Otonomi Daerah : Harapan Vs Kenyataan

Refleksi Hari Otonomi Daerah XXVI Tahun 2022

Oleh :
Teguh Sri Mulyanto
Kabag Pemerintahan Setda Kabupaten Trenggalek

“Manusia jangan sampai berhenti berharap. Seandainya Indonesia belum sesuai dengan yang kau harapkan, mungkin di era anak kita atau di era cucu kita, Indonesia lebih baik. Yang penting kita harus terus berharap dan jangan sampai berhenti berharap,”

KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha)

Uulama Rembang Jawa Tengah.

Tonggak lahirnya otonomi daerah mendasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1996 tentang Hari Otonomi Daerah, yang menyebutkan bahwa tanggal 25 April, setiap tahunnya, ditetapkan sebagai Hari Otonomi Daerah. Inilah salah satu hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, hari lahirnya kebijakan penyerahan sebagian Urusan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk otonomi daerah.

Secara historis, cikal bakal otonomi daerah, sebenarnya sudah dilakukan pada jaman Kolonial Belanda (1903), yang memberikan peluang kepada satuan pemerintahan yang dibentuk saat itu untuk mengelola keuangannya sendiri.

Di awal kemerdekaan Republik Indonesia, semangat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, menitikberatkan pada azas dekonsentrasi, mengatur pembentukan komite daerah, karesidenan, kabupaten dan kota berotonomi. Di era Orde Lama, Indonesia hanya mengenal satu daerah otonomi, yang terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu Kotaraya, Kotamadya dan Kotapraja.

Era berganti ke Pemerintahan Orde Baru, membentuk dua tingkat daerah otonom yaitu daerah tingkat I (provinsi) dan daerah tingkat II (kabupaten/kota), yang dilakukan pengawasan ketat atas pelaksanaan otonomi daerah agar sesuai arahan Pemerintah Pusat.

Secara “simbolis” penyerahan sebagian kewenangan tersebut, ditetapkanlah 26 Daerah Tingkat II se-Indonesia sebagai percontohan pelaksanaan otonomi daerah pada tanggal 25 April 1996 dan untuk menandai moment ini, pada tanggal dan tahun tersebut, ditetapkanlah Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1996 tentang Hari Otonomi Daerah, yang setiap tahunnya, kita peringati sebagai Hari Otonomi Daerah. Namun semenjak runtuhnya Pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, yang berkuasa selama 32 tahun, membawa angin segar bagi pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.

Daerah diberi kewenangan seluas-luasnya dalam mengurus dan mengelola rumah tangganya sendiri sesuai prakarsa dan inisiatifnya. Lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang substansinya lebih dominan pada kebijakan desentralisasi namun ternyata terjadi euforia yang berlebihan dalam implementasinya, sehingga memunculkan raja-raja kecil di daerah serta berkembanglah praktik-praktik yang tidak sesuai tujuan pemberian otonomi daerah.

Untuk mengendalikan jalannya otonomi daerah agar tidak “kebablasan”, lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, di-sini-lah Pemerintah Pusat hadir untuk memberikan arahan bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah agar tujuan pemberian otonomi daerah tercapai dalam kondisi kondusif dan terkendali. Waktu terus bergulir dan dinamika otonomi daerah semakin berkembang serta melalui pembelajaran selama satu dasawarsa, lahirlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang saat ini masih berlaku.

Undang-Undang ini, menguraikan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah lebih detail, koordinasi antar pimpinan daerah saling sinergi dan Pemerintah mendukung Daerah untuk menemukan identitasnya menghadapi persaingan global melalui inovasi dan penerapan teknologi dalam pelayanan publik dan mensejahterakan masyarakat.

Kebijakan Otonomi Daerah vs Kebijakan Desentralisasi Fiskal

Berbicara tentang kebijakan otonomi daerah dan kebijakan desentralisasi fiskal ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Otonomi daerah tanpa desentralisasi fiskal, lumpuh. Desentralisasi fiskal tanpa otonomi daerah, omong kosong. Pemberian kewenangan kepada Daerah tanpa dibarengi pendanaan, akan berjalan terseok-seok.

Pemberian dana tanpa dibarengi kewenangan mengelola, Daerah tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi idealnya, kewenangan mengelola berhimpitan dengan pendanaannya, tak terpisahkan seperti dua sisi mata uang.

Kita tahu, dalam menjalankan kebijakan otonomi daerah, kita sandarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (yang direvisi beberapa pasalnya, dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015). Di atas sekilas sudah dijelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, subtansinya menguraikan tentang pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah secara lebih detail (baik Urusan Pemerintahan Absolut, Urusan Pemerintahan Konkuren dan Urusan Pemerintahan Umum) berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentasi dan tugas pembantuan.

Untuk menjalankan kebijakan otonomi daerah tersebut, syukur alhamdulilah pada tanggal 5 Januari 2022 yang lalu, Pemerintah telah mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang lebih dikenal dengan UU HKPD.

UU Pemda bertemu dengan UU HKPD, klop sudah, kewenangan bertemu dengan pendanaan seperti dua sisi mata uang, tak terpisahkan.

UU HKPD ini mencabut 2 (dua) Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

UU HKPD ini juga mengatur derap langkah antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah agar seirama dan satu suara dalam mencapai tujuan bernegara dan bergotong-royong mensejahterakan masyarakat.

Ada 4 (empat) pilar UU HKPD dalam mendukung otonomi daerah, yaitu : meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal, mengembangkan sistem pajak dan retribusi daerah yang mendukung alokasi sumberdaya nasional yang efisien, mendorong peningkatan kualitas belanja daerah serta harmonisasi belanja pusat dan daerah. Harapannya, UU HKPD ini dapat menjawab tantangan isu strategis yang harus ditangani secara komprehensif oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.

Harapan Otonomi Daerah

Tentu, setiap Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten / Kota mempunyai harapan yang di-impi-kan untuk diwujudkan menjadi kenyataan dari kebijakan otonomi daerah (UU 23/2014) yang didukung kebijakan desentralisasi fiskal (UU 1/2022). Bagaimana caranya ?

Untuk meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal maka pemerintah daerah hendaknya berinovasi sehingga bisa berkinerja yang baik dalam penyediaan layanan publik agar mendapatkan insentif fiskal sebagai upaya untuk mendorong pemerintah daerah untuk berkompetisi dalam peningkatan kualitas layanan publik di daerah.

Dalam mengembangkan sistem pajak dan retribusi daerah yang mendukung alokasi sumberdaya nasional yang efisien maka pemerintah daerah melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan asli daerah, dengan melakukan simplifikasi dan restrukturisasi jenis dan tarif pajak dan retribusi daerah agar kemampuan keuangan daerah dalam membiayai program-program pemerintah sesuai kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.

Dalam rangka mendorong peningkatan kualitas belanja daerah maka pemerintah daerah agar segera mengintegrasikan seluruh program dan kegiatan dengan pemerintah pusat. Selain itu, sesuai mandatory UU HKPD maka pemerintah daerah harus mengalokasikan belanja pegawai maksimal 30% dari APBD dengan masa transisi selama lima tahun dan minimal 40% dari total belanja daerah di luar transfer ke daerah untuk belanja modal. Hal ini dilakukan agar penataan belanja daerah lebih produktif dan fokus pada penyediaan layanan dasar publik.

Lalu, agar harmonisasi belanja pusat dan daerah terwujud maka pemerintah daerah senantiasa mensinergikan kebijakan belanja pusat dan daerah khususnya apalagi jika terjadi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional, seperti tahun lalu yaitu pemerintah pusat melakukan refokusing anggaran untuk menanggulangi dampak pandemi covid-19. Hal ini bertujuan agar kebijakan fiskal nasional dan regional untuk menjaga kesinambungan fiskal.

Selamat Hari Otonomi Daerah XXVI Tahun 2022, semoga Allah SWT senantiasa meridhoi langkah kita untuk mensejahterakan masyarakat melalui otonomi daerah, aamiiiin.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: