Pancasila dan Wajah Kedaulatan

Munawir AzizOleh:
Munawir Aziz
Peneliti, Alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Anggota Kaukus Aliansi Kebangsaan.

Wajah kedaulatan di negeri ini masih dalam bayang-bayang kekuasaan. Warga tidak sepenuhnya berdaulat meski sudah hampir dari 71 tahun merdeka. Pemasungan kebebasan berpendapat dan berekspresi masih terjadi di ruang publik, bahkan terhadap hal-hal yang 50 tahun telah terkubur dalam sejarah. Bagaimana memaknai kedaulatan dan kemerdekaan pada masa kini?
Indonesia saat ini adalah negeri yang masih dikelilingi oleh kekerasan dan kecemasan. Pelbagai kasus kekerasan menjadi bagian dari narasi kehidupan dan ritme sosial-politik warga Indonesia. Kekerasan tidak hanya terjadi di lingkup politik dan hukum, namun juga kekerasan mental.
Di tengah ritme kehidupan berbangsa, perlu merenungi tentang pentingnya tafsir atas nilai-nilai ideologi berbangsa dan kecemasan akan bangkitnya ideologi kekerasan. Maka, di tengah keresahan ini, ide untuk menggali kembali nilai dasar ideologi Indonesia terus diperbincangkan.
Pancasila: Perspektif Kebangsaan
Pancasila, yang pada awalnya sebagai dasar negara, mengalami delegitimasi dari dalam masyarakat maupun dari luar negara Indonesia. Pada beberapa tahun terakhir, terutama pada masa pasca reformasi, nilai-nilai dasar Pancasila seolah ditinggalkan. Meskipun, di kalangan elit politik terjadi perdebatan antara menerima Pancasila sebagai dasar falsafah atau pilar negara, namun penting untuk melihat secara utuh Pancasila sebagai referensi kebangsaan warga Indonesia.
Konsep keindonesiaan yang mengacu pada identitas asli masyarakat Indonesia terlupakan oleh gemerlap etika serta sistem politik Barat. Pendidikan dan pengajaran tentang Pancasila mulai dikerdilkan, dibelokkan menjadi dogma. Dari strata pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, nilai Pancasila dianggap usang.
Padahal, jika dipahami dan direnungi secara mendalam, Pancasila memuat identitas dan sejarah keindonesiaan yang panjang. Ia lahir dari perdebatan dan diskusi antar golongan, untuk merumuskan Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan dan masa depan yang membentang sebagai impian perjuangan. Cita dan harapan keindonesiaan ini, mencipta konsepsi negara yang mengakomodasi kebinekaan dan imaji komunitas-dalam ungkapan Ben Anderson (1983) -sebagai “immagine community”.
Merenungi Falsafah
Sejak dirumuskan oleh beberapa tokoh lintas agama dan ideologi yang punya keberpihakan pada perjuangan kemerdekaan, Pancasila menjadi modal dasar untuk mencipta sistem kenegaraan yang kokoh. Usaha Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Yamin, Tjokroaminoto, Natsir, Wachid Hasyim, dan beberapa tokoh lain yang berdebat secara mendalam untuk merumuskan nilai dasar perjuangan keindonesiaan, sangat penting sebagai rujukan untuk menggali nilai-nilai dan tujuan Pancasila.
Namun, dalam perkembangannya sebagai falsafah negara, Pancasila mengalami serangan yang bertubi. Pada awal perumusan, perdebatan antara kelompok nasionalis dan aktifis Islam menjadi peristiwa penting. Kelompok Islam bersikeras membingkai nilai-nilai Pancasila dengan dasar Ketuhanan, yang didasarkan pada konteks syariah Islam.
Dalam konteks ini, hukum Islam memang menjadi referensi, mengingat selama beberapa dekade umat Islam mendapat perlakuan negatif dari rezim kolonial Belanda. Namun, ide membingkai Pancasila dengan dasar ketuhanan dan syariah Islam, juga tetap mengakomodasi nilai-nilai kebinekaan dan persaudaraan, sebagaimana yang dilontarkan Kiai Wahid Hasyim.
Draf awal Undang-Undang Dasar (UUD) yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan, dan ditandangani Soekarno pada 22 Juni 1945, dinamakan Mukaddimah. M. Yamin menyebutnya sebagai “Piagam Jakarta”, sedangkan Sukiman Wirdjosandjojo menganggapnya sebagai “Gentlemen’s Agreement”. Pada draf awal ini, konsep tujuh kata yang berisi ide dasar syariah Islam masih menjadi perdebatan. Tujuh kata itu; “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” akhirnya dicoret dengan persetujuan lintas kalangan yang mengakomodasi kebinekaan untuk masa depan Indoensia, sehari setelah momentum proklamasi.
Dengan merenungi pelbagai kejadian-kejadian penting di seputar perumusan Pancasila, maka akan dapat diambil saripati gagasan tentang pondasi dasar falsafah negara. Bahwa, Pancasila tak lahir dari ruang kosong sejarah, ia muncul dari kesadaran untuk mengokohkan kaki-kaki keindonesiaan dari akar sejarah maupun ranting-ranting harapan pada masa depan.
Reformulasi Keindonesiaan
Untuk itu, dalam konteks keindonesiaan sekarang ini yang sedang ditimpa krisis identititas, reformulasi pengajaran nilai-nilai Pancasila merupakan keharusan. Reformulasi ini dimaksudkan untuk menyegarkan kembali nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Konsep hubungan antar umat beragama dan etnisitas sudah terakomodasi dalam nilai-nilai dasar Pancasila. Menjadi Pancasila sebagai referensi cara pandang dan sikap berbangsa, akan mengurangi intensitas kekerasan dan produksi kecemasan yang terjadi lintas sektoral.
Usaha sistematis dan gerakan intelektual semacam ini sangat penting, untuk menyegarkan kembali nilai Pancasila yang termitoskan pada masa Orde Baru. Pancasila sebagai trajektori kepemimpinan dan cara kerja warga Indonesia dalam merumuskan masa depan dirinya, akan menjadi basis dasar yang mengikis potensi-potensi kekerasan, penodaan agama hingga menumbuhkan toleransi serta penerimaan terhadap keragaman. Jika yang terjadi demikian, saya kira warga Indonesia tidak akan kehilangan basis mentalnya.

                                                                                                                      ———- *** ———-

Rate this article!
Tags: