengan sikap positif. Sebaliknya, jika anak selalu disuguhi “konsep diri negatif” (kata dan sikap) maka kaki meja akan kokoh dengan perbuatan negatif. Jika demikian, keluarga telah sukses menjadi mesin pembunuh bagi perkembangan anak.
Peduli Fisik dan Psikologis Anak
Tugas keluarga bukan sekedar memenuhi kebutuhan materi, ada tanggung jawab besar dalam pundak keluarga untuk selalu menjaga anak secara jasmani dan rohani. Terkadang orangtua cenderung sibuk pada tampilan luar anak (fisik) tanpa mau peduli dengan bagian dalam diri anak (psikologis). Jika keluarga apatis dengan hal itu, jangan salahkan anak jika mencari pelampiasan lain seperti, bertindak amoral, narkoba, mudah tawuran dan perilaku radikal lainnya. Keduanya harus seimbing tidak boleh timpang (imbalance).
Untuk melindungi anak secara fisik dan psikologis bisa dilakukan dengan cara-cara inovatif berikut. Pertama, bantu anak untuk melindungi dirinya. Orangtua senantiasa membiasakan anak agar lebih berhati-hati terhadap orang yang belum dikenal. Memberi pemahaman kepada anak agar menolak tindakan tidak senonoh dari siapa pun. Dan menjelaskan kepada mereka bahwa tidak boleh ada yang bertindak tidak wajar terhadap dirinya.
Kedua, menciptakan komunikasi keluarga yang baik. Menurut Rae Sedwig (1985) komunikasi keluarga adalah suatu pengorganisasian yang menggunakan kata-kata, sikap tubuh (gesture), intonasi suara, tindakan untuk menciptakan harapan image, ungkapan perasaan serta saling membagi pengertian. Komunikasi yang baik akan menjadikan anak lebih terbuka sehingga lebih mudah dalam mengatasi segala problema yang dihadapinya.
Ketiga, bekali orangtua dengan cara mendidik anak yang baik. Salah satu faktor yang mendorong keluarga berbuat tindak kekeraasan adalah immaturitas (ketidakmatangan orangtua) dan minimnya pengetahuan menjadi orangtua. Orangtua harus menjadi manusia pembelajar dengan  cara membaca buku, konsultasi dengan psikolog, dan sharing dengan para pendidik. Sehingga orangtua bisa menjadi contoh bagi anak-anaknya dan bisa memahami kondisi anak yang sebenarnya.
Keempat, kenali lingkungan. Dengan mengetahui lingkungan anak, praktis kita akan banyak mengenal teman-teman dari anak kita. Kewasapadaan orangtua terhadap lingkungan akan mencegah terjadi kekerasan terhadap anak. Mengetahui kondisi lingkungan anak akan lebih memudahkan orang tua dalam membimbing dan menjaga mereka dari gangguan-gangguan yang bisa mengancam.
Kelima, mengontrol anak ketika bermain gadget dan menonton televisi. Teknologi canggih memberi kemudahan untuk mengakses game dan film bagi anak. Tapi, mayoritas game dan film zaman sekarang kurang berkualitas dan mendidik, hanya berisi percintaan dan kekerasan. Minimnya pendampingan orangtua akan mudah ditiru oleh anak untuk berlaku kasar kepada teman-temanya, bahkan ke teman yang lebih muda darinya. Untuk mencegah ini orangtua harus aktif mendampingi anak ketika berselancar dengan game dan menonton televisi.
Keenam, penanaman ilmu agama. Agama mengajarkan moral dan sikap untuk saling menghormati. Prof. Dr. Alexis Carrel seorang serjana Amerika penerima hadiah nobel 1948 mengatakan “moral dapat digali dan diperoleh dalam agama, karena agama adalah sumber moral paling teguh. Nabi Muhammad Saw diutus tidak lain untuk membawa misi moral, yaitu menyempurnakan akhlak yang mulia”. Membekali ilmu agama sejak dini merupakan langkah preventif untuk mencegah kekerasan antar anak. Dengan pemahaman agama yang holistik, orangtua dapat mengajarkan anak arti saling menghormati, menghargai, kasih sayang (rahmat), dan hidup rukun.
Ketujuh, sikapi anak sebagai manusia seutuhnya. Anak bukan benda mati yan hanya bisa diberlakukan sesuka hati (dehumanisasi). Maka, hindari narasi negatif orangtua yang akan membunuh potensinya. Hiasi anak dengan kata-kata positif yang bisa membentuk konsep diri yang baik. Dan jangan pernah bosan untuk mencurahkan kasih sayang kepadanya dengan tulus dan ikhlas.

                                                                                                         —————- *** —————–

Rate this article!
Tags: