P-APBD 2014 Rp25 Triliun, Berani!

yunus-supanto-1Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik
Berapa sebenarnya potensi pendapatan Propinsi Jawa Timur? Konon yang bisa menjawab pertanyaan ini, konon, para konsultan pajak. Tetapi itupun tidak selalu benar. Sebab, masih banyak potensi pendapatan diluar pajak yang bisa digali. Diantaranya bagi hasil beberfapa jenis pendapatan yang semula hanya dikantongi pemerintah pusat, bisa diurus. Banyak pula undang-undang yang menjamin perolehan bagi hasil. Bahkan bilamana perlu dengan meng-amandemen UU untuk memperoleh hak mandatory.
Akhir pekan ini (Jumat, 25 Juli 2014), pemerintah propinsi bersama DPRD Jawa Timur akan menyepakati Perubahan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) tahun 2014. Angka yang diajukan oleh pemerintah sekitar Rp 20 trilyun. Senilai itulah anggaran yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan di Jawa Timur. Nilai itu tidak termasuk gaji aparatur sipil negara (dulu disebut Pegawai Negeri Sipil, PNS) karena telah ditunaikan oleh APBN.
Setelah desentralisasi (dan dekonsentrasi) berbagai urusan pemerintah telah diserahkan kepada daerah (otonomi daerah). Bahkan regulasi tentang otonomi daerah sangat kokoh, karena dipasang dalam UUD pasal 18, 18A dan 18B, seluruhnya berisi 11 klausul (ayat). Bahkan lebih banyak urusan yang  “di-daerah-kan.” Artinya, pemerintah daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) memikul tanggungjawab lebih besar  untuk menjamin kesejahteraan masyarakat.
UUD pasal 18 menjadi dasar asas zelfwetgeving, kewenangan membuat peraturan perundang-undangan. Dalam ayat (6) dinyatakan: “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.” Dalam hal ini, APBD merupakan Peraturan Daerah, yang harus disepakati bersama oleh jajaran eksekutif (Gubernur) dan legislatif (DPRD).
Selain kewenangan atributif UUD, terdapat pula kewenangan berdasar UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pada pasal 2 ayat (3) dinyatakan: “Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.”
Daya saing daerah tentu harus dicapai dengan belanja modal yang memadai. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 tahun 2010, Belanja Modal berada pada kisaran 25%. Tetapi di Jawa Timur masih kurang dari 20%. rasio Belanja Modal Provinsi Jawa Timur menempati peringkat ke-5 terendah se-Indonesia. Peringkat Jawa Timur makin buruk jika belanja modal ini dihitung per-kapita. Hal itu disebabkan APBD dipagu rendah, sehingga kesulitan untuk membaginya secara memadai.
“Harta Karun” Besar
Pemprop bersama DPRD harus berani mem-pagu APBD dengan nilai lebih besar. Sayangnya, DPRD sering tidak berdaya dalam pelaksanaan fungsi anggaran. Hal itu disebabkan terbatasnya akses informasi keuangan (terutama perpajakan) yang bisa diperoleh anggota DPRD. Sehingga fungsi anggaran DPRD yang dijamin oleh UUD dan UU, toh tidak bisa maksimal dilaksanakan.
Bahkan DPRD umumnya “bertekuk lutut” oleh Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah). Permintaan penambahan anggaran oleh komisi di DPRD, bisa dipatahkan oleh Bappeda hanya dengan jawaban “tidak ada potensi.” Tetapi keterbatasan DPRD ini hikmahnya. Yakni, menghalangi potensi transaksional anggota dewan, seperti sering terjadi di DPR-RI.
Dalam hal transaksional, DPRD (Propinsi maupun kabupaten dan kota) hanya terbatas pada “mengulur” persetujuan. Antaralain dengan perilaku banyak mempertanyakan angka-angka. Pada waktunya pihak eksekutif memahami perilaku anggota DPRD, maka diberikan sekedar dana “tali-asih.” Bisa berupa uang kontan, atau berupa plesiran ke luar negeri. Setelah itu Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD segera disetujui bersama.
Nilai APBD ditentukan melalui asumsi belanja yang harus diseimbangkan dengan potensi pendapatan asli daerah (PAD). Saat ini, pendapatan yang dimiliki Jawa Timur di-pagu sebesar Rp 18,349 trilyun. Penghasilan masih bertumpu pada Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB). Selain PAD, pendapatan daerah juga diperoleh dari Bagi Hasil Pajak (BHP) serta Bagi Hasil Bukan Pajak BHBP) dari pemerintah pusat.
Tetapi sesungguhnya, Jawa Timur memiliki potensi PAD maupun non-PAD yang sangat besar. Kadang, potensi itu dirasa sulit menggalinya. Bahkan kadang tersembunyi. Beberapa “harta karun” yang dahulu sulit digali, kini sudah mulai bisa diraih. Diantaranya berupa Participating  Interest, sebagai mandatory Undang-Undang Migas. Saat ini, participating interest dinikmati oleh pemerintah propinsi serta beberapa pemerintah kabupaten (diantaranya Bojonegoro, Tuban, Gresik dan Bangkalan).
Karena itu “harta karun” lainnya juga harus bisa digali. Misalnya, pajak atas pulsa telepon seluler (ponsel). Bahkan inilah jenis harta karun yang tidak akan habis,  selamanya akan mengalir. Saat ini boleh jadi masih terasa sulit. Seperti dulu Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB), juga diluar jangkauan pemikiran. Syukur, saat ini PBB-KB setiap tahunnya sudah menjadi tulang punggung dalam APBD. Reasoning menarik PBB-KB adalah, keterpakaian bahan bakar di Jawa Timur beserta eksesnya.
Tentu, reasoning serupa bisa ditujukan pada pajak pulsa ponsel. Nomor ponsel dengan kode area Jawa Timur bisa dikumpulkan pajaknya. Sebab setiap operator dan vendor telekomunikasi telah memungut pajak atas pulsa ponsel. Maka wajar (dan wajib) manakala Jawa Timur memperoleh hak bagi hasil. Hak ini (bagi hasil) juga diberlakukan terhadap cukai berupa DBHC (Dana Bagi Hasil Cukai).
Berani Target Besar
Setiap tahun DBHC juga menyokong APBD dalam jumlah besar, lebih besar dibanding total setoran dari seluruh (12 induk perusahaan) BUMD. Dalam hal ini, pemerintah propinsi bersama DPRD harus sudah mulai meng-inisiasi cara memperoleh bagi hasil pulsa ponsel. Antaralain, dengan menuntut transparansi hasil penjualan pulsa. Bisa diawali dengan audiensi kepada Kementerian Komunukasi dan Informasi.
Bila perlu Pemprop juga bisa mengajukan amandemen UU Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Undang-undang ke-telekomunikasi-an memang tergolong daluwarsa. Selama 15 tahun penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia telah sangat jauh berubah. Terutama ketentuan tentang tarif yang diatur pada pasal 26, 27, 28 dan 29 UU 36 tahun 1999. Amandemen UU telekomunikasi ini, pasti akan didukung oleh seluruh daerah.
Dengan berbagai potensi dan harta karun itu, Jawa Timur sebenarnya bisa mem-pagu APBD yang berimbang pada angka Rp 25 trilyun, mulai pada Perubahan APBD 2014. Dengan target P-APBD 2014 sebesar Rp 25-an trilyun, kinerja Pemprop bisa menjangkau obyek dan subyek pembangunan yang lebih besar. Pemprop tidak perlu ragu merencanakan kinerja dengan alokasi anggaran yang besar untuk menjangkau obyek dan subyek pembangunan yang besar.
Masih banyak yang perlu ditingkatkan. Antaralain program peningkatan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) sektor kesehatan dan pendidikan. Hingga kini IPM Jawa Timur masih tergolong rendah dibanding rata-rata nasional. Dengan target APBD besar juga bisa digunakan untuk meningkatkan infra-struktur jalan, jembatan, jalan layang. Dalam hal kelaikan jalan, Jawa Timur juga tertinggal dibanding Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Begitu pula usaha mikro dan kecil, serta usaha tani masih sangat membutuhkan campur tangan pemerintah. Semangat berusaha pada kalangan rakyat sesungguhnya sangat besar. Hal itu terbukti pada setiap pembukaan lapak dagang, bazaar dan pasar dadakan selalu penuh dengan berbagai komoditas. Namun usaha mikro dan kecil (UMK) dan usaha tani tidak dapat meng-akses permodalan secara baik.
Ujung-ujungnya, pelaku UMK dan petani terjerat rentenir bank thithil dan koperasi simpan pinjam.  Andai secara riil Pemprop menyediakan dana Rp 2 trilyun saja per-tahun, itu sudah cukup untuk membangkitkan 40 ribu pelaku usaha mikro kecil dan usaha tani. Jika riil, dalam setahun sudah bisa dilihat hasil secara by name by address by businnes unit. Secara simultan, kebangkitan UMK dan usaha tani juga memperbesar penghasilan (pajak) daerah, serta pembukaan lapangan kerja.
Dengan besarnya harta karun potensi penghasilan daerah, maka harapan untuk memperbesar Perubahan APBD 2014 menembus Rp 25 trilyun, bukanlah mimpi di siang bolong.

—————- *** ——————

Rate this article!
Tags: