Pancasila “Sudah Final”

Suasana kebatinan “tahun politik” jelang Pemilu Legislatif, dan Pilpres, semakin memerlukan Pancasila. Khususnya sebagai falsafah pergaulan. Boleh bersaing sengit, tetapi harus tetap dalam koridor “ke-Pancasila-an.” Berbagai koalisi partai politik (parpol) juga telah digalang. Termasuk gagasan koalisi besar. Konon bertujuan melaksanakan Pancasila, terutama sila ke-3, dan ke-4. Namun pada tataran realisasi kebijakan politik, masih banyak tokoh parpol menyimpangi Pancasila. Terutama olok-olok, dan menista lawan politik.

Jelang peringatan hari lahir Pancasila (1 Juni), biasa terjadi penghujatan terhadap upaya “memeras” Pancasila, menjadi Trisila, dan Ekasila. Padahal dahulu (tahun 1945) upaya “memeras” Pancasila hanya sekadar pe-misal-an. Bukan upaya sistemik. Faktanya, selama beberapa dekade setalah 1945, hingga kini, tidak ada kelompok politik yang menolak ke-utuhan Pancasila. Kecuali kelompok ekstrem “kiri,” (komunisme) dan “kanan” (berdasar fanatisme keagamaan).

Selama 77 tahun (sejak proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945), semakin banyak akulturasi budaya yang bisa diterima. Misalnya, budaya mudik Lebaran yang terasa dilaksanakan di seluruh Indonesia. Begitu pula perayaan Tahun Baru (pergantian tahun masehi) juga terlaksana tanpa sekat ke-suku-an, dan ke-agama-an. Serta perayaan hari raya Imlek, diakui sebagai hari libur nasionalk. Pertunjukan seni budaya Barongsai, yang dahulu di-tabu-kan, kini bisa diterima diseluruh Indonesia.

Begitu pula tuntutan kebijakan pemerintah wajib “berasa” Pancasila, semakin menguat. Walau pada tataran realisasi kebijakan banyak perilaku pejabat menyimpangi Pancasila. Masih banyak pejabat birokrasi, dan pejabat politik, berburu rente, dan korupsi. Pada saat yang sama, model bangsa Pancasila (Indonesia) sedang menjadi “obyek penelitian” filosofi dasar negara oleh komunitas dunia. Terutama semangat kerukunan dalam pluralisme, adat tradisi, bahasa, warna kulit, dan ragam agama.

Walau Islam tercatat sangat mayoritas (87,5%) namun terasa memberi perlindungan dan persaudaraan hangat. Penerimaan Pancasila oleh kalangan mayoritas muslim, tercetus pada Muktamar NU ke-27, di situbondo, Jawa Timur (Desember 1984). Pancasila sebagai dasar negara dinyatakan “sudah final.” Artinya, Pancasila sudah diterima oleh kalangan muslim, dan tidak terjadi perdebatan. Frasa kata “Pancasila sudah final,” merupakan inti isi khutbah iftitah (pidato pembukaan) KH Ahmad Shiddiq, sebagai Rais Aam Syuriyah PBNU.

Seluruh Presiden RI (enam orang, mulai Pak Harto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, hingga Jokowi), menyatakan hal yangsama. Dengan frasa kata yang sama persis pula, “Pancasila sudah final.” Pancasila telah terbukti efektif menjadi jaminan pemersatu bangsa Indonesia. Walau sekelumit minoritas (radikal kiri dan kanan) sering menghujat. Ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.

Pancasila telah menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dengan kemerdekaan Indonesia. Pancasila bukan “pakta” baru untuk melengkapi kemerdekaan RI. Melainkan digali dari budaya bangsa Indonesia. Seluruh sila dalam Pancasila mencerminkan perilaku sehari-hari bangsa Indonesia. Sebagai filosofi dasar negara, tekstual Pancasila patut di-cantum-kan pada alenia ke-4 muqadimah konstitusi (UU 1945).

Terbukti Pancasila juga tercantum dalam “Konstitusi” RIS (Republik Indonesia Serikat). Juga semakin dikukuhkan dalam UUD Sementara tahun 1950. Ke-ajek-an Pancasila sebagai pakta kenegaraan telah “final,” dipahami sebagai kebutuhan bersama tatacara penyelenggaraan negara. Masyarakat ber-Pancasila sebagai partisipasi sosial. Sedangkan pemerintah pusat, daerah, hingga desa berkewajiban menerbitkan dan melaksanakan setiap peraturan ber-basis Pancasila.

Setiap penerbitan undang-undang (UU) juga selalu dimulai dengan kalimat, “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa.” Merupakan tekad tekstual sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa). Pada masa pemulihan ekonomi saat ini, kebijakan pemerintahan wajib ditimbang dengan sila ke-5 (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia).

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: