Pakar Hukum Pidana Ubhara Sebut Tragedi Kanjuruhan Masuk Pidana dan Pasal 359 KUHP

Pakar hukum pidana Ubhara, M Sholehuddin

Surabaya, Bhirawa
Pakar hukum pidana Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya, M Sholehuddin menilai, insiden di Stadion Kanjuruhan, Malang masuk ke rana pidana. Bahkan insiden Kanjuruhan dikatannya bisa dipersangkakan sesuai dengan Pasal 359 KUHP. Dimana terdapat kelalaian sehingg mengakibatkan kematian seseorang.
“Kalau pendapat saya, itu (insiden Kanjuruhan, red) ada tindak pidananya. Karena ada nyawa yang hilang karena perbuatan orang lain,” kata M Sholehuddin, dikonfirmasi Bhirawa, Kamis (6/10).
Pria yang juga menjadi dosen Fakultas Hukum Pidana Ubhara ini mengatakan, menurut penjelasan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, korban yang meninggal dunia ini lebih banyak disebabkan oleh gas air mata. Dengan gejala perih mata, batuk, sesak napas, hingga meregang nyawa. Disini diduga kuat dalam insiden Kanjurhan memang sudah merupakan tindak pidana.
Terutama yang paling pokok, sambungnya, karena adanya tembakan gas air mata, sehingga merenggut ratusan nyawa penonton. Kalau ada nyawa yang hilang oleh perbuatan manusia lain, maka disitulah hukum pidananya. Kecuali apabila ada nyawa yang hilang bukan karena manusia tetapi karena alam, maka hukum pidana tidak mengintervensi.
“Karena hilangnya ratusan nyawa penonton lebih banyak disebabkan oleh adanya tembakan gas air mata, maka disitulah unsur-unsur tindak pidana menjadi masuk,” jelasnya.
Sholehuddin menambahkan, indsiden itu entah karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia atau ada unsur kesengajaan. Kalau kesengajaan, pihaknya menyebut ada teorinya yang mengatur. Sehingga harus ada kesadaran, misalnya kalau ini saya tembakkan gas air mata dimungkinkan terjadi sesuatu misalnya, itu bisa berupa kesengajaan.
“Karena itu sudah tepat tindakan penyidik Polri yang sudah meningkatkan kasus ini ke tahap penyidikan. Utamanya dengan menyangkakan Pasal 359 KUHP dan Pasal 360 KUHP. Disitulah unsur pidananya,” tegasnya.
Sholehuddin juga menyoroti video viral yang memperlihatkan aksi oknum anggota TNI menendang suporter Arema di Stadion Kanjuruhan. Menurutnya hal itu terlalu berlebihan dan bisa dipidanakan pelakunya.
Dijelaskannya, bagaimana seorang suporter meskipun dia turun ke lapangan, tapi dia bisa dihalau. Bukan lalu dia jalan mau ke pinggir lapangan masih ditendang. Apalagi tendangannya seperti kungfu. “Itu pidana, makanya Bapak Panglima TNI tidak sekedar mempersoalkan secara kode etik, tapi tegas akan dipidanakan,” ucapnya.
Pihaknya juga menyayangkan aksi yang dilakukan oleh oknum anggota TNI tersebut. “Itu tindakan eksentrik, tidak boleh. Kalau ditendang seperti itu tulang punggungnya bisa patah, apalagi ditendang dengan sepatu tentara,” pungkasnya.

Keluarga Bisa Menggugat
Terkait tragedi Kanjuruhan, Sholehuddin yang juga selaku Ketua Perhimpunan Dosen Ilmu Hukum Pidana (DIHPA) Indonesia ini meyakinkan, keluarga korban insiden Kanjuruhan bisa menggugat maupun meminta pertanggungjawaban. Dalam kasus ini bisa dimintakan pertanggungjawaban pidananya, perdata, pertanggungjawaban administrasi dan sekaligus pertanggungjawaban sosial.
Untuk pertanggungjawaban sosial biasanya bersifat moral. Seperti contoh pemerintah provinsi langsung memberikan santunan Rp10 juta kepada masing-masing korban yang meninggal. Hal itu menunjukkan bahwa negara hadir untuk memberikan pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban ini, lanjutnya, bisa serentak. Ada pertanggungjawaban pidana; perdata melalui gugatan; pertanggungjawaban administrasi, artinya mereka yang berbuat seperti itu bisa diturunkan pangkatnya maupun dicopot jabatannya. Dan hal itu pun sudah dilakukan oleh Polri.
“Pertanggungjawaban pidananya bisa terhadap mereka yang memerintahkan menembakkan gas air mata. Kemudian mereka yang melakukan tembakan gas air mata. Itu pertanggungjawaban pidananya sesuai Pasal 359 dan 360 KUHP,” tegasnya.
Masih kata Sholehuddin, bahkan ada beberapa anggota Polri yang dicopot dari jabatannya. Diantaranya mulai dari Kapolres Malang, Komandan Batalyon, Komandan Kompi dan dari Brimob.
Apakah insiden Kanjuruhan ini termasuk force majeure atau keadaan darurat atau terpaksa? Dengan tegas Sholehuddin menyatakan tragedi Kanjuruhan bukan masuk force majeure. “Dimana force majeure nya? Apalagi ada larangan dari FIFA, bahwa gas air mata tidak digunakan atau tidak boleh masuk ke stadion,” ucapnya. [bed.iib]

Tags: