Orangtua Jadi “Guru” di Sekolah

Oleh :
Kurniawan Adi Santoso
Guru SDN Sidorejo, Kec. Krian, Sidoarjo

Kita berupaya tak ada lagi kasus kriminalisasi guru maupun konflik orangtua-guru. Semua berjalan selaras dalam harmonisasi yang mulia yaitu mencerdaskan anak bangsa dengan setulus hati. Sekolah dan orangtua secara kolaboratif menumbuhkembangkan anak menjadi insan berbudi luhur, cerdas, memiliki etika dan estetika untuk menjalani dan menjaga marwah kehidupan.
Selama ini keterlibatan orangtua di sekolah masih berupa dukungan materi. Yang kemudian sering berujung pada kecurigaan mempertanyakan status “sekolah gratis”. Hingga membuat hubungan orangtua dan sekolah menjadi berjarak.
Sejak mengemuka jargon “sekolah gratis”, keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak di sekolah memiliki hambatan yang cukup pelik. Alih-alih berpartisipasi dalam menyukseskan proses belajar-mengajar di sekolah, orangtua cenderung bertanggungjawab pada anaknya lebih kepada aktivitas di luar sekolah. “Sekolah gratis” telah meninabobokan partisipasi aktif orang tua dan masyarakat yang sejak lama menjadi kekuatan pendidikan di Indonesia.
Belum lagi hubungan retak gara-gara aduan anak soal guru yang melakukan kekerasan. Orangtua kesusu tersulut emosi yang mendahulukan sikap agresif. Akhirnya sungguh memrihatinkan. Kasus kriminalisasi terhadap guru karena orangtua tidak melakukan komunikasi terlebih dahulu dengan guru.
Merajut iklim pendidikan yang harmonis mutlak dilakukan. Kalaulah kita mau mereformasi pendidikan, maka harus sampai pada hubungan melibatkan orangtua siswa secara aktif dalam kegiatan-kegiatan sekolah (Shields, 1994). Mereka harus aktif menentukan dan membuat program bersama sekolah dan pemerintah. Baik yang terkait langsung dengan kegiatan pembelajaran maupun non-instuksional.
Pentingnya orangtua menjadi mitra sekolah. Keterlibatan orangtua pada pendidikan anak di sekolah punya dampak postif. Di antaranya pencapaian akademik dan perkembangan kognitif siswa dapat berkembang secara signifikan. Orangtua dapat mengetahui perkembangan anaknya dalam proses pendidikan di sekolah. Orangtua akan menjadi guru yang baik di rumah dan bisa menerapkan formula-formula positif untuk pendidikan anaknya. Pun orangtua memiliki sikap dan pandangan positif terhadap sekolah. (Rhoda, 1986).
Bagaimana melibatkan orangtua di sekolah? Ada tiga cara yang dapat dilakukan. Melibatkan orang tua dalam, 1) pengambilan keputusan, penentuan program, dan kebijakan sekolah. 2) Berpartisipasi, bekerja di kelas dengan upah atau sukarelawan sebagai asisten dalam kegiatan pembelajaran. 3) Partnership atau kemitraan, menyediakan bimbingan di rumah guna mensupport belajar anak dan mengembangkan pencapaian tujuan sekolah.
Menjadi Guru
Yang menarik dari tiga cara tersebut adalah orangtua diposisikan sebagai mitra dalam kegiatan pembelajaran. Orangtua bisa menjadi “guru” di sekolah. Ini yang belum terwujud hingga saat ini.
Padahal orangtua sebenarnya dapat membantu dalam bidang pembelajaran. Seperti menjadi narasumber kewirausahaan, pengajar seni budaya setempat, atau keahlian tertentu. Akan tetapi hal ini belumlah terwujud. Berbagai alasan salah satunya karena kebanyakan orangtua belum bisa membagi waktu antara bekerja dengan menjadi mitra guru di sekolah.
Sekolah bisa merayu para orangtua agar mau diajak berperan serta dalam kegiatan mengajar. Mereka harus duduk bareng membuat kesepakatan terkait hal ini. Yang jelas satu tujuan demi membekali kecakapan hidup untuk anak-anak mereka.
Pendidikan abad 21 memang harus berbasis kecakapan hidup. Yakni kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup. Kemudian secara proaktif dan kreatif, ia dapat mencari solusi yang akhirnya mampu mengatasinya.
Lewat keterlibatan orangtua di sekolah, peserta didik belajar soal kecakapan hidup. Dengan berpedoman empat pilar yang dicanangkan Unesco. Empat pilar pendidikan tersebut adalah belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk berbuat atau bekerja (learning to do), belajar untuk menjadi jati diri (learning to be) dan belajar untuk hidup bermasyarakat (learning to live together).
Pelibatan orangtua di sekolah dalam bentuk program ekstrakurikuler. Misalnya ekstrakurikuler kewirausahaan, seni budaya setempat, dan sebagainya. Yang jadi gurunya adalah orangtua. Mereka dengan berbagai latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan budaya yang beragam sebenarnya mampu untuk berbagi kemampuan di bidangnya.
Syukur jika pemerintah peduli dengan menyediakan anggaran workshop. Sekolah melakukan pelatihan khusus untuk orangtua siswa agar perannya sebagai guru di sekolah jauh lebih baik. Pelatihan ini mengundang dinas pendidikan setempat dan pakar pendidikan dari perguruan tinggi. Berbagai pengetahuan yang didapatkan dari pelatihan itu kemudian dituangkan dalam rancangan kurikulum.
Sekolah bersama orangtua merancang kurikulum ekstrakurikuler. Pelibatan orangtua mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi pembelajaran. Dengan seperti itu diharapkan mendorong para orangtua untuk punya rasa memiliki sekolah. Mereka akan jauh lebih bertanggungjawab terlibat proses pendidikan anak di sekolah.
Orangtua bisa mengajar dalam program ini sesuai dengan gayanya. Namun diberi panduan semacam modul agar tujuan pembelajaran tetap tercapai. Anak bisa paham serta dapat mempraktikkannya.
Produk akhir kegiatan ini adalah anak paham hubungan pengetahuan dan aplikasinya di masyarakat. Ketika anak bermasyarakat, ia punya bekal kecakapan hidup. Ia akan tahu tugas dan tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat.
Akhir kata, saya yakin adanya kolaborasi orangtua dan sekolah, dapat meningkatkan outcome anak, terutama dalam prestasi akademik dan pembentukan karakter. Karena itu, meningkatkan partisipasi orang tua dalam pendidikan pada semua level dan jenjang ialah keharusan. Adapun cara-cara kreatif dan inovatif tentang bentuk partisipasinya bisa berasal dari dan atas inisiatif sekolah dan juga orang tua.

———- *** ————-

Rate this article!
Tags: