Pandemi, Bencana dan Teologi Lingkungan

Oleh ;
Wahyu Hidayat R
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Dua tahun dalam situasi pandemi covid 19 kehidupan bangsa kita dihadapkan pada serangkaian musibah bencana alam. Sebagai mahluk ciptaaan Tuhan yang tugas terbesarnya adalah untuk mengabdi dan menyembah Tuhan yang Maha Kuasa, datangnya musibah bencana di tengah pandemi covid 19 ini kita serahkan semuanya kepada kehendak Tuhan dengan tetap berikhtiar untuk mencegah menjalarnya pandemi covid-19 dengan berbagai ketentuan yang sudah ditetapkan.

Setiap musibah dan bencana yang menimpa tentu ada hikmah dibaliknya. Bisa jadi ini sebagai bentuk ujian atau cobaan atas perilaku manusia. Gambaran ini ditulis Ebiet G. Ade pada Lagu “Berita Kepada Kawan”, yang salah satu penggalan liriknya menggambarkan penyebab bencana yang menimpa manusia: “Barangkali di sana ada jawabnya; Mengapa di tanahku terjadi bencana; Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita; Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa; Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita; Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”

Dalam perspektif sosial, bencana atau musibah yang menimpa manusia seharusnya menjadi cermin tingkah laku manusia dalam mensikapi kehidupan. Dalam aktifitas ekonomi, pelaku ekonomi (pemilik modal swasta) dihadapkan pada pilihan untuk mengoptimalkan keuntungan yang akan diperoleh. Bukan menjadi rahasia lagi, misalnya aktifitas ekonomi yang dilakukan pelaku ekonomi swasta bermodal besar dengan dukungan pemerintah melakukan eksplorasi sumber daya alam secara masif. Kasus banjir bandang di Kalimantan tahun 2021 dan bencana tanah longsor di beberapa daerah di Indonesia secara tidak langsung diakibatkan oleh aktifitas ekonomi yang tidak seimbang dengan daya dukung lingkungan.

Belum lagi potensi wilayah Indonesia sebagai daerah ring of fire, sehingga kita yang tinggal di Indonesia ini rawan mengalami bencana, mulai dari bencana gempa bumi dan tsunami, termasuk bencana erupsi gunung Semeru tahun 2021. Berbagai bencana yang terjadi bisa jadi karena potensi faktor alam atau bencana yang secara tidak langsung karena aktifitas manusia bisa mengancam setiap saat.

Melihat potensi ini, terutama bencana karena aktifitas manusia setidaknya bisa diminimalkan oleh pemerintah. Potensi ekonomi dan sumber daya sesuai dengan amanat undang-undang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat bukan untuk dikompromikan kepada pemilik modal. Fakta bahwa eksplorasi sumberdaya alam seperti eksplorasi tambang batubara, ekspansi industri kelapa sawit di Kalimantan, Papua dan Sumatera telah memunculkan persoalan lingkungan dan sosial, sedangkan return ekonomi dari aktiftas eksplorasi sumber daya tersebut tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Pada konteks makro ekonomi, aktifitas ekonomi pada daerah-daerah yang memiliiki kekayaan sumber daya alam tersebut juga memunculkan masalah ketimpangan ekonomi antar wilayah. Potensi sumber daya alam yang dieksplorasi tersebut justru menyedot kekayaan wilayah itu ke pusat ekonomi yaitu Jakarta. Sebaliknya potensi Ekonomi Jakarta hanya terkonsentrasi pada beberapa pelaku ekonomi yang pada akhirnya potensi ekonominya pun tersedot ke luar Indonesia.

Inilah problem besar ekonomi Indonesia yang ditunjukkan adanya ketimpangan pembangunan antar wilayah ditambah masih merebaknya praktek korupsi dalam aktiftas ekonomi. Kasus korupsi bansos covid 19 di kementerian sosial dan korupsi benih lobster di kementerian kelautan dan perikanan adalah wujud terbelahnya wajah ekonomi Indonesia.

Persoalan ekonomi dan potensi kerusakan lingkungan serta sikap tamak pelaku ekonomi menunjukkan gambaran yang ditulis Ebiet G. Ade bahwa dalam kehidupan lebih bangga dengan salah dan dosa sehingga alam menjadi enggan bersahabat dengan kita. Maka wabah dan bencana menjadi akibatnya. Dalam Bahasa agama dipertegas bahwa kerusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana itu sebenarnya tidak terlepas dari tangan-tangan manusia itu sendiri.

Bencana karena faktor kerusakan lingkungan di Indonesia di tengah pandemi covid19 menjadi tamparan besar dalam pengelolaan lingkungan. Agak ironis karena negara kita sebenarnya terikat pada perjanjian global yaitu kesepakatan Millennium Development Goals atau MDGS, dengan target utamanya yaitu mencapai kesejahteraan masyarakat yang salah satunya adalah memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup.

Jika ditarik ke belakang misalnya dalam ajaran agama Islam, banyak ayat -ayat Quran yang membahas tentang pentingnya menjaga lingkungan. Surah Al A’raf: 56 dengan tegas Allah berfirman agar manusia tidak membuat kerusakan di muka bumi ini. Merusak bumi bisa diartikan sebagai tindakan yang tidak kooperatif dengan lingkungan sekitar.

Kaitan antara ajaran agama dan keserasian lingkungan bisa dipandang sebagai konsep Teologi Lingkungan. Sebuah konsep yang dipahami sebagai sebuah pendekatan untuk upaya penyelamatan lingkungan melalui pendekatan nilai-nilai agama. Konsep teologi lingkungan mendorong sikap dan perilaku manusia dan interaksi terhadap lingkungannya dalam hal ini bumi sebagai cermin keberagamaan dan keimanan sesorang. Cara pandang menjaga dan memelihara lingkungan merupakan kewajiban yang nilainya setara dengan ibadah fardhu lainnya.

Teologi lingkungan dalam pemahaman ajaran islam kemudian diterjemahkan secara rinci dalam konsep fiqih lingkungan. Yaitu sebuah tatanan yang ditetapkan berdasarkan dalil oleh para ulama untuk mencapai tujuan kehidupan yang bernuansa ekologis, yaitu sebuah kehidupan yang menjaga kesimbangan dan interaksi antar sesama manusia mahkluk ciptaan Tuhan dengan lingkungan sekitar.

Dalam pandangan kebangsaan, fiqih lingkungan ini bisa digunakan sebagi dasar legitisamasi undang-undang bagi mereka yang merusak alam. Legitimasi ini diperlukan karena ada kecenderungan bahwa persoalan lingkungan di Indonesia seringkali berhadapan dengan ketidak pastian hukum. Kasus pembalakan hutan lindung dengan dalih kepemilikan HPH, membakar hutan untk perluasan industri, kasus ilegal loging adalah contoh-contoh dimana hukum sulit di tegakkan.

Fiqih lingkungan dalam hal ini mendorong hukum bisa ditegakkan dalam pengelolaan lingkungan, karena memelihara lingkungan hidup juga bagian dari agama untuk kepentingan manusia itu sendiri. Artinya, seluruh kehidupan di dunia ini punya kepentingan yang sama terhadap keselamatan lingkungan dan ini mempertegas sebuah sikap bahwa ibadah itu sebenarnya harus menjadi perilaku dan akhlak termasuk terhadap dalam berinteraksi dengan lingkungan.

——– *** ———-

Tags: