Paket Ekonomi, Rupiah dan Neoliberalisme

Agustin Dwi HaryantiOleh :
Agustin Dwi Haryanti
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang

Setelah dolar melejit sampai menembus angka Rp. 13.200, akhirnya pemerintah mulai mengambil sikap. Namun, secara substantif  nampaknya reaksi pemerintah yang  akrab disebut dengan paket ekonomi ini bukanlah reaksi untuk menguatkan kembali mata uang rupiah dalam jangka pendek.
Konspirasi penguatan rupiah
Paket ekonomi yang berisi enam jurus teknis ini sejatinya adalah langkah-langkah pemanfaatan depresiasi rupiah alias kebijakan teknis yang bersifat “ambil untung” dari melemahnya rupiah. Jadi tepatnya, pemerintah tidak melakukan terapi jangka pendek (short term therapy) agar rupiah menguat segera, tapi memanfaatkan momen depresiasi mata uang untuk menggaet target ekonomi lainnya yang dalam jangka menengah dan panjang diharapkan akan berimbas pada penguatan rupiah.
Berangkat dari perspektif ini, akhirnya kita bisa sangat memaklumi  mengapa pemerintah terlihat “adem” saat rupiah mulai merayap ke level Rp 13.000. Pemerintah terlihat  santai sembari memberikan justifikasi-justifikasi yang berasal dari tekanan eksternal, ketimbang memberi penjelasan rasional soal rapuhnya fundamental ekonomi nasional.
Menggunakan bahasa yang sedikit konspiratif, sekiranya dapat dikatakan bahwa pemerintah secara diam-diam memang mendisain agar rupiah melemah. Sedangkan di sisi lain, paket ekonomi yang digulirkan pasca depresiasi rupiah adalah peluru cadangan yang memang sudah ada di benak pemerintah sebelum rupiah melemah.
Indikasi liberalisasi ekonomi
Langkah pemerintah dengan konspirasi ekonomi yang digulirkan dengan paket ekonomi ini membutuhkan momentum yang tepat untuk dilahirkan, salah satunya adalah momentum ketika  rupiah sedang jungkir balik oleh tekanan eksternal.  Pasalnya, tanpa momentum pelemahan mata uang, maka kelahiran paket ekonomi semacam ini akan dipertanyakan publik  dan akan dicap sebagai upaya liberalisasi ekonomi nasional tanpa dasar.
Artinya, jika rupiah kembali menguat jauh melampui level psikologis, katakanlah ke level Rp 10.000-Rp11.000 misalnya, maka beberapa resep ekonomi ini akan serta merta menjadi kurang “greget” lagi. Ambil contoh misalnya keputusan pemerintah untuk memberi bebas visa kepada 30 negara dalam waktu dekat. Langkah tersebut dianggap sebagai salah satu cara yang termudah guna meningkatkan devisa yang masuk ke Indonesia tanpa harus meningkatkan investasi baru. Penambahan penghasilan devisa diperlukan saat ini mengingat defisit neraca transaksi berjalan yang dialami dan melemahnya rupiah.
Pelayanan satu pintu perizinan investasi atau penambahan  negara-negara yang akan dilabeli bebas  visa  jika melakukan kunjungan wisata ke Indonesia. Pelayanan satu pintu untuk izin investasi di Indonesia akan sangat terbantu oleh pelemahan rupiah. Pasalnya, dalam kondisi mata uang yang lemah, maka nilai investasi di Indonesia akan menjadi murah karena ketika investor mengonversi mata uang asing (terutama dolar) ke dalam rupiah, mereka akan mendapatkan jumlah rupiah yang jauh lebih banyak dari sebelumnya dan membuat “power of investment” nya menjadi lebih besar.
Jadi jika dihadapkan pada mata uang dolar misalnya, maka nilai beli saham-saham lokal, obligasi dalam negeri, surat utang (swasta atau pemerintah), dan instrumen finansial lainnya, menjadi jauh lebih murah jika dibanding dengan waktu-waktu sebelum rupiah melemah.
Begitu pula dengan meningkatkan target kunjungan wisata via penambahan jumlah negara yang akan mendapat cap bebas visa. Ketika rupiah melemah, ditambah dengan kebijakan bebas visa tadi, maka diprediksi daya tarik wisata Indonesia menjadi berlipat-lipat karena faktor kemudahan dan faktor advantages (biaya dan belanja wisata domestik  yang  lebih murah) yang bisa didapat para wisatawan. Jika rupiah kembali menguat, maka yang didapat oleh para wisatawan kemudian cuma fasilitas bebas  visanya saja, sisi advantagesnya hilang.
Selanjutnya, dengan melemahnya rupiah, maka aktivitas ekspor diprediksi akan sangat menggiurkan ketimbang import karena eksportir akan menerima selisih nilai tukar yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Dalam konteks inilah sejatinya kita juga bisa memahami mengapa Jepang dan China sengaja melemahkan mata uang mereka sampai ke level yang cukup rendah.
Bahkan di dalam paket ekonomi ini, pemerintah memberikan insentif pajak atau tax allowance, terutama bagi perusahaan yang berorientasi ekspor dan menggunakan bahan baku dalam negeri.  Jadi dua kelebihan sekaligus bisa didapat oleh para eksportir, apalagi yang mengutamakan bahan baku dalam negeri, yakni keringanan pajak dan prospek keuntungan lebih dari selisih mata uang.
Namun di sisi lain, pelemahan rupiah juga berpengaruh terhadap kebijakan BBM pemerintah karena sekitar setengah dari BBM domestik juga masih bergantung pada impor. Artinya, dengan besaran persentase impor BBM dalam negeri saat ini, pelemahan rupiah kemudian ikut membebani biaya dan harga BBM impor.
Meskipun demikian, dengan mayoritas resep ekonomi yang cendrung mengharapkan rupiah melemah, maka kebijakan untuk mengurangi imbas dolar terhadap BBM dialihkan ke sisi yang lain, yakni meningkatkan kadar biofuel BBM dalam negeri untuk menekan harga jual di pasaran.
Secara substantif, resep-resep ekonomi ini sejatinya ada dalam rel ideologis yang sama dengan platform ekonomi politik rezim, yakni liberalisasi ekonomi dalam kerangka program penyesuaian structural versi Bank Dunia dan IMF (biasa disebut dengan istilah Washington Consensus yang dikonseptualisasi oleh John Williamson, 1989).
Terlepas apakah ternyata pelemahan rupiah bersifat by design atau memang out of controll, jika target jangka menengah dan panjang dari paket ekonomi ini bisa dicapai, maka pelan-pelan rupiah diprediksi akan menguat dari dalam, yakni penguatan secara fundamental alias tidak sekedar sentimen sesaat.
Namun harus diakui bahwa paket ekonomi ini berjalan dalam risiko yang cukup menyakitkan. Pelemahan mata uang biasanya berlaku bagi negara yang memiliki exposure impor yang kecil, kapasitas produksi dalam negeri yang mapan, dan rasio hutang luar negeri yang tipis. Sehingga untuk negara Indonesia yang masih sangat bergantung pada impor, terutama impor komoditas pokok, bahan baku, dan barang modal, risikonya akan cukup menyakitkan.
Prospek rupiah
Ada beberapa indikasi atau prospek bahwa biaya-biaya ekonomi dalam negeri diperkirakan akan bergerak naik, terutama untuk komoditas pokok, yang akan menekan kehidupan masyarakat menengah ke bawah. Di sisi lain, sisi ekspor juga akan sulit untuk digalakkan karena perusahaan-perusahaan dalam negeri terdera oleh biaya-biaya ekonomi yang tinggi. Biaya bahan bakar dan listrik yang terus naik, pajak jalan tol yang kian tebal, dan tuntutan kenaikan gaji para karyawan akibat kenaikan biaya hidup.  Dan menggilanya harga dolar juga akan memukul perusahaan-perusahaan yang berbasiskan pada bahan baku impor.
Bahkan yang  agak sedikit menakutkan adalah default hutang luar negeri dari banyak perusahaan.  Belajar dari  kegagalan Yunani, Afrika, Amerika Latin, pemerintah nampaknya lebih memilih pro terhadap investor-investor global dengan menjalankan secara bulat-bulat program penyesuaian struktural besutan bank dunia dan IMF untuk memperlancar rencana hutang ke depan dan menghindari  ancaman loan blokade seperti yang dialami Yunani.
Boleh jadi resep-resep ini akan meramaikan pertumbuhan ekonomi nasional ke depan, tapi diperkirakan akan memperkokoh dominasi pemain-pemain asing di kancah domestik yang akan sangat merugikan kepentingan rakyat banyak dan kepentingan dunia korporasi dalam negeri. Biaya investasi yang murah Cuma akan berlaku bagi pemodal-pemodal yang memegang mata uang asing yang bisa masuk kemana saja, baik ke sisi investasi finansial maupun ril, sementara bagi investor lokal yang memegang rupiah, semuanya tetap akan terasa mahal dan mencekik.
Nah, sampai  saat ini kita belum melihat upaya pemerintah dalam meminimalisasi tiga imbas negatif yang akan muncul. Komoditas import yang akan melejit, ancaman default hutang publik, dan menjeritnya sektor produksi dalam negeri akibat penebalan biaya ekonomi domestik. Karena jika ketiga masalah ini tidak mendapat theraphy khusus, diperkirakan dalam jangka panjang akan melebar menjadi persoalan akut yang akan meruntuhkan optimisme pertumbuhan yang telah dicanangkan pemerintah.  Dan sampai saat ini, pemerintah nampaknya belum terlalu siap menerima imbas dari  resep neoliberalisme ini. Lalu bagaimana dengan rakyat, terutama kalangan menegah ke bawah? Sudah pasti akan jauh lebih kurang siap.

                                                                                                         —————– *** —————–

Tags: