Pamerkan Batik Usia Puluhan Tahun, Produksi Lasem Tembus Rp 150 Juta

Pameran ragam batik yang digelar Wismilak bekerjasama dengan Sjarikat Poesaka Soerabaja menampilkan koleksi batik kuno berumur ratusan tahun.

Pameran ragam batik yang digelar Wismilak bekerjasama dengan Sjarikat Poesaka Soerabaja menampilkan koleksi batik kuno berumur ratusan tahun.

Kota Surabaya, Bhirawa
Setelah dinyatakan sebagai bagian budaya dunia, kini batik telah menjadi perhatian masyarakat secara luas. Di sejumlah daerah, bahkan keterampilan membatik berkembang dengan desain terbaru selaras dengan perubahan zaman.
Decak kagum dan  keheranan terus keluar dari mulut sejumlah undangan maupun para pengunjung Wismilak Peduli Budaya di di Grha Wismilak Jalan Dr Soetomo 27 Surabaya. Bekerjasama dengan Sjarikat Poesaka Soerabaja dalam memperingati Hari Batik, merek rokok nasional itu mengadakan pameran ragam pesona batik yang digelar sejak  9-15 Oktober.  Puluhan batik yang dipajang di pameran tersebut banyak memiliki keunikan. Selain motif yang muncul begitu indah, dalam satu lembar kain batik ada dua motif dan warna yang berbeda. Batik seperti ini sering dijuluki dengan batik pagi sore.
“Mengapa kita namakan batik pagi sore, karena dengan menggunakan satu kain batik, maka kita dapat memakainya untuk pagi dan sore dengan motif dan warna yang berbeda meski dalam satu lembar kain. Dengan begitu, para gadis  dapat mengirit kain batik,”ungkap kolektor batik dari Galeri Alit Jakarta, Dwita Herman kepada Bhirawa belum lama ini.
Tidak sampai di situ saja. Ternyata hampir seluruh kain batik yang dipajang yang berasal dari Sidoarjo, Lasem dan Pekalongan ini memiliki usia hingga ratusan tahun. Kekuatan batik ini sendiri berasal dari bahan kain yang tidak sembarangan. Kain katun yang dipakai berasal dari  Eropa dan Amerika. Juga dalam memeliharanya dilakukan kerja ekstra keras. Selain setiap enam bulan dicuci dengan ratus, juga harus diberikan wewangian untuk mengusir ngengat.
Meski demikian, ungkap Dwita, tidak semua batik mampu bertahan. Buktinya ada batik yang usianya hampir 100 tahun dan kalau ditaksir harganya bisa mencapai antara Rp 100-150 juta, namun ada sebagian bahannya sudah rantas dimakan usia. Meski begitu Dwita menolak melepaskan batik tersebut yang pernah dibelinya sebesar Rp 6 juta tersebut ke kolektor batik. ”Saya mencarinya dengan susah payah. Kebetulan batik tersebut dibuat oleh Oey Soe Tjoen di Lasem. Dan batik tersebut sudah saya simpan di galeri puluhan tahun lamanya bersama 40 kolektor saya yang lain,”tegasnya seraya membeber kain batik yang teksturnya begitu halus dengan motif  burung dan bunga.
Menurutnya, nama pembatik yang berasal dari Pekalongan, dan jejaknya yang masih terasa sampai sekarang di antaranya  (alm) Oey Soe Tjoen dan Lim Ping Wie. Untuk Lim Ping Wie saat  ini masih hidup dan masih berproduksi. Selain itu terdapat nama Liem Boen In, Na Swa Hien, Oey kok Sing atau Oey Siok Kim dan Oh Ju May.
Dwita mengakui batik sangat bisa dijadikan barang investasi, selain emas dan produk investasi lainnya. Namun memerlukan perawatan yang cukup detil agar batik bisa bernilai jual tinggi. Selain itu kolektornya harus paham akan filosofi batik yang dikoleksinya. ”Batik-batik semacam itu memang akan sulit diproduksi untuk zaman sekarang. Banyak kendala yang dihadapi, terutama masalah tenaga kerja. Para perajin batik terkendala upah pekerja yang diharuskan sesuai dengan UMR. Ketika batik-batik semacam ini diproduksi, biaya produksinya sangat mahal. Bisa mencapai Rp 50 juta untuk memproduksi desain batik sejenis batik-batik kuno,” timpalnya.
Sedangkan Benny Adrianto, perajin batik dan golek mangaku koleksi batiknya mencapai usia antara 50 tahun sampai 60 tahun. Adapun harganya bervariasi  mulai dari Rp 3,5 juta sampai Rp20 juta. ”Semua tergantung dari bahan dan motif batiknya. Dan yang terpenting usianya. Semakin tua semakin mahal. Di mana sebagian koleksi saya ada dari pengaruh penjajahan Jepang dengan gambar bunga sakura dan anggrek. Sementara pengaruh Tiongkok  motifnya adalah naga atau burung,”tegas Benny yang mengaku memiliki koleksi batik hingga ratusan ini.
Chief Personnel PT Wismilak Inti Makmur Tbk, Henry Najoan mengatakan pameran ini digelar untuk menambah pengetahuan masyarakat akan sejarah batik. “Masyarakat  bisa menilai pengaruh kreator batik zaman dulu pada perkembangan batik sampai saat ini. Ada beberapa jejak pembatik kuno asal Pekalongan dan yang lainnya yang bisa dilihat langsung dalam pameran,” katanya. [cty]

Tags: