Pandemi Corona : Kesehatan vs Ekonomi

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Awalnya ketika Wuhan Tiongkok didera wabah Corona pada akhir tahun 2019, dunia WHO sudah memperkirakan akan terjadi penyebaran secara luas. Beberapa negara sudah siap siaga untuk menghadapi sebaran virus korona, namun terdapat juga negara yang terkesan terlalu percaya diri termasuk Indonesia masih bebas (zero case) pada awal tahun 2020. Hal tersebut juga ditunjukkan oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dimana Indonesia masih berada dalam zona aman. Namun seiring dengan berjalannya waktu sejak terjangkit tiga orang pada 2 Maret lalu kini jumlah penderita terus bertambah secara signifikan hingga menembus lebih dari 21.000 penderita positif. Dalam kajian epidemiologi angka dinilai bukan angka riil, mengingat diyakini banyak penderita positif yang belum terdeteksi atau sekedar tak terlaporkan (under reported). Kondisi ini bukan sekedar angka-angka statistik namun merupakan gambaran riil bahwa situasi penyebaran Covid-19 telah menyebar luas di seluruh provinsi di Indonesia.

Protokol atau tata laksana penanganan sudah diditetapkan mencakup mulai dari mencegah orang sehat agar tidak sakit (terjangkit) hingga penatalaksanaan protokol pemakaman jenazah yang saat ini masih menuai penolakan warga masyarakat. Dalam konteks kajian kesehatan masyarakat penyakit menular (communicable disease) seperti Covid-19 bukan sekedar dimaknai urusan kesehatan an sich namun sudah menjadi problem multisektor yang menyangkut hajat dasar masyarakat yang paling esensial dan menyasar pada kebutuhan hidup dasar yang paling minimal (seperti kebutuhan makan) sehingga dibutuhkan formula kebijakan yang cepat dan tepat.

Mengubah Tatanan
Pandemi corona telah mengubah dunia dan tatanan sosial ekonomi masyarakat dan bangsa kita pada khususnya. Harus diakui mainstrem perspektif ekonomi tengah beradu dengan perspektif kesehatan. Meski dalam bahasa kebijakan nasional keduanya tak dapat dipisahkan atau dikotomikan dan memang secara ideal memang dalam penanganannya keduanya berjalan beriringan atau paralel, namun ironisnya dalam tahap implementasinya acapkali keduanya saling beradu dan berhadapan ibarat telur atau ayam yang duluan, begitulah kira-kira gambaran awamnya. Dalam skala prioritas tampak sisi ekonomi lebih dikedepankan terutama dalam penyediaan anggaran penanganan corona. Tak kurang pemerintah Jokowi mengelontorkan 405,1 trilyun rupiah dengan rincian alokasi sebagai berikut : 75 trilyun untuk belanja bidang kesehatan, 110 trilyun untuk perlindungan sosial, 70,1 trilyun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat serta 150 trilyun untuk pembiayaan program pemuliha ekonomi nasional. Dengan “hanya” 75 trilyun bagi sektor kesehatan seakan pemerintah optimis mampu keluar dari lubang ancaman krisis kemanusiaan dan “harga nyawa” masyarakat.

Kondisi masyarakat yang jatuh ke jurang kemiskinan dimana tak terjangkaunya pemenuhan kebutuhan pokok terutama kecukupan bahan pangan yang sehat dan bernutrisi sehingga amat rentan dan berresiko menjadi sakit. Justru disinilah negara dituntut hadir untuk sebagai sinterklas melalui serangkai kebijakan bantuan sosial, jaring pengaman sosial, bantuan langsung tunai baik bersumber dari kementerian, APBD maupun dana desa, program keluarga harapan, bantuan pangan non tunai, hingga program sembako APBN maupun APBD. Kesemuanya belum sepenuhnya berpihak pada kesehatan sebagai kebutuhan mendasar yang notabene lekat dengan urusan nyawa. Akankah kita bisa menikmati hidup sementara nyawa terancam maut. Kondisi tersebut kian ironis ketika beberapa kebijakan yang inkonsisten dan tumpang tindih seperti penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) baik di level provinsi, kabupaten maupun kota.

Wacana relaksasi atau pelonggaran PSBB dengan dibukanya rute penerbangan dan perjalanan tertentu meski diembel-embeli bersyarat dan menerapkan protokol kesehatan secara ketat sehingga tidak serta merta menjamin penurunan kasus penularan atau virulensi corona di tengah-tengah masyarakat. Sistem kesehatan negeri ini benar-benar tengah mendapat ujian maha berat. Dengan terus bertambahnya jumlah pasien corona secara signifikan dari hari ke hari, pelan namun pasti akan berpotensi meruntuhkan sistem kesehatan nasional. Hal itu tercermin dari rencana kenaikan iuran BPJS melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ditengah deraan pandemi corona.

Di sisi lain, masih minimnya instrumen rapid tes dan swab tes, berguguran pahlawan kesehatan, para dokter dan perawat yang berjuang di benteng terakhir dalam layanan kesehatan, fasilitas laboratorium yang belum memadai terutama di daerah hingga ujung tombak layanan kesehatan ditingkat grassroot seperti puskesmas yang babak belur menangani pasien terduga terinfeksi, memonitoring isolasi mandiri, hingga ODP maupun OTG entah apapun namanya. Belum lagi problem minimnya Alat Pelindung Diri (APD) di berbagai layanan kesehatan yang terus menghantui. Di pihak lain mereka juga manusia dan memiliki keterbatasan, punya rasa rindu dengan keluarga, ditengah kondisi amat miris diluar dimana justru sebagian masyarakat abai larut dalam sejumlag kerumunan sebagai episentrum terbesar penularan virus. Potensi calon pasien akan terus berlanjut, jika kondisi tersebut tak dapat diminimalisasi dapat dipastikan akan terjadi tragedi kemanusiaan yang luar biasa.

Momen Lebaran
Di kala pemerintah resmi melarang aktivitas mudik bagi semua merupakan strategi dan upaya untuk mengerem laju penularan yang lebih luas patut mendapat apresiasi meski dirasa berat oleh masyarakat sebagai “shock culture” dalam konteks pandemi. Hal ini untuk mengantisipasi bom waktu ledakan kasus corona di berbagai daerah dimana infrastruktur, fasilitas dan sarana layanan kesehatan belum sepenuhnya memadai. Lebaran secara daring merupakan langkah alternatif untuk melampiaskan kerinduan perantau dikampung. Selain demi upaya menekan resiko penularan secara masif dengan tetap mengedepankan semangat silahturahmi dan spiritualitas bagi sesama dalam kondisi abnormal. Memang akan terjadi goncangan sosial di tengah-tengah masyarakat sebab dalam sejarah mudik lebaran baru tahun inilah mudik tidak diperkenankan. Yakinlah kesemuanya demi kemashalatan umat dan melindungi kesehatan masyarakat dari ancaman maut virus mematikan. Sesungguhnya tidak ada pemerintah yang mencelakakan warganya. Semoga badai pandemi cepat berlalu dan kembali mengisi kehidupan secara new normal. Amin Ya Robbal Alamin.
———- *** ———-

Rate this article!
Tags: