Pabrik Gula Ditutup, Pengangguran Meningkat

PG Meritjan Kediri.

Gubernur Tunggu Pembahasan
DPRD Jatim, Bhirawa
Kebijakan pemerintah pusat melalui Kementerian BUMN dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) menutup sembilan (9) Pabrik Gula (PG) di Jatim pada Tahun 2017, mendapat reaksi keras dari petani tebu, pekerja dan Pemprov Jatim. Sebab, rencana tersebut tak pernah melibatkan pemerintah daerah yang akan terkena dampak langsung karena diyakini jumlah pengangguran di Jatim akan meningkat drastis.
Komisi B DPRD Jatim yang mengetahui keresahan masyarakat petani tebu langsung turun ke lapangan dan mengunjungi ke di PG Meritjan Kediri, untuk mendapatkan masukan (aspirasi) yang akan diperjuangkan ke pemerintah pusat untuk mencari solusi yang terbaik bagi masyarakat.
“Secara prinsip petani tebu di daerah Kediri menolak penutupan PG Meritjan karena biaya yang akan ditanggung petani menjadi semakin tinggi dan tidak  ada jaminan petani makin sejahtera,”  ujar H Subianto anggota Komisi B DPRD Jatim saat dikonfirmasi Rabu (11/1).
Tenaga kerja (karyawan) di PG Meritjan yang berjumlah 15 ribu orang, lanjut Subianto juga tetap berharap giling (produksi). Pasalnya, jika pabrik ditutup otomatis mereka akan menganggur. “Kalau setiap pekerja itu memiliki tanggungan 5 orang dalam keluarganya maka akan ada 75 ribu orang yang hidupnya akan merana,” ungkap politisi asal Partai Demokrat.
Menurutnya penutupan 9 PG di Jatim akan mengurangi produktivitas gula hingga 120-140 ribu ton. Padahal dari tahun ke tahun produksi gula di Jatim terus menurun, dari 1,26 juta ton di tahun 2014 turun menjadi 1,20 juta ton pada tahun 2015 dan turun lagi menjadi 1,01 juta ton pada 2016. “Kalau 9 PG jadi tutup maka produksi gula Jatim tinggal sekitar 800 ribu ton. Sehingga sumbangsih gula Jatim terhadap kebutuhan gula nasional juga turun dari 40% menjadi 30%,” beber Subianto.
Dampak lainnya, luasan areal tanaman tebu juga akan berkurang karena petani tebu  di sekitar PG yang ditutup akan beralih ke komoditas lain. Padahal dari tahun ke tahun luasan areal tebu di Jatim juga terus berkurang (lihat data). “Masyarakat enggan menanam tebu karena nilai ekonomisnya terus menurun akibat PG tak melakukan revitalisasi mesin sehingga rendemen tebu juga turun,” dalih Subianto.
Ia menenggarai kebijakan efisiensi yang dilakukan BUMN terhadap beberapa PG di Jatim sama sekali mengabaikan kepentingan rakyat. Padahal salah satu fungsi negara dan pemerintah (BUMN) adalah harus hadir ketika rakyat sedang membutuhkan. ” Ini semakin menguatkan dugaan kalau negera ini berubah menjadi liberal karena mengedepankan kepentingan pemerintah dibanding rakyatnya,” tegasnya.
Senada, anggota Komisi B lainnya, Chusainudin menegaskan DPRD dan Pemprov Jatim menolak penutupan 9 PG di Jatim sebelum perintah daerah dan stake holder terkait diajak bicara. Karena itu pihaknya juga akan minta klarifikasi ke Kementerian terkait maupun DPR RI. “Yang akan menanggung dampak itu pemerintah daerah khususnya menyangkut pengangguran karena lapangan kerja berkurang,” terang politisi asal PKB.
Terpisah, Kadis Perkebunan Pemprov Jatim, Samsul Arifin menyatakan bahwa Pemprov Jatim menolak penutupan 9 PG di Jatim karena rencana tersebut dinilai terlalu sepihak. Padahal dampaknya sangat luar biasa, karena akan ada 1,7 juta tenaga kerja yang terlibat agrobis tebu akan kehilangan pekerjaan.
“Pemprov akan membentuk tim untuk mengkaji rencana penutupan 9 PG di Jatim dengan melibatkan berbagai pihak. Seperti, PTPN, akademisi, praktisi, pemerhati maupun media. Tujuannya adalah mencari solusi yang terbaik,” jelas Samsul Arifin.
Sebaliknya, ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Pusat, Arum Sabil mengaku belum mengetahui rencana penutupan 9 PG di Jatim. Pasalnya, informasi yang didapat saat mendampingi kunjungan Menteri BUMN ke Situbondo beberapa waktu lalu, justru pemerintah ingin meningkatkan kapasitas terpasang sejumlah pabrik gula.
“Revitalisasi itu dilakukan supaya bisa meningkatkan efisiensi pabrik gula karena itu diyakini sebagai salah satu sektor penggerak ekonomi pedesaan, sehingga bisa meningkatkan nilai ekonomis petani tebu serta memotivasi petani semangat menanam tebu,” ungkap Arum Sabil.
Ia juga tak paham keputusan Dirut PTPN yang hendak menutup PG di Jatim. Pasalnya, Dirut PTPN itu hanya sebagai operator yang diangkat oleh menteri sehingga tak mungkin berbeda pendapat dengan kementerian. “Kalau mau menutup tentunya juga harus melalui RUPS pemegang saham pabrik gula. Saya kok belum dengar ada RUPS,” pungkas pria asli Jember ini.
Sementara itu Gubernur Jatim Soekarwo sedang menunggu untuk diajak bicara pemerintah pusat untuk membahas rencana penutupan beberapa pabrik gula. “Ini saya menunggu untuk diajak bicara karena persoalan teknis. Di sana nanti akan disampaikan beberapa hal sehingga kami bisa menyampaikan konsep-konsep,” ujarnya kepada wartawan di Surabaya, Rabu (11/1).
Pakde Karwo, sapaan akrabnya, mengaku mengirimkan surat penolakan rencana penutupan pabrik gula di provinsi setempat kepada pemerintah pusat. Menurut dia, penutupan pabrik gula akan berdampak pada pengurangan jumlah tenaga kerja atau menambah pengangguran dan mengubah kultur petani tebu di Jatim.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno menyampaikan pada pekan depan bersama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) akan membahas penutupan pabbrik gula dan hasilnya dilaporkan ke Gubernur Jatim Soekarwo. “Saya yakin Pak Gubernur mendukung langkah ini karena semua demi kesejahteraan serta peningkatan kualitas,” ucapnya.
Ia mengaku saat ini sedang memetakan pabrik-pabrik gula sebagai bentuk peningkatan efisiensi dan berkualitas secara internasional.
“Pada dasarnya sedang memfinalkan pemetaan total karena harus disadari bahwa pabrik gula di Jatim usianya mencapai 100 tahun sehingga harus dilihat betul efisiensi dan kualitasnya agar bisa mengikuti internasional,” katanya.
Ia menegaskan tujuan penutupan pabrik gula bukan karena menginginkan pengangguran karena selaku badan usaha milik negara (BUMN) memiliki tanggung jawab bersama masyarakat dan pemerintah daerah demi kesejahteraan rakyat. [cty]

Tags: