OTT Mencoreng BPK

Karikatur Ilustrasi

“Bisik-bisik” tentang suap di BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), kini telah terbukti nyata. Menjadi realita hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melakukan tangkap tangan (OTT), Jumat lalu. Penggerebekan berkait dengan suap terhadap audit laporan keuangan Kementerian. Diharapkan, OTT akan membuka tabir tentang suap di BPK. Sehingga keuangan negara (dan daerah) bisa lebih  diselamatkan.
Bukti suap terjadi pada Kemendes PDT (Kementerian Pedesaan dan Pembangunan Daerah Tertinggal). Ternyata, “harga” opini hasil audit BPK tidak mahal. Hanya Rp 240 juta! Dengan harga itu, BPK akan menerbitkan opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Opini (semacam penilaian hasil audit keuangan) WTP, bermakna laporan keuangan sudah “beres.” Artinya, anggaran telah digunakan sesuai dengan aturan. Tidak ada pelanggaran.
BPK dibentuk berdasar UUD hasil amandemen ketiga (November 2001). Dalam UUD pasal 23E ayat (1), dinyatakan, “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.” Berdasar amanat pasal 23E ayat (2), hasil pemeriksaan pengelolaan keuangan (oleh BPK), wajib diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD.
BPK bekerja berdasarkan Undang-undang (UU) nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Di dalamnya terdapat kewajiban menyertakan audit BPK. UU tersebut berlaku untuk seluruh Kementerian dan Lembaga Negara (termasuk KPK). Sedangkan untuk pemerintah daerah (propinsi, serta kabupaten dan kota) berlaku UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Wajib lulus audit BPK.
BPK juga diwajibkan bekerjasama dengan penegak hukum. Terutama manakala ditemukan penyimpangan pengelolaan kekuangan. Kerjasama setidaknya dijalin dengan Kejaksaan, dan KPK. Kesalahan pengelolaan keuangan yang bersifat mal-administrasi, wajib di-klarifikasi. Biasanya, BPK memberi tenggat waktu hingga enam bulan. Kadang menjadi “hutang” pada tahun berikutnya. Seluruh kesalahan yang gagal diklarifikasi akan berkonsekuensi dengan hukum (pidana korupsi).
Seluruh laporan keuangan, wajib masuk audit BPK, sekitar bulan Januari. Hasil audit BPK biasanya diterbitkan pada akhir Mei hingga Juni. Untuk Pemerintah Daerah, hasil audit BPK menjadi persyaratan utama LPJ (Laporan Pertanggungjawaban). Matri LPJ diserahkan kepada DPRD wajib dengan status “audited” (menyertakan hasil audit BPK). Tanpa hasil audit BPK, LPJ Kepala Daerah dinyatakan tidak sah.
Lazimnya, tim audit BPK meng-investigasi laporan keuangan dalam dua term utama. Yakni: Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan, serta term Sistem Pengendalian Intern. Hasil akhirnya, BPK akan mengeluarkan opini (penilaian) dalam tiga kategori. Yakni, yang terbaik WTP, yang menengah di-opini-kan dengan WDP (Wajar Dengan Pengecualian). Serta klasifikasi Disclaimer, yang berarti tidak layak (sangat banyak kesalahan).
Terhadap opini terbaik, “WTP,” bukan berarti tidak terdapat penyimpangan pengelolaan keuangan. Bahkan banyak kesalahan pun, juga bisa memperoleh opini WTP. Sehingga kriteria tentang opini  “WTP” sulit dipahami. Boleh jadi, itulah domain auditor BPK. Sekaligus dapat menjadi “celah” penyalah-gunaan wewenang dan me-lempang-kan suap (gratifikasi).
Ironisnya, fungsi BPK sangat strategis. Namun beban kerjanya tidak didukung dengan struktur kelembagaan yang memadai. Sebanyak lebih dari 400 pengelolaan APBD kabupaten dan kota, harus di-audit BPK. Selain itu masih terdapat 34 APBD propinsi. Serta lebih dari seratus lembaga negara dan kementerian. Semuanya harus ditangani oleh BPK, dalam waktu hampir bersamaan! Yakni, mulai Januari hingga bulan Mei.
Maka OTT terhadap (auditor dan pejabat tinggi) BPK, seyogianya menjadi momentum perbaikan kelembagaan BPK. Termasuk struktur pegawai dan staf fungsional mesti dibenahi melalui rekrutmen ketat, seperti penyidik pada KPK. Walau konsekuensinya, akan lebih pejabat masuk penjara, karena BPK yang semakin baik?!

                                                      ——— 000 ———

Rate this article!
OTT Mencoreng BPK,5 / 5 ( 1votes )
Tags: