Pahlawan, Jihad Lawan Korupsi

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dankeadilan sosial … .”
Begitu cita-cita proklamasi kemerdekaan tertulis dalam muqadimah UUD alenia ke-empat, sebagai tujuan negara. Untaian kalimat ini merupakan bagian paling sakral dalam konstitusi, yang tidak boleh diubah oleh siapapun. Termasuk tidak boleh di-amandemen oleh MPR hasil pemilu legislatif sepanjang masa. Namun boleh jadi, untaian cita-cita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, hanya berusia kurang dari tiga bulan.
Penjajah (Belanda) kembali ke Indonesia pada bulan Oktober 1945. Belanda, bersama Sekutu (Amerika Serikat, dan Inggris) baru saja memenangi Perang Dunia kedua. Bom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, memaksa Jepang bertekuk lutut, kalah perang. Kekosongan kekuasaan (karena lemahnya pasukan Jepang) dimanfaatkan oleh kalangan pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Tetapi Belanda, tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Karena selama 350 tahun menjadi pilar utama perekonomian Belanda. Andai tidak menjajah Indonesia, Belanda sudah terhapus dari peta bangsa-bangsa. Pasti di-merjer oleh Perancis. Seperti bangsa Skotlandia yang di-merjer Inggris. Ironis, bangsa yang miskin (dan tidak terdidik) seperti Belanda, bisa menjajah Indonesia selama 350 tahun. Hanya berbekal metode devide et-impera, politik pecah belah.
Satu hari sulit yang tidak terlupakan pada masa revolusi, November 1945. Sulit untuk memilih: mempertahankan proklamai kemerdekaan Indonesia, atau menyerah kepada tentara Sekutu yang diboncengi Belanda (NICA). Sebenarnya lebih “aman” memilihmenyerah, lalu hidup normal dibawah kendali bangsa asing. Seperti tiga bulan sebelumnya (dan sejak 350 tahun ke belakang). Bagai sudah biasa dijajah bangsa asing.
Begitupun dukungan politik (pengakuan negara sahabat) belum memadai.Ternyata, seluruh rakyat memilih mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Walau harus bertaruh nyawa, melawan tentara Sekutu, jagoan yang baru saja memenangkan perang dunai kedua. Bersyukur, bekal sosial politik dalam negeri sepenuhnya, bersatu tekad. Ulama di pesantren mengerahkan santri sebagai pejuang. Bekal utamanya, fatwa resolusi jihad.
Semua Wajib Jihad
Fatwa jihad, di-sosialisasi-kan melalui pengajian di kampung-kampung. Bahwa perang melawan musuh bersenjata, merupakan jihad fardlu ‘ain (berdosa jika tidak turut perang jihad). Resolusi jihad, wajib untuk seluruh rakyat. Dewasa, anak, dan perempuan, wajib berpartisipasi dalam perang. Masing-masing dengan peran berbeda. Pengajian telah digelar sejak pertama kali fatwa resolusi jihad dinyatakan oleh hadratus syeh kyai Hasyim Asy’ary.
Menurut kitab (“Bujairimi Fathul Wahab,” jilid I halaman 251), fardu ‘ain perang kemerdekaan lebih tinggi dibanding shalat lima waktu. Artinya, jika harus dipilih: perang dulu atau shalat dulu? Jawabnya, harus perang dulu. Maka sejak 22 Oktober 1945 (sekarang diperingati sebagai Hari Santri Nasional), kumandang perang bela negara terus menggelora. Perang, tak terhindarkan di Surabaya. Juga karena gubernur Jawa Timur, RTM Soerjo, menolak menyerahkan senjata.
Maka jargon, “merdeka atau mati,” menjadi pilihan tanpa alternatif. Kemerdekaan harus dipertahankan, perjuangan harus dilanjutkan. Sebagimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alenia kedua:”Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Menilik kata-kata dalam pembukaan UUD itu, pada tahun 1945, rakyat Indonesia telah sampai ke depan pintu gerbang. Merdeka berpemerintahan merupakan kewajiban.Sampai saat ini memang berhasil ditegakkan. Tetapi adil dan makmur, masih harus terus diperjuangkan. Itulah alasan, yang membuat Bung Karno berkali-kali menyatakan revolusi ini belum selesai. Artinya, seluruh rakyat masih mengemban wajib-nya perjuangan.
Pernyataan Bung Karno itu pastilah menirukan hadits sahih yang disabdakan Nabi Muhammad SAW. Bahwa setelah perang kecil (perang Badar yang dahsyat disebut sebagai kecil), harus dilanjut dengan perang besar.Yakni melawan hawa nafsu (keserakahan menumpuk kapita).Perang Surabaya 10 November 1945, sudah berlalu 70 tahun. Model perang revolusi (bersenjata untuk membunuh musuh) sudah tiada.
Surabaya telah pernah menjadi tempat uji nyali kebangsaan, 72 tahun lalu. Berani perang melawan penjajah (jauh lebih kuat persenjataan) yang melanggar hak kebangsaan.Tidak mudah mempertahankan proklamasi kemedekaan. Sungguh-sungguh ditegakkan melalui perang bertaruh nyawa. Perang 10 November 1945 di Surabaya menjadi penyulut perang di seluruh Indonesia. Di Bandung, dikenal dengan peristiwa Bandung lautan api. Ada pula perang Ambarawa, perang Makasar. Padahal yang dilawan oleh masyarakat, adalah pemenang perang dunia kedua.
Revolusi Lawan Korupsi
Sejak 10 November 1945, hari-hari dilalui semakin sulit dalam keadaan darurat perang. Padahal pemerintah Indonesia, juga masih berusia kurang dari 3 bulan. Lebih lagidukungan politik (pengakuan negara sahabat) belum memadai. Hanya negara-negara muslim (Mesir dan seluruh jazirah Arab) telah mendukung.Bersyukur, bekal dukungan sosial politik dalam negeri sepenuhnya utuh. Beberapa tokoh, kepala suku, dan raja-raja berbagai daerahseluruh Indonesiamenyatakan bergabung dengan Republik Indonesia.
Kini, model perang revolusi (bersenjata untuk membunuh musuh) sudah tiada. Tetapi perang belum selesai, karenanya harus siap-siap dengan senjata yang lain pula. Setidaknya, empat presiden (Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY dan Jokowi), telah meng-komando perang “lain” itu. Yakni gigih melawan korupsi dan pungli.
Rakyat juga sudah paham benar “musuhnya.”Yakni, konglomerat, taipan busuk, birokrat, politisi dan penegak hukum yang busuk.Di daerah, birokrasi dengan sistem yang busuk telah merampok 70% APBD dengan modus biaya birokratisasi. Sudah ada DAU (dana alokasi umum) untuk membayar gaji PNS, juga sudah ada dana perimbangan dan dana transfer ke daerah. Toh penggarongan APBD terus berlanjut, didukung DPRD yang bermental (dan moral) rendahan.
Sudah banyak birokrat dan pejabat politik yang masuk penjara. Sudah sering pula dilakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Tetapi lebih banyak lagi yang bebas (kadang dihukum ringan, rata-rata 2,5 tahun) hasil “bermain-mata” dengan penagak hukum. Terutama pengadilan Tipikor di daerah, telah disusupi aparat negara yang busuk.
Kini, sebagian pejabat politik (dan birokrasi) menjadikan KPK sebagai ancaman utama. Sudah sering dinyatakan, bahwa OTT oleh KPK akan “menghabisi” pejabat pusat (termasuk DPR-RI), dan pejabat daerah (dengan DPRD-nya). Boleh jadi benar, pejabat akan habis. Namun toh, tidak sulit untuk mengangkat pejabat lain. Andai pejabat pengganti juga korup, mudah pula digantikan pejabat yang lebih yunior.
Masih banyak pejabat bersih yang terhalang antrean, karena pola promosi jabatan bermodus KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Bersama masyarakat internasional, KPK terus memburu tersangka koruptor. Walau harus berhadapan dengan upaya pelemahan lebih sistemik. Terutama kriminalisasi. Sejak KPK jilid pertama, upaya kriminalisasi telah “ditembakkan” oleh koruptor swasta (dan aparat negara).
Tetapi seluruh dunia terlanjur mendendam sengit terhadap tindak korupsi. Sampai diterbitkan konvensi (UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION), tahun 2003.Pada mukadimah konvensi dinyatakan:”Prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.”
Maka benar ujaran Bung Karno, bahwa perjuangan (seperti semangat perang revoluasi) tak boleh berhenti.Masih dibutuhkan senjata “bambu yang lebih runcing” melawan korupsi.

————  ***  ————-

Rate this article!
Tags: