Pancasila Dikubur Bangsanya Sendiri

dsc_8764_2698_20120604152804 (1).jpg (1)Jakarta, Bhirawa
Ahli Filsafat dan Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Kaelan MS mengatakan pasca reformasi hampir 14 tahun, Pancasila dikubur di bumi Indonesia oleh bangsanya sendiri.
“Sehingga dapat dipahami internalisasi nilai-nilai Pancasila menjadi terputus, dan bangsa Indonesia terombang-ambing kehilangan pandangan hidup bangsa, sebagai suatu konsensus dan dasar filosofis Negara,” kata Kaelan, saat memberi keterangan sebagai ahli pengujian UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (4/3) kemarin.
Dalam situasi kekosongan dan kehampaan ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kata Kaelan, semestinya dilakukan revitalisasi nilai-nilai yang telah dimiliki bangsa Indonesia dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan bukannya menciptakan terminologi baru yang dapat mengacaukan pemahaman tentang Pancasila sebagai dasar filsafat Negara, dan berakibat menyesatkan pengetahuan Pancasila pada generasi penerus bangsa.
“Bagaimanapun juga penentuan dan pemaksaan tentang penggunaan terminologi ‘Pancasila sebagai Pilar Berbangsa dan Bernegara’ dalam Pasal 34 ayat (3b), UU Parpol adalah merupakan suatu keputusan politik, yang tidak memiliki sumber yang dapat dipertanggungjawabkan secara historis, yuridis maupun ilmiah,” katanya.
Kaelan juga mengatakan terminologi “Empat Pilar” dimana “Pancasila sebagai pilar” itu dilakukan dengan keputusan dan pemaksaan secara politis.
“Socio linguistic itu suatu bahasa yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial, bukan datang dari penguasa. Terminologi ini janganlah dipandang sepele, “enteng” dan seakan-akan masyarakat dianggap apriori menerima dengan begitu saja,” tegas Kaelan.
Dia mengatakan secara prinsipial isi Undang-Undang Nomor 2, Tahun 2011 sangat baik, terutama ketentuan tentang pendidikan politik pada Pasal 34 ayat (3) huruf b, namun esensi Pancasila harus tetap diletakkan sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Adapun dalam hubungan Simbol (konvensi), ungkap dia, Pancasila merupakan suatu hasil konsensus yang luhur, “Founding Fathers” tatkala mendirikan negara, dan dalam hubungan ini dalam Sidang BPUPK Soekarno menyatakan, bahwa dasar filsafat negara yang akan didirikan itu diberi nama “Pancasila”, hal ini atas pertanyaan Ketua BPUPK dr. Radjiman Wedijodiningrat.
“Lalu istilah “Pancasila sebagai Pilar Berbangsa dan Bernegara” itu sumbernya dari mana,” tanya Kaelan.
Kaelan didatangkan sebagai ahli pemohon bersama Guru Besar Ilmu Hukum UGM Prof Dr Sudjito SH M Si dan Profesor Ilmu Hukum dan Pengajar Hukum Internasonal, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Jawahir Thontowi.
Dalam keterangannya, Prof Sudjito mengatakan kontroversi tentang istilah “Pancasila sebagai pilar” wajib diakhiri, dan MPR wajib bersedia mengoreksi istilah tersebut serta tidak menggunakannya lagi dalam rangka sosialisasi Pancasila, UUDN RI 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Sudjito juga mengatakan Pancasila sebagai “Philosophische Grondslag” mempunyai kedudukan istimewa dalam hidup kenegaraan dan hukum bangsa Indonesia, yakni sebagai inti atau rohnya.
“Pembukaan UUD 1945 sebagai Staatsfundamentalnorm mempunyai hakikat dan kedudukan tetap, kuat dan tidak berubah melekat pada kelangsungan hidup bagi negara, dan dalam hierarkhi tertib hukum Indonesia berada pada kedudukan tertinggi dan menjadi sumber hukum bagi pasal-pasal dalam UUD maupun peraturan perundangan lain dibawahnya,” katanya.
Oleh sebab itu, lanjutnya, penyelenggara negara (termasuk MPR) sebagai alat perlengkapan negara yang kedudukannya di bawah Pembentuk Negara wajib mengemban amanah Pancasila sebagai Philosophische Grondslag dan mengamalkannya secara obyektif sebagai dasar penyelenggaraan. Sedangkan Profesor Jawahir mengatakan penggunaan empat pilar kebangsaan yang saat ini sedang diupayakan untuk disosialisasikan dan sebagai upaya untuk mencegah timbulnyaa degradasi moral dan jati kebangsaan, sebagai diatur dalam Pasal 34 (3b) adalah jelas memiliki cacat secara historis, secara juridis dan sosiologis.
“Sehingga pro-kontra yang timbul dalam masyarakat dan bangsa Indonesia terkait dengan empat pilar kebangsaan yang sejajar dengan menempatkan Pancasila sebagai salah pilar kebangsaan tidak menemukan kebenaran, baik secara de facto maupun de jure,” kata Jawahir.
Pengujian UU Parpol terkait Pancasila pilar kebangsaan ini mohonkan oleh sejumlah warga negara yang tergabung dalam Masyarakat Pengawal Pancasila Jogya, Solo, dan Semarang (MPP Joglosemar).
Mereka menguji Pasal 34 ayat (3b) UU Parpol yang menyatakan parpol wajib mensosialisasikan Empat Pilar Kebangsaan yang menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilarnya sejajar dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 1945.  Para pemohon merasa keberatan dengan masuknya Pancasila sebagai pilar kebangsaan, padahal Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, negara Indonesia berdasarkan Pancasila (dasar negara), bukan sebagai pilar kebangsaan.  [ant]

Rate this article!
Tags: