Orang-orang Kampung Bercakap Ideologi

Oleh :
Ayis A. Nafis
Pengarang adalah Santri PP. Annuqayah yang gemar melahap essai Danuarto. Bergiat di Komunitas Laskar Pena, Sanggar Becak serta Sahabat Literasiku di media Daring.

“Derita menjadi tertanggungkan ketika menjelma menjadi cerita,” ungkap Hannah Arendt, suatu ketika.

Begitulah pergumulan ideologi yang berderak di kepala orang-orang kampung. Setiap derita yang hinggap lalu terbang kembali, mengelilingi poros-poros kehidupan mereka harus segera di tumpahkan. Jika tidak, -barangkali anggapan mereka- akan menemukan titik jenuh lalu timbul masalah baru, takut-takut terkena penyakit skizofrenia, deperesi yang berlebihan berujung kegilaan.

Secara alamiah mereka menjalankan fitur kehidupan yang menjunjung nilai-nilai interaksi sosial tinggi. Mereka cukup terbuka dengan sesama tetangga. Jauh ataupun dekat. Bukan hanya saling melempar senyum ataupun sapaan di jalan. Mereka seringkali saling bercakap-cakap dalam suatu tempat. Nilai interaksi sosial yang terlupakan pada benak masyarakat millenial.

Di suatu tempat, seluruh gelisah, pertikaian pikiran serta hiruk pikuk keadaan sosial dari segala bentuk kehidupan dibawa tiap individu untuk di benturkan dan di diskusikan secara renyah. Tempat itu begitu sederhana. Entah dibuat dengan papan kayu atau dinding tak begitu tinggi. Mereka menyebutnya warung. Semacam kedai kopi yang diperuntukkan bagi orang-orang dewasa. Waktu-waktu keramaian adalah waktu pagi, kira-kira jam duha hingga pukul tujuh waktu kerja juga saat-saat malam setelah adzan isya’ berkumandang. Para informan yang mangkrak dari perkembangan zaman memiliki tempat tersendiri bagi para pengunjung. Tentu di jam-jam itu adalah berkah dari para pemilik warung. Tanpa di sentuh regulasi sistem kapitalis, secangkir kopi, sebungkus rokok juga beberapa gorengan hangat membuat mereka untung. Semua berjalan secara sederhana. Bangunan-bangunan sosial menjamah pola kehidupan mereka.

Struktur masyarakat yang dikatakan Jean Jasques Rousseau (1712-1778) yakni bahwa kita berada pada “kontrak sosial” yang diadakan antara pihak-pihak otonom, begitu kuat mengungkung mereka.

Percakapan topik topik terkini dan di kemas secara ngalor-ngidul seperti meremas persoalan dari berbagai tanggapan tiap individu. Mengais-ngais kembali puing-puing sejarah bangsa Indonesia yang kental dengan sikap tanggap sosialnya. Tak berlebih, dalam menyikapi pandemi berkepanjangan ini.

Dampak yang cukup signifikan ini merembes pada masalah-masalah kesejahteraan. Saya tiba dengan ayah saya pagi itu, berniat sesekali menyesap keakraban orang dewasa. Tiba-tiba ada yang membuka percakapan tentang kebijakan pemerintah dalam merespon pandemi berkepanjangan ini. Ya, soal bantuan pemerintah yang salah sasaran.

Orang-orang kampung mengenal bantuan ini dengan sebutan PKH (Program Keluarga Harapan) adalah perogram pemberian bantuan sosial bersyarat kepada keluarga miskin (KM) karena merespon kemiskinan di seluruh penjuru bangsa. Disinyalir, bantuan ini terhitung sejak tahun 2007 yang di dunia internasional di kenal dengan istilah Conditional cash transfers (CCT) tak lain untuk menjalankan amanat nawacita presiden.

Melalui program ini, keluarga miskin didorong untuk memiliki akses dan manfaat pelayanan sosial dari segala bidang. Misi program ini makin menemukan juntrungnya ketika mewabahnya kasus kemiskinan masyarakat. Sejak maret 2006 sebesar 10, 86% dari total 28, 01 juta jiwa masyarakat Indonesia. Target pemerintah cukup realistis. Yakni penurunan angka kemiskinan sampai pada 7-8% di tahun 2019.

Sayangnya, bantuan ini tidak melalui “penelitian lapangan” terlebih dahulu. Di kampung, orang-orang penerima bantuan ini kebanyakan orang yang tingkat perekonomiannya terbilang cukup memadai. Bukan malah diberikan kepada orang yang benar-benar membutuhkan bantuan. Tentu hal ini menimbulkan sikap empati bagi setiap individu. Tidak tepat sasarannya bantuan menjadi titik pertanyaan yang susah terjawab serta perlu di evaluasi ulang oleh pemerintah. Semacam sistem monarki dari suatu kekuasaan. John F. Kennedy pernah mengungkapkan, “usaha dan keberanian tidak cukup tanpa tujuan dan arah perencanaan.” Begitupun jika ingin membangun bangsa yang berperadaban.

Memang benar, langkah-langkah pemerintah patut di acungi jempol. Tetapi jika menyalahi sasaran perencanaan, hal demikian berpotensi malah meruntuhkan tujuan awal. Buat mengamini diktum sila ke lima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Terlepas dari kemelut persoalaan macam itu, banalitas alamiah tersebut sadar atau tidak malah membentuk good habbitus yang tertanam di benak masing-masing serta menjadi ideologi universal. Keakraban yang menuntun menjadi pribadi humanism. Peduli terhadap sesama. Hal demikan melatih sikap aktif terhadap kegiatan-kegiatan sosial bersama lainnya. Bagi saya, pembangunan peradaban bangsa akan menemukan titik arah yang baik.

Ungkapan Gemah lipah loh jinawi akan menemukan akses pengelolaan terpercaya. Jika slogan “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.” yang di gaung-gaungkan pendukung kesebelasan Timnas ketika berlaga di kancah Internasional di apkikasikan pada ranah sosial, maka kemerdekaan yang hakiki tak hanya akan jadi angan-angan yang menguasai kepala.

Satu yang harus dibangun. Yakni sikap tanggap sosial terhadap sesama.

Derita-derita yang hilir-mudik di ruas nasib akan segera teratasi jika kita bisa membagi, meminta pendapat serta menerima masukan yang masuk akal dan di lanjutkan dengan langkah-langkah nyata kepedulian sosial. Karena sejatinya manusia harus mengamini prinsip Zoon politicon. Membutuhkan orang lain dalam mengarungi hidup. Agar tak terulang kembali kekhawatiran Mahatma Gandhi dalam merumuskan Dosa sosial. Yakni, kekayaan tanpa kerja, kenikmatan tanpa nurani, ilmu tanpa kemanusiaan, pengetahuan tanpa karakter, politik tanpa prinsip, bisnis tanpa moralitas, dan ibadah tanpa pengorbanan.

Jauh di benak, saya berharap bangsa ini terus memiliki kesadaran-kesadaran sosial hingga teraplikasi ke segala bidang kehidupan. Memiliki sikap tanggap sosial yang terus di pegang sampai akhir zaman. Hingga, kita bisa mengulas senyum sampai kematian tiba dengan tergesa.

————- *** —————–

Rate this article!
Tags: