Outsourcing dan Kesejahteraan Buruh Indonesia

Saprin ZahidiOleh :
M. Syaprin Zahidi, MA
Dosen Pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
Tanggal 1 Mei dalam Kalender internasional dirayakan sebagai hari buruh Internasional, sejarah dari perayaan yang biasa disebut May Day ini sebenarnya berawal dari Amerika Serikat pada tahun 1886 yang ditandai dengan demonstrasi kaum buruh. Dalam demontrasi tersebut para buruh menuntut pemberlakuan 8 jam kerja.
Tuntutan tersebut terkait dengan kondisi saat itu, dimana kaum buruh dipaksa bekerja selama 12 sampai 16 jam per hari. Demonstrasi besar yang berlangsung sejak April 1886 pada awalnya didukung oleh sekitar 250 ribu buruh dan dalam jangka waktu dua minggu membesar menjadi sekitar 350 ribu buruh.
Nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kaum buruh di Amerika Serikat ini ternyata menyebar dan kemudian menjadi nilai yang diperjuangkan oleh seluruh buruh didunia ini. hasil dari demontrasi buruh diberbagai negara ini akhirnya mencapai tujuan yang diinginkan oleh kaum buruh. Ini ditandai dengan disahkannya 8 jam/hari atau 40 jam/minggu (lima hari kerja) menjadi standar perburuhan internasional oleh ILO (International Labour Organization) melalui Konvensi ILO No. 01 tahun 1919 dan Konvensi No. 47 Tahun 1935.
Di Indonesia sendiri perjuangan dari para buruh memiliki sejarah yang panjang. Namun, secara singkat kita bisa mendeskripsikan buruh diera Pemerintahan Soekarno memiliki posisi yang penting bahkan oleh Soekarno sendiri kaum buruh dianggap sebagai “Soko Guru Revolusi”.
Hal yang berbeda terjadi diera Pemerintahan Soeharto, kaum buruh dianggap sebagai perpanjangan tangan dari gerakan komunis di Indonesia yang harus ditangani secara represif. Sehingga, tidak mengherankan jika diera Pemerintahan Soeharto peringatan May Day dilarang dan akan selalu dianggap sebagai tindakan pengacau keamanan jika dirayakan oleh para buruh. Hal ini berahir ketika Soeharto turun dari jabatannya. Saat itulah para buruh dapat merasakan kembali kebebasan dalam menyuarakan kepentingannya.
Di Indonesia tanggal 1 Mei 2014 ini, bisa dikatakan merupakan peringatan hari buruh Internasional yang ke-16 jika dihitung dari tahun 1999 paska turunnya Soeharto. Namun, timbul pertanyaan sudahkah buruh di Indonesia sejahtera?. tulisan ini ingin melihat bagaimana sebenarnya kondisi buruh di Indonesia saat ini kaitannya dengan kebijakan pemerintah mengenai outsourcing.
Outsourcing (Alih Daya) dapat didefinisikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa. bisa berupa vendor, koperasi ataupun instansi lain yang diatur dalam suatu kesepakatan tertentu. Kemudian, badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah ditentukan oleh pihak yang mendelegasikan proses bisnis tersebut.
Di Indonesia kebijakan mengenai outsourcing ini diatur dalam undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (Pasal 64, 65 dan 66 ) dan keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perjanjian Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Kepmenakertrans No. 220/Men/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagai Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain.
Implikasi nyata yang bisa dilihat dari adanya program Outsourcing ini adalah makin jauh dari sejahteranya kondisi buruh di Indonesia. Jika menjadi karyawan outsourcing hak-hak yang seharusnya didapatkan bila menjadi karyawan permanen tentunya akan semakin berkurang baik itu dari segi gaji, asuransi, jaminan pensiun, kelanjutan kontrak dan lain-lain.
Hal tersebut terjadi karena yang mengurus semua itu adalah perusahaan outsourcing yang menyuplai tenaga kerja tersebut ke perusahaan yang bekerjasama dengan perusahaan outsourcing tersebut. Disini bisa dilihat bahwa perusahaan tempat bekerja dari karyawan outsourcing sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap masalah gaji dan hak-hak lain dari karyawan outsourcing.
Kondisi yang terjadi seperti diatas semakin diperparah karena kadang-kadang perusahaan outsourcing tidak seratus persen membayarkan hak dari karyawan-karyawan outsourcing,  seperti yang terjadi di Medan dimana PT ISS sebagai salah satu perusahaan outsourcing ternyata tidak membayar Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) bagi sekitar 1000 karyawannya yang disalurkan diberbagai Mal dan Bank yang ada di Medan.Kepala Bidang Pengawasan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan Jhony Sibuea yang mengatakan:
“Kalau diperkirakan rata-rata gaji pekerja Rp850-950 ribu per bulan, maka seluruh kerugian pekerja karena tidak didaftarkan ke Jamsostek oleh perusahaan itu sebesar Rp. 300 juta per bulan untuk 1000 pekerja,”
Kondisi diatas menjadi potret buram dari kondisi kaum buruh di Indonesia. Dalam pandangan penulis jika pemerintah masih selalu berpihak pada kepentingan pemodal besar dalam hal ini misalnya para pemilik perusahaan maka aksi demonstrasi buruh yang selalu diperingati setiap 1 Mei ini tidak akan mencapai tujuannya yaitu mensejahterakan buruh.
Semua itu tergantung dari keinginan pemerintah (Political Will) dalam mensejahterakan buruh di Indonesia yang dilaksanakan dalam bentuk menghasilkan undang-undang bersama dengan DPR yang benar-benar memihak pada kepentingan buruh. Oleh karena itu menarik untuk kita tunggu kebijakan pemerintah berkenaan dengan buruh ini.

————***————

Tags: