Pahlawan Persatuan, Jihad Melawan Hoax

(Spirit 10 November 1945 Azimat Kebangsaan)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik.

Bismillahirrahmanirrahim
Resolusi
Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsul-konsul) Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya:Mendengar:
Bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Jawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat ummat Islam dan Alim ulama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA
Begitu isi berita di koran harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi Nomor 26, Tahun ke-I, Jumat Legi, 26 Oktober 1945. Karena keterbatasan sarana komunikasi saat itu, berita tentang Resolusi Jihad, baru diterbitkan setelah ulama Yogyakarta pulang dari Surabaya. Sekaligus mempersiapkan strategi sosialisasi resolusi, dan pelaksanaan perang revolusi. Seperti susunan undang-undang, Resolusi Jihad oleh ulama, juga menyertakan klausul “menimbang,” (alasan ideologis) “mengingat,” (pertimbangan keadaan riil) dan “memutuskan” (sebagai tekad).
Pada klausul “Mengingat,” terdapat tiga kondisi riil yang menjadi pertimbangan. Dua diantaranya tentang kekejaman dan kejahatan penjajahan, dan pelanggaran kedaulatan terhadap negara merdeka (Indonesia). Pertama, dinyatakan, “Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Jepang yang datang dan berada di sini telah banyak sekali dijalankan banyak kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketenteraman umum.”
Pertimbangan kedua, “Bahwa semua yang dilakukan oleh semua mereka itu dengan maksud melanggar Kedaulatan Republik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali menjajah di sini,… .” Resolusi berpuncak pada klausul “memutuskan,” yang menyatakan, “Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.” Berselang sehari setelah terbit koran Kedaulatan Rakyat, perang besar terjadi di Surabaya.
Perang Surabaya, untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Segera setelah bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki, Agustus 1945, terjadi kekosongan kekuasaan pemerintahan di Indonesia. Situasi itu dimanfaatkan oleh kalangan pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Jepang tak bisa menampik keinginan kuat bangsa Indonesia untuk merdeka. Antaralain, hubungan cukup baik antara tokoh-tokoh politik dengan petinggi militer Jepang.
Bahkan sejak bulan April tahun 1943, banyak pemuda direkrut menjadi tentara berstatus perbantuan militer (Heiho). Tak lama, Heiho dikelompok sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air). Pada 14 Oktober 1944 Jepang juga merekrut sukarelawan khusus santri dan kyai muda dilatih ke-militer-an di Bogor. Tak kurang dari seribu kyai dan santri telah menjadi tentara terlatih. Dikelompokkan dalam barisan sukarelawan khusus bernama Laskar Hizbullah.
Jika ditambah tentara kelompok PETA, maka laskar santri berkekuatan sekitar 40 ribu personel. Kekuatan “tersembunyi” itu di luar sepengetahuan Belanda. Yang diketahui Belanda, Jepang men-sponsori proklamasi Kemerdekaan RI. Sebagai pihak yang kalah perang, Jepang dianggap mengingkari Sekutu. Karena petinggi-petinggi Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Petinggi dan tentara Belanda di Eropa, Asia, dan Australia, berniat berbondong-bondong berlayar menuju Indonesia.
Fatwa Resolusi Jihad
Penjajah (Belanda) mulai masuk Indonesia pada bulan Oktober 1945. Tentara perang Belanda (NICA), “membonceng” tentara Sekutu, AFNEI (Amerika Serikat, dan Inggris) baru saja memenangi Perang Dunia II. Bayangannya, menjajah kembali Indonesia akan berlangsung mudah. Hanya melalui penyerahan dari tentara Jepang. Kenyataannya, pemerintahan militer Jepang sudah takluk, menyerah kepada laskar, tentara rakyat Indonesia.
Belanda, tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Karena selama 350 tahun menjadi pilar utama perekonomian Belanda. Andai tidak menjajah Indonesia, Belanda sudah terhapus dari peta bangsa-bangsa. Pasti di-merjer oleh Perancis. Seperti bangsa Skotlandia yang di-merjer Inggris. Ironis, bangsa yang miskin (dan tidak terdidik) seperti Belanda, bisa menjajah Indonesia selama 350 tahun. Hanya berbekal metode devide et-impera, politik pecah belah, dan menyebar berita palsu (hoax).
Hari-hari sulit terjadi sejak pasca-proklamasi. Terutama yang tidak terlupakan pada masa revolusi, November 1945. Sulit untuk memilih: mempertahankan proklamai kemerdekaan Indonesia, atau menyerah kepada tentara Sekutu yang diboncengi Belanda (NICA). Sebenarnya lebih “aman” memilih menyerah, lalu hidup normal dibawah kendali bangsa asing. Seperti tiga bulan sebelumnya (dan sejak 350 tahun ke belakang). Bagai sudah biasa dijajah bangsa asing.
Begitupun dukungan politik (pengakuan negara sahabat) belum memadai. Ternyata, seluruh rakyat memilih mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Walau harus bertaruh nyawa, melawan tentara Sekutu, jagoan yang baru saja memenangkan perang dunai kedua. Bersyukur, bekal sosial politik dalam negeri sepenuhnya, bersatu tekad. Ulama di pesantren mengerahkan santri sebagai pejuang. Bekal utamanya, fatwa resolusi jihad.
Fatwa jihad, di-sosialisasi-kan melalui pengajian di kampung-kampung. Bahwa perang melawan musuh bersenjata, merupakan jihad fardlu ‘ain (berdosa jika tidak turut perang jihad). Resolusi jihad, wajib untuk seluruh rakyat. Dewasa, anak, dan perempuan, wajib berpartisipasi dalam perang. Masing-masing dengan peran berbeda. Pengajian telah digelar sejak pertama kali fatwa resolusi jihad dinyatakan oleh hadratus syeh kyai Hasyim Asy’ary.
Menurut kitab (“Bujairimi Fathul Wahab,” jilid I halaman 251), fardu ‘ain perang kemerdekaan lebih tinggi dibanding shalat lima waktu. Artinya, jika harus dipilih: perang dulu atau shalat dulu? Jawabnya, harus perang dulu. Maka sejak 22 Oktober 1945 (sekarang diperingati sebagai Hari Santri Nasional), kumandang perang bela negara terus menggelora. Perang, tak terhindarkan di Surabaya. Juga karena gubernur Jawa Timur, RTM Soerjo, menolak menyerahkan senjata.
Menaklukkan Sekutu
Perhitungan tentara AFNEI maupun NICA, meleset. Hanya sedikit persenjataan Jepang yang tersisa di gudang. Karena sebagian besar persenjataan, amunisi dan sarana Jepang, telah ber-alih tangan ke rakyat Indonesia. Maka jargon, “merdeka atau mati,” menjadi pilihan tanpa alternatif. Kemerdekaan harus dipertahankan, perjuangan harus dilanjutkan. Penulis sejarah Inggris, David Wehl (dalam “Birth of Indonesia”) mencatat kepedihan mendalam menghadapi perang Surabaya, November 1945.
Pada hari kedua perang, 3 mosquito tertempak jatuh (termasuk yang membawa Brigjen Robert Guy Loder. Laskar rakyat sudah mahir menggunakan PSU Bofors 40. Ada juga yang membawa dinamit di badan, menyerang tank Sherman. Konon, koran New York Times (edisi 15 November 1945), mengutip serdadu Inggris yang menyebut “The Battle of Surabaya,” bagai inferno (neraka). Maka pada tanggal 30 Oktober 1945, atas permohonan Inggris, presiden Soekarno diminta menjadi mediator gencatan senjata.
Mayor Jenderal DC Hawthorn, minta perang dihentikan, dengan (terpaksa) mengakui eksistensi, dan kedaulatan Indonesia. Namun berbagai kesepakatan lain sering dilanggar tentara Belanda. Sehingga perang terus berlangsung sampai pertengahan November 1945. Konon pula, sebanyak 15 ribu pasukan Divisi India, dan pasukan Belanda, menjadi korban. Tetapi Pemerintah RI diwajibkan membayar hutang Belanda (akibat perang) sebesar 4,3 milyar gulden.
Surabaya telah pernah menjadi tempat uji nyali kebangsaan, 73 tahun lalu. Berani perang melawan penjajah (jauh lebih kuat persenjataan) yang melanggar hak kebangsaan. Tidak mudah mempertahankan proklamasi kemedekaan. Sungguh-sungguh ditegakkan melalui perang bertaruh nyawa. Perang 10 November 1945 di Surabaya menjadi penyulut perang di seluruh Indonesia. Di Bandung, dikenal dengan peristiwa Bandung lautan api. Ada pula perang Ambarawa, perang Makasar.
Kini, model perang revolusi (bersenjata untuk membunuh musuh) sudah tiada. Tetapi perang belum selesai, karenanya harus siap-siap dengan senjata yang lain pula. Pada masa kini, revolusi juga dibutuhkan untuk memerangi berita hoax yang coba mencerai-beraikan persatuan nasional. Senjata sosial, “bambu” yang lebih runcing, perlu tetap dihunus.

——— *** ——–

Tags: