Pahlawan dalam Perspektif Kekinian

Oleh :
Vinsensius Awey
Mantan Anggota DPRD kota Surabaya 2014 – 2019

Bangsa yang besar adalah bangsa yang terus mengingat jasa pahlawannya. Adagium ini sering kali diucap berulang kali pada momen bersejarah seperti Hari Pahlawan yang kita rayakan setiap tanggal 10 November. Ingatan kita biasanya selalu terjebak pada aksi heroisme para pejuang kemerdekaan Indonesia semata. Padahal ada cukup banyak nilai yang harus kita pahami sebagai spirit dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Untuk konteks kekinian, spirit di balik heroisme para pejuang negeri ini harus ditransformasikan sebagai keberanian generasi milenial untuk berkontestasi menggunakan ide-ide kreatif. Kontestasinya meluas pada spektrum antarnegara, lintas benua.
Mengingat tantangan bangsa kita tidak lagi berjuang menghadapi musuh berupa negara-negara penjajah. Melainkan tantangan pada masa kini, pada era digital, sangatlah berbeda: dengan segenap kompleksitas perang ekonomi, diplomasi lintas negara, kontestasi identitas, hingga perebutan energi antarkorporasi.
Membuat kita hidup pada lapisan generasi yang sangat berbeda dengan Bung Karno, Hatta, Sjahrir, Kiai Wahid Hasyim. Kita menyelami kehidupan berbangsa dengan segenap konflik, silang sengkarut masalah, hingga tarik menarik kepentingan, yang mungkin saja lebih kompleks dari apa yang terjadi pada masa lampau. Tapi, setiap zaman punya kerumitan masing-masing, punya tantangan yang berbeda. Pada titik inilah, pahlawan dan narasi heroik yang menyertainya selalu menemukan momentumnya.
Kita hidup pada zaman di mana penetrasi dan inovasi digital menjadi bagian dari anugerah sekaligus musibah bagi manusia masa kini. Kita hidup pada zaman di mana narasi kepahlawanan dicatat dengan cara yang berbeda dibandingkan tujuh dekade silam.
Sebagai contoh, apabila kita mengingat nama Greta Thunberg yang menjadi perbincangan global di media sosial setelah dia berbicara di Pertemuan Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim di New York beberapa waktu lalu. Atau seorang pemuda bernama Will Connoly asal Melbourne yang melempar telur ke kepala senator Australia, Fraser Anning yang menuai kecaman karena menyalahkan imigran Muslim dalam penembakan masjid di kota Christchurch yang menewaskan 50 jemaah.
Akan ditemukan sebuah model pendefinisian yang sangat jauh berbeda soal kepahlawanan. Thunberg misalnya mulai dikenal akan gerakannya ketika menggelar demo perubahan iklim di Stockholm pada Agustus 2018. Dia mencetuskan gerakan bolos sekolah untuk berdemo tentang perubahan iklim. Satu tahun setelahnya, berbagai anak-anak di sejumlah negara bergabung dalam demonstrasi tersebut.
Fenomena Thunberg dan Connolly memaparkan secara gamblang kepada kita bahwa siapa saja bisa menjadi pahlawan. Tergantung bagaimana kita memahami dan memaknai spirit kepahlawanan dalam diri kita masing-masing. Generasi milenial berpotensi besar menjadi pahlawan dalam konteks kekinian jika mereka berani keluar dari zamannya dan bisa memastikan tidak larut dalam kenyamanan menara gading di tengah melimpahnya persoalan sosial, ekonomi, ekologi dan politik di Indonesia.
Motivasi menjadi pahlawan kekinian selalu berhadapan dengan berbagai macam tantangan. Untuk konteks generasi milenial Indonesia, beberapa laporan survei menjelaskan bahwa mereka mengalami krisis identitas kebangsaan dan perlu asupan nilai kebangsaan. Krisis identitas adalah masalah paling fundamental dalam menumbuhkan semangat nasionalisme. Sementara semangat cinta tanah air ini merupakan motivasi bagi kebanyakkan orang untuk menunjukkan sikap kepahlawanannya meski melalui hal-hal sederhana.
Soal krisis identitas, Survei Wahid Foundation menunjukkan kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Dari jumlah 1.520 responden, sebanyak 59,9 persen memiliki kelompok yang dibenci. Latar belakang kebencian ini dipengaruhi oleh beberapa instrumen, di antaranya: kelompok non-muslim, Tionghoa, komunis, Yahudi, dan sebagainya. Dari jumlah tersebut (59,9 persen), sebanyak 92,2 persen tidak setuju bila ada anggota kelompok yang dibenci menjadi pejabat pemerintah.
Sebanyak 82,4 persen tidak rela anggota kelompok yang dibenci menjadi tetangga mereka. Data ini tentu menjadi sangat timpang, ketika pemerintah Indonesia menggerakkan warganya untuk menghargai kebinekaan, merawat persaudaraan lintas budaya. Catatan kebencian yang terekspose di media sosial semakin meningkat, yang meredupkan lilin perdamaian dan menyurutkan semangat kebersamaan.
Dari laporan survei ini, ada tantangan besar yang menghadang generasi milenial, yakni tantangan untuk memahami kebinekaan sebagai nilai budaya, hingga problem relasi agama dan keindonesiaan.
Perlu ada strategi nyata untuk menggerakkan anak muda negeri ini memahami identitas kebangsaan, yang bersandar pada nilai-nilai kebinekaan, kesadaran kultural, dan komunikasi yang terbuka lintas etnis dan agama.
Nilai-nilai kepahlawanan harus diresapi bagi generasi milenial untuk membangun semangat kebangsaan, kebersamaan, dan keindonesiaan kita. Media sosial menjadi ruang kontestasi untuk menyebarkan gagasan keindonesiaan kita. Nilai pengabdian, etos perjuangan, kegigihan untuk menegakkan Indonesia harus dikontekstualkan pada masa sekarang, pada zaman now. Caranya? Merawat semangat keindonesiaan, kebinekaan, dan kedaulatan berbangsa pada zaman ini. Di era digital, era big data, pertarungan di ranah e-commerce, bisnis digital menjadi bagian dari tanggung jawab bersama.
Kita harus mendorong generasi milenial untuk pahlawan di ranah kontestasi digital masa kini. Lapisan generasi milenial yang memiliki kepercayaan diri, super kreatif, pekerja keras, dan terkoneksi dengan jaringan luas di lintas negara, menjadi pahlawan masa kini, pejuang pada zaman now untuk merawat marwah keindonesiaan kita.

———— *** ————

Rate this article!
Tags: