Pergerakan revolusi, belum selesai. Begitu kata Bung Karno, proklamator sekaligus presiden pertama RI. Telah terjadi perang (besar) 10 November 1945, untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Itu dinyatakan sebagai perang (revolusi) kecil. Dan masih harus dilanutkan dengan pergerakan revolusi lainnya. Antaralain serentetan perundingan diplomatik, di-supervisi pengamat (internasional) yang netral. Juga pergerakan revolusi (tak pernah henti) meraih cita-cita proklamasi.
Masih ingat kisah film “Sang Kyai,”(yang box office tahun 2012 silam)? Berkisah tentang hadratus syeh Hasyim Asy’ary, memimpin gerakan rakyat mempersiapkan kemerdekaan RI.Kemerdekaan harus direbut dengan airmata, darah dan ribuan jiwa. Banyak pelajaran yang harus diteladani pada masa kini. Di antaranya, melawan penjajahan (Belanda dan Jepang). Perlawanan dengan menghimpun kesatuan rakyat, tanpa membedakan altar politik, kesukuan maupun keagamaan.
Sebagai pimpinan pergerakan (sosial dan politik) nomor satu kala itu, “Sang Kyai” memberi fatwa wajib jihad fi-sabilillah melawan penjajah. Inilah yang mengobarkan perlawanan arek-arek Suroboyo (diikuti masyarakat se-Jawa) untuk perang fisik melawan penjajah. Fatwa wajib berjihad diberikan untuk mendukung ketetapan Gubernur Jawa Timur (saat itu) RMT Soerjo, yang menolak berunding dengan Sekutu (NATO).
Memperkuat fatwa wajib jihad, hadratus syeh Hasyim Asy’ary, memerintahkan penguatan tentara rakyat (laskar-laskar). Sehingga di Jawa Timur dilakukan pendaftaran laskar Hizbulah dan laskar Sabilillah. Sebagian senjata diperoleh dari tentara Jepang yang menyerah. Sebagian “senjata yang lain” diperoleh dari beberapa kyai yang telah diberi asma’ (doa kekuatan). Beberapa ulama Jawa Barat dan Jawa Tengah, juga dikerahkan ke Surabaya untuk melawan Sekutu.
Sekutu, baru saja memenangi perang dunia kedua. NICA Belanda berada dalam kelompok ini walau sekadar “anak bawang” dan ingin mengambil kembali wilayah jajahannya (Indonesia). Itu yang menjadi alasan Gubernur Jawa Timur memilih mempertahankan kemerdekaan yang telah di-proklamirkan. Walau harus berperang sampai mati. Kebulatan tekad gubernur ini disambut oleh hadratus syekh Hasyim Asy’ary.
Diberikan fatwa, bahwa perang mempertahankan kemerdekaan merupakan fardu ‘ain (wajib utama). Dan untuk jargon perjuangan, diberikan yel Allahu Akbar!, merdeka atau mati. Menurut kitab (kuning) fiqih, fardu ‘ain perang kemerdekaan lebih tinggi dibanding shalat lima waktu. Artinya, jika harus dipilih : perang dulu atau shalat dulu? Jawabnya, harus perang dulu.
Perang kemerdekaan bangsa diwajibkan untuk setiap orang orang: tua, muda (anak-anak sekalipun), laki-laki maupun perempuan, yang sehat maupun yang sakit. Seluruh komponen bangsa Indonesia, pada radius 92 kilometer dari posisi musuh, wajib berperang dengan segala cara. Pernyataan Bung Karno (bahwa revolusi belum selesai) pastimenirukan sabdaNabi Muhammad SAW.
Dalam hadits shahih dinyatakan, bahwa setelah perang kecil (perang Badar yang dahsyat disebut sebagai kecil), harus dilanjut dengan perang besar.Yakni melawan hawa nafsu (keserakahan menumpuk kapita). Begitu pula tamsil Bung Karno, bahwa tanggal 17 Agustus tahun 1945, itu masih sampai pada “depanpintu gerbang” kemerdekaan. Sebagaimana diakui dalam pembukaan UUD 1945 alenia kedua.
Menilik kata-kata pembukaan UUD itu, rakyat Indonesia telah meraih kemerdekaan berpemerintahan sendiri. Tetapi adil dan makmur, masih harus terus diperjuangkan. Perang Surabaya 10 November 1945, sudah berlalu 72 tahun lalu. Model perang revolusi (bersenjata untuk membunuh musuh) sudah tiada. Tetapi perang belum selesai, karena masih terdapat perang baru. Yakni, jihad melawan korupsi, dan peredaran narkoba.
Senjata sosial, “bambu” yang lebih runcing, perlu tetap dihunus melawan korupsi dan bandar narkoba. Karena banyak penegak hukum dan elit politik, terlibat korupsi sistemik, bertautan dengan bandar narkoba.
——— 000 ———