Otokritik Dalam Resistensi dan Altruisme Sosial

Oleh:
Dedik F. Suhermanto
Pengajar Prodi Hubungan Internasional di universitas Muhammadiyah Malang Peneliti di Center for Social Studies Community (CSSC Indonesia)

Nampaknya keresahan para pelaku usaha dan sopir angkutan umum konvensional terhadap transportasi online sudah di waspadai oleh Pemerintah Kota Malang. Dengan sadar bahwa polemik ini dapat menimbulkan gesekan sosial jika dibiarkan berlarut. Pemerintah kemudian memediasi para pelaku usaha tersebut dengan beberapa kesepakatan yang bersifat sementara, antara lain transportasi berbasis online dapat tetap beroperasi tetapi tidak diperbolehkan mengambil penumpang dari beberapa tempat seperti Mall, tempat hiburan, Pasar, Terminal, Hotel dan Jalur yang di lewati angkutan umum (27/2).
Respon aktif pemerintah Kota Malang terhadap polemik transportasi konvensional versus transportasi online tersebut patut diapresiasi jempol. Pasalnya, demo para pengusaha dan sopir angkutan Kota Malang terhadap maraknya angkutan berbasis online telah menyebabkan berkurangnya setoran dan pendapatan mereka. Akibatnya kemudian, terlantarnya para penumpang terutama anak sekolah, pedagang pasar dan para pengguna setia angkot.
Pindah Haluan
Polemik ini menjadi santer karena banyak kalangan yang pindah menggunakan transportasi online, sehingga para sopir angkot banyak kehilangan penumpang. Peralihanpenumpang angkot ke ojek atau taksi online telah memberikan pengaruh besar bagi pendapatan,khususnya setoran sopir harian.
Dari sekian alasan konsumen yang beralih ke transportasi online, bukan hanya karena efisiensi tetapi juga dianggap lebih flexible dan dianggap lebih aman. Alasan efisiensi waktu menjadi satu alasan kenapa para konsumen beralih ke moda transportasi online, mengingat transportasi umum “angkot” harus menunggu penumpang penuh “ngetem” dan jalur memutar mengikuti rute trayek, dan hal ini menjadi satu pertimbangan bagi kalangan tertentu. Kemudian dari segi keamanan, angkutan umum dianggap masih banyak terjadi tindak kejahatan serta praktek curang terhadap penarikan tarif yang tidak sesuai. Persoalan inilah yang kemudian membuat para penumpang beralih ke transportasi online yang dianggap lebih efisien.
Kondisi tersebut menjadi sebuah dilema dan keniscayaan yang dihadapi oleh para pelaku usaha serta sopir angkutan umum. Hal ini karena dihadapkan pada sebuah pilihan yaitu harus memilih efisiensi, flexibilitas, kenyamanan dan keamanan. Nah, bagi pelaku transportasi konvensional hal-hal tersebut belumlah memungkinkan sehingga yang terjadi adalah ketidakberdayaan dan konsekwensi kehilangan penumpang.
Polemik yang terjadi bukan hanya terjadi di Kota Malang tapi juga terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung.
Altruisme dan modal sosial AREMA
Menarik kemudian, munculnya sebuah kepedulian sosial oleh masyarakat Kota Malang “AREMA” yang secara sukarela menawarkan ojek gratis untuk membantu trasnportasi para penumpang terlantar. Kepedulian ini adalah sebuah Modal sosial, kepedulian ini menunjukkan bahwa masyarakat Kota Malang mempunyai rasa tanggung jawab terhadap kondisi sosial masyarakat. Kepedulian sosial yang tidak hanya dimiliki satu dua orang individu saja, tetapi banyak individu dari berbagai kalangan dan profesi untuk terlibat dalam membantu sesama. Apabila melihat fenomena ini, Sifat peduli, respek terhadap kondisi seseorang, adalah sejalan dengan slogan “Salam Satu Jiwa” dimana kesamaan rasa, kesamaan jiwa terhadap persoalan yang dihadapi untuk ikut bersama merasakan adalah sebuah altruisme, dan tidak semua masyarakat memiliki modal sosial seperti ini terutama di kota-kota besar lainnya. Modal dan sikap ini patut di sikapi secara positif terutama sebagai modal pembangunan warga Malang lebih Humanis.
Di dalam pemaknaan-nya sendiri, Altruisme dalam makna positif adalah bagian dari modal sosial yang jarang ditemukan dalam perkembangan masyarakat modern seperti saat ini. Pembangunan kota menjadi Kota Modern sering melupakan nilai-nilai sosial seperti ini, maka dari itu modal ini dapat dijadikan sebagai sebuah role model setingkat dengan branding Kota Malang kota kreatif.
Hal ini didukung dengan upaya-upaya pembenahan pemerintah Malang yang lebih memanusiakan warga, serta upaya menyeimbangkan wilayah-wilayah kumuh menjadi wilayah wisata. Hal ini penting untuk di lihat serta dicatat bahwa untuk membangun sebuah Kota yang modern tidak perlu menghilangkan nilai-nilai sosial terutama nilai lokal. Sepertihalnya polemik seteru antara angkutan umum dan angkutan berbasis online saat ini, telah mengambarkan sebuah resistensi antara modernitas dan lokalisme.
Sebuah Otokritik
Benturan antara angkutan konvensional dan angkutan berbasis aplikasi online adalah cerminan resistansi antara tradisional dan modern. Artinya bahwa seiring dengan perkembangan jaman model-model tradisional akan tergeser oleh model modern. Terutama, penggunaan teknologi sebagai media interaksi sosial dan teknologi sebagai media pemasaran dan sebagai pasar, secara otomatis sistem tradisional sedikit demi sedikit akan mengalami pergeseran. Oleh karena itu, tidak heran ketika konversi tradisional ke modern mengalami benturan khususnya di tataran sosial masyarakat.
Apabila kita melihat dinamika ini, otomatis kita dihadapkan pada peran pemerintah sebagai penyelenggara administratif negara baik ditingkat lokal, daerah dan pusat. Ketiga administrasi pemerintah ini harus mempunyai terobosan untuk menangani problematika yang terjadi, khususnya kemunculan transportasi online. Dan masalah ini membutuhkan sebuah keputusan yang bijaksana. Artinya keputusan atas kebijakan harus dapat mengakomodasi kepentingan antar pelaku usaha transportasi baik konvensional maupun online.
Ada dua kondisi dilematis yang dihadapi pemerintah. Pertama, belum adanya peraturan/ legalitas kendaraan yang di gunakan oleh para pelaku transportasi berbasis aplikasi online. Lalu, transportasi berbasis aplikasi tidak mempunyai trayek, sehingga mereka dapat beroperasi dimanapun dan kapanpun. Protes ini didasarkan pada Undang-undang no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan dasar hukum. Kedua, berkurangnya pendapatan para pelaku transportasi konvensional. Hal ini karena banyak pengguna beralih menggunakan jasa transportasi aplikasi online, sehingga pendapatan transportasi konvensional kehilangan penumpang.
Kedua permasalahan tersebut, terlihat bahwa problematika terbesar adalah permasalahan ekonomi. Dan hal ini tidak dapat dipecahkan oleh kedua pelaku usaha tersebut. Untuk itu dibutuhkan pihak ketiga yaitu pemerintah sebagai pemangku kepentingan. Menurut penulis ada tiga upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah Kota Malang.
Pertama, pemerintah harus gerak cepat melakukan deregulasi peraturan tentang ketentuan kendaraan untuk angkutan umum. Hal ini di dibutuhkan agar tidak terjadi kembali bentrokan antar pekerja transportasi ini. Kedua, sebaiknya ada upaya perbaikan dari pengelola atau perusahaan transportasi konvensional. Perbaikan ini dari segi pelayanan dan pengelolaan unit-unit armada agar lebih maju bersamaan dengan pesatnya perkembangan teknologi. Ketiga,tiga pihak berkepentingan pengusaha Organda, Transportasi Online dan Pemerintah haruslah duduk bersama guna menciptakan kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan semua pihak.
Apalagi regulasi dan tata kelola transportasi kita saat ini masih belum beradaptasi dengan perkembangan jaman seperti kemajuan teknologi yang tidak jarang membawa dampak buruk dan memunculkan gesekan-gesekan sosial seperti yang terjadi antara transportasi konvensional dan online.
Resistansi transportasi konvensional terhadap transportasi online ini, kiranya dapat menjadi sebuah otokritik bagi pemerintah dan pihak terkait yaitu agar lebih sadar dan cepat berbenah dalam menghadapi pesatnya perkembangan jaman. Jangan sampai resistansi yang muncul kemudian menimbulkan konflik sosial ekonomi yang lebih luas.

                                                                                                        ————– *** —————-

Tags: