Pancasila “Sakti” Sudah Final

(Kukuh Mencegah Radikalisme (Kiri maupun Kanan)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik 

Akhir muktamar NU ke-27 (November 1984), pucuk pimpinan Nahdlatul Ulama’ (Rais Aam Syuriyah) terpilih, mengucapkan khutbah iftitah (pidato awal keterpilihan). KH Achmad Shiddiq, menyatakan: bahwa “Pancasila sebagai dasar kenegaraan telah final.”
Sebaris kalimat ini, diulang berkali-kali oleh enam presiden RI, dengan kalimat yang persis. Mulai Pak Harto, Profesor Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, sampai Jokowi, menyebut dasar negara Pancasila telah final.
Pancasila sudah final, berarti perdebatan tentang dasar negara, telah berakhir. Dasar (fiosofi) negara Pancasila, terbukti teruji selalu sakti, tetap kokoh sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Walau sekelumit minoritas (radikal “kiri” maupun “kanan”) berupaya menghujat. Ingin menggantikan Pancasila dengan filosofi lain. Tetapi mayoritas rakyat Indonesia akan selalu melawan setiap upaya mengganti filosofi dasar negara Pancasila.
Setiap negara bangsa, niscaya memiliki Pactum Unionis. Yakni perjanjian antara masyarakat dan kelompok masyarakat untuk membentuk suatu negara yang melindungi warganya. Sebagai dasar negara, Pactum Unionis (Pancasila) bukan tercetus tiba-tiba. Melainkan berdasar tata-budaya hukum pada masyarakat. Pada setiap akhir September (dan 1 Oktober), falsafah dasar negara Pancasila, biasa menjadi topik diskusi.
Peng-gagas-an Pancasila juga senafas dengan Shahifah Madinah, yang dicetuskan oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Juga senafas dengan deklarasi revolusi Perancis “La Déclaration des droits de l’Homme et du citoyen.” Melalui dasar negara, penyelenggaraan negara diatur sesuai hukum yang bersumber pada adat dan budaya bangsa.
Rais Syuriyah PB-NU saat ini (KH Ma’ruf Amin), juga menyatakan Pancasila sudah final. Bahkan KH Ma’ruf Amin, memberi penegasan khusus untuk Pancasila. Yakni, sebagai ittifaaqat akhawiyyah (ikatan perjanjian persaudaraan) antar-rakyat. Sekaligus ittifaaqat wathaniyah (kesepakatan kenegaraan). Sehingga berbagai upaya mengubah filosofi dasar negara, niscaya tertolak secara langsung, seketika. Juga akan memperoleh perlawanan sosial sengit.
Perlawanan terhadap upaya penggantian filosofi dasar negara Pancasila, pernah dicoba dua kali oleh Partai Komunis Indonesia (tahun 1948, dan tahun 1965). Terbukti, kedua upaya gagal. Tahun 1948, diawali huru-hara sosial, berupa teror perampokan dan penculikan orang. Tak lama disusul aksi nekad pembuhuhan gubernur Jawa Timur, RMT Soerjo, di Ngawi, masih di-ingat benar oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Teror Radikalisme “Kiri”
Tragedi berdarah lebih besar (dan masif) terjadi di sekitar Madiun. Banyak kyai dan santri dibunuh. Wilayah eks-karesidenan Madiun (Ngawi, Ponorogo, dan Pacitan), dilanda teror terutama menyasar kyai dan santri. Saat ini, sebagian besar saksi korban (dan saksi mata) tragedi 70 tahun silam, sudah tiada. Tetapi anak dan cucu korban masih dapat bercerita fakta kekejaman PKI dengan jelas. Terutama kalangan pesantren, serta kyai di berbagai daerah di Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Saat itu (tahun 1948), rakyat (dan tentara), segera menyadari, bahwa teror oleh PKI merupakan percobaan makar. PKI ingin merebut kekuasaan untuk mengganti filosofi dasar negara. Menelikung, kekuatan tentara (TNI) yang belum utuh. Belum terorganisir kuat seperti sekarang. Fokus TNI ketika itu meraih simpati internasional terhadap proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Berbagai perundingan (dan lobi-lobi) internasional sedang dijalani segenap petinggi republik. Tak disangka, PKI tega menyerobot kekuasaan. Sehingga upaya makar PKI dianggap bagai “menusuk” Republik dari belakang. Karena tidak diberangus, makar PKI yang gagal (tahun 1948), dicoba lagi pada tahun 1965.
Kekuatan politik PKI tumbuh makin besar, menjadi urutan keempat perolehan suara dalam pemilu tahun 1955. Tetapi terbukti tidak cukup untuk men-sukses-kan makar kedua. Bahkan seluruh pimpinan dan anggota PKI di desa-desa, termasuk underbouw (anak organisasi) kepemudaan, buruh, petani, dan ke-guru-an, di-eksekusi. Tak terkecuali organisasi non-pribumi (warga etnis keturunan) yang ber-afiliasi pada PKI.
Ironisnya saat ini, terdapat tuntutan (propaganda) pelurusan sejarah kelam tawur sosial nasional, tahun 1965. Namun propaganda, ternyata, memperoleh perlawanan (antipati). Mayoritas rakyat Indonesia telah memahami fakta dua percobaan makar oleh PKI. Maka propaganda pelurusan sejarah akan selalu dianggap sebagai provokasi penyebaran paham radikalisme kiri. Lebih lagi dibarengi tuntutan permintaan maaf pemerintah pada keluarga korban anggota PKI.
Bersyukur, pucuk pimpinan pemerintahan (sejak Gus Dur, Megawati, SBY, sampai Jokowi), tidak pernah memenuhi permintaan maaf kepada keluarga eks-PKI. Begitu pula aparat negara bidang hukum dan keamanan masih berpatokan pada Ketetapan (TAP) MPRS Nomor 25 tahun 1966. TAP MPR ini berisi larangan PKI sebagai organisasi terlarang. Serta larangan menyebarkan paham ajaran komunisme.
Unjuk Radikalisme “Kanan”
Tetapi pasca-reformasi tahun 1998, dasar negara Pancasila mulai memperoleh hujatan. Ironisnya, hujatan seiring penguatan UUD, tentang hak asasi manusia (HAM). Beberapa komunitas radikalisme, “membonceng” konstitusi. Antaralain, UUD pasal 28E ayat (2), yang meng-amanat-kan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Radikalisme juga “membonceng” pasal 28E ayat (3) tentang hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Padahal sesungguhnya, tujuan radikalisme akan mengganti konstitusi. Sikap nyata men-dua, “membonceng” sekaligus hasrat merobohkan pilar utama kenegaraan. Sasaran utamanya mengubah pembukaan UUD alenia ketiga dan keempat, yang di dalamnya terdapat proklamasi kemerdekaan, dan Pancasila.
Terdapat segelintir komunitas yang terang-terangan melakukan demo unjukrasa, berupaya mengganti bentuk negara republik (demokrasi). Sekaligus mengganti falsafah dasar negara. Yang di-ingin-kan negara khilafah berdasar syariat. Anehnya, selama satu dekade terakhir (sampai awal tahun 2018), unjukrasa tuntutan negara khilafah, tidak pernah ditindak aparat keamanan (dan ketertiban). Hanya karena unjukrasa tidak anarkhis!
Bersamaan dengan unjukrasa khilafah, ternyata, marak pula tragedi terorisme. Ratusan Jiwa menjadi korban tak berdosa. Bersyukur, hampir 100% rakyat Indonesia mengutuk terorisme. Juga tidak takut terorisme. Bahkan rakyat secara komunal membentengi diri dari penyusupan dkawah radikalisme. Sudah banyak gerakan ber-label dakwah keagamaan, malah menimbulkan penentangan luas, berujung konflik masyarakat.
Seharusnya setiap upaya mengganti Pancasila, tidak boleh dianggap enteng. Karena mengganti Pancasila, sama dengan tidak mengakui proklamasi. Sama dengan tidak mengakui keberadaan Republik Indonesia yang telah di-proklamasi-kan pada 17 Agustus 1945. Upaya mengubah alenia keempat (yang berisi Pancsila), niscaya meniadakan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Maka pembukaan UUD alenia ketiga, dan alenia keempat, memerlukan benteng kokoh, secara konstitusi, kelembagaan, dan kekuatan sosial.
Sejuk Sosial dan Ekonomi
Mencegah provokasi radikalisme (kiri maupun kanan), tidak dapat dilakukan hanya oleh aparat. Melainkan melalui kerjasama pemerintah dengan kelompok masyarakat. Antaralain, menata hubungan sosial melalui kegiatan publik. Terutama fasilitasi (oleh pemerintah, TNI dan Polri) kegiatan publik produktif. Misalnya, pergelaran istighotsah, dan doa bersama memperkuat nasionalisme kebangsaan. Bersama mewujudkan suasana sejuk demokrasi (politik).
Namun ke-sejuk-an politik, takkan berlangsung lama, manakala tidak dibarengi “ke-sejuk-an” perekonomian antar-kelompok masyarakat. Problem ketimpangan (pendapatan) sosial, patut menjadi perhatian seksama. Pemerintah seyogianya mem-fasilitasi akses permodalan sektor usaha mikro dan kecil. Bisa melalui bank wakaf. Pada beberapa daerah telah terdapat BUMD bank UMKM, yang difasilitasi penjaminan asuransi kredit.
Perlu difasilitasi, karena kepemilikan aset usaha mikro dan kecil tidak bank-able. Mudah terjebak rentenir. Padahal pada krisis ekonomi Indonesia tahun 1988, 1998, dan 2008, sektor usaha mikro dan kecil tampil sebagai pahlawan ekonomi. Pasar tradisional tetap buka. Bahkan hajat demokrasi, pemilu legislatif (tahun 1999 dan tahun 2009), setahun setelah krisis, bisa diselenggarakan dengan damai, dan semakin berkualitas.

———– *** ————

 

Rate this article!
Tags: