OTT KPK makin Kerap

2mhslyfKPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) jilid IV, seolah memiliki “kegemaran” baru. Bagai pepatah tidak banyak bicara tetapi banyak bekerja. “Kegemaran” baru juga menjadi kebanggan masyarakat, memantapkan pemberantasan korupsi. Karena akan lebih menjamin efek jera terhadap calon koruptor. “Kegemaran” baru itu, tak lain, OTT (operasi tangkap tangan). Hanya dalam sepekan akhir bulan Maret lalu, telah dilakukan dua kali.
Yang disergap dalam OTT, adalah anggota DPRD DKI Jakarta. Dipastikan, hasil OTT akan menjerat beberapa orang anggota DPRD, termasuk pimpinan legislatif Jakarta. Beberapa elit parpol tingkat DPD (Dewan Pimpinan Daerah) di Jakarta, akan menjadi tersangka. Selang beberapa hari, penyidik KPK juga menyergap Direksi BUMN (PT Brantas Abipraya) yang sedang bertransaksi dengan “markus” (makelar kasus).
Sebelumnya (Januari 2016), KPK juga telah melakukan OTT. Sasaran awalnya, anggota DPR-RI. Bahkan saat itu, masa kerja KPK jilid IV belum genap sebulan. Sehingga OTT yang pertama, bagai gebrakan awal, sekaligus warning. Yakni, bahwa KPK jilid IV, tak kalah garang dibanding periode sebelumnya. Padahal semula, komisioner diduga akan lebih condong pada upaya pencegahan. Hal itu mengingat, empat komisioner tidak berlatar belakang penindakan.
Wajar apabila OTT akan semakin sering dilakukan, karena korupsi semakin terang-terangan. Namun upaya pencegahan tetap dilakukan. Seperti kampanye “Perempuan anti-Korupsi” di Surabaya. Bersamaan dengan itu juga dilakukan penyidikan dan penggeledahan terhadap dugaan tindakan korupsi. Antaralain di kampus Universitas Airlangga, untuk kasus proyek tahun 2010 – 2011.
Hal itu membuktikan, tidak ada kasus (dugaan kerugian keuangan negara) yang dibiarkan menguap. Sebagaimana biasa, korupsi merupakan kejahatan sindikasi, dilakukan lebih dari dua orang. Karena itu KPK, tidak hanya menyasar banyak pejabat publik (anggota DPR dan DPRD), dan Kepala Daerah). Melainkan juga BUMN (dan BUMD) serta makelar kasus dan makelar proyek-proyek pemerintah.
Institusi publik (jabatan politik), harus diakui, menjadi arena paling rawan korupsi. Sudah lebih dari 4 ribu pejabat politik (menteri, kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota), masuk penjara. Begitu pula DPR dan DPRD, menjadi terdakwa pada sidang tipikor (tindak pidana korupsi) karena terlibat KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme). Ratusan lain masih antre masuk penjara. Tak terkecuali aparat partai politik (parpol).
Pada kasus OTT anggota DPRD DKI Jakarta, misalnya, korupsi bermula dari KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) oleh kader satu parpol. Biasanya, dari satu parpol, akan merembet pada sekawanan satu komisi (di DPR). KKN  bermotif perburuan rente (suap) sebenarnya kerap dilakukan oleh DPR dan DPRD seluruh Indonesia. Hampir pada setiap pembahasan UU dan Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) selalu di-iringi perburuan rente.
UU dan Raperda yang paling kerap menjadi medan perburuan rente adalah, RAPBN, RAPBD, serta Perubahan APBN dan Perubahan APBD. Konon, itulah medan paling “basah.” Selain itu juga masih terdapat Raperda LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) Kepala Daerah. DPRD (Propinsi maupun kabupaten dan kota) memiliki hak untuk menerima atau menolak LPJ. Jika hasil pembahasan LPJ diterima (dinilai baik) oleh DPRD akan tertuang dalam Peraturan Daerah.
Jika DPRD menolak LPJ (karena banyak penyimpangan), maka akan berlanjut pada hak angket atau hak interpelasi. Bisa berujung impeachment, pelengseran Kepala Daerah. Sehingga pada pembahasan LPJ, diperlukan “lobi khusus” pihak eksekutif (pemerintah) terhadap DPRD. Pada proses politik (di DPR dan DPRD) itulah KPK mesti ekstra cemat bekerja.
Namun perburuan rente tidak hanya berupa pemberian uang tunai. Melainkan dengan berbagai pengeluaran kas daerah yang seolah-olah berbasis kinerja. Termasuk kunjungan ke luar negeri.

                                                                                                                  ———   000   ———

Rate this article!
OTT KPK makin Kerap,5 / 5 ( 1votes )
Tags: