Pandemi Derita

Oleh:
Gusti Trisno

Luka. Nama itu melekat padaku sejak lahir di dunia. Orang tuaku seolah-olah membuat nama sesuai kondisi mereka. Barangkali mereka memang menganggapku sebagai luka saat mulai menyapa dunia. Tentu pemikiran itu langsung muncul ketika tatapan keduanya nyalang dan penuh kebencian.

Tatapan-tatapan penuh kebencian itu memiliki frekuensi yang bertambah parah di tengah pandemi Covid-19. Sekolah yang menjadi rumah kedua dan penetral suasana kesal di rumah telah hilang sejak semester lalu. Kerinduan dan sapaan dari ruang kelas berganti ruang maya yang kian tak jelas.

Nah, di situlah deritaku kembali muncul. Ayah dan Ibu sering bertengkar hebat di dalam bilik kamar mereka. Ibu mulai menuntut ini-itu. Tuntutannya sebenarnya sangat jelas. Ia ingin aku dibelikan ponsel. Lantaran di masa pandemi ini semester lalu, aku telah full meminjam ponsel anak tetangga juga teman sekelasku. Hanya saja, tuntutan itu berubah menjadi fatwa-fatwa Ayah agar lebih banyak bersabar. Dan, membiarkanku menerima keadaan. Toh, hidup kami memang sudah nestapa sejak lama.

Saat mendengar pertengkaran itu, aku diam-diam takjub pada Ibu. Ia tidak seburuk yang kukira. Ia begitu memerhatikanku. Sekalipun ia tak bisa berbuat banyak atas keadaan yang ada. Sebagai buruh cuci yang kini digantikan oleh mesin-mesin canggih, upahnya telah banyak hilang. Apalagi, di tengah pandemi ini, orang-orang banyak menghemat. Puncaknya, pemasukan perempuan itu hilang seketika. Sementara Ayah, sedari dulu hingga kini, kondisi ekonomi hampir sama dengan ibu. Bedanya Ayah terlalu pasrah, sejak kecil ia tetap jualan tape khas Bondowoso di dekat pasar Kota. Sayangnya, tempat jualan dan modalnya itu dimiliki kakak Ayah sehingga Ayah hanya mendapat upah tak seberapa. Belum lagi, di tengah pandemi ini, omzetnya menurun seketika.

“Kita jadi buruh sawah saja, Yah,” tawar Ibu.

Ayah tampak diam. Ia mengambil banyak napas. Aku memastikan kediaman itu. Terlebih di rumah yang hanya bertripleks ini, suara keduanya begitu mudah terdengar. Apalagi, kamar mereka berdampingan dengan kamarku.

“Nggak mau, kasihan kakakku,” tanggap Ayah.

Kasihan kakakku itu yang selalu jadi omongan Ayah. Padahal, kakaknya sendiri tak pernah kasihan padanya. Seharusnya sebagai pemilik kios dan usaha tape, Ayah bisa saja masuk di perusahaan kakaknya bukan malah disuruh menjaga kios yang pendapatannya tak tentu arah.

Aku pun tak tahan lagi dengan tanggapan Ayah itu. Maka, aku segera keluar dari kamar dan mengetok kamar mereka.

“Apa Ayah masih menganggapku sebagai luka sehingga tak mau memperbaiki keadaan yang ada?” tanyaku setelah pintu kamar itu terbuka.

Ayah terdiam. Ia menggigit bibirnya. Sementara, Ibu sudah tak kuat menahan laju air mata.

“Bukan begitu. Kita harus bersyukur atas keadaan yang ada.”

Ungkapan itu sudah sering kali kudengar, tapi entah sampai kapan akan berubah. Sementara waktu dan musim begitu cepat berubah. Begitu juga zaman yang berganti menjadi lebih maju. Jika kami terus-terusan hidup dengan derita ini, tentu kami akan tergilas dengan mudahnya.

“Baiklah, aku sendiri yang akan bekerja agar bisa membeli ponsel sendiri,” putusku terlalu percaya diri.

——— *** ———

Aku berteduh di suatu jalan yang tak bernama. Matahari gerimis membuatku harus menelan sunyi di tengah derasnya hujan. Maka, aku pun menggosok-gosokkan kedua tanganku agar memberi rasa hangat hingga beberapa menit kemudian. Matahari yang terlambat bangun itu membuat pagi kembali menjadi cerah.

Aku kembali melangkah menyusuri jalan tak bernama itu. Kemudian, langkah itu terhenti tepat ketika membaca papan nama bertuliskan CV. Tape Bondowoso Sejati. Membaca papan nama itu, aku langsung teringat jualan Ayah. Tentu aku berharap jualannya laku keras sederas hujan tadi.

“Adik, mau cari kerja ya?”

Tiba-tiba seorang lelaki tambun seusia Ayah mendekatiku. Dari sorot matanya, lelaki itu seperti pemilik usaha tape tempat kakiku berhenti.

Aku kontan mengangguk. Meksipun, bekerja di tempat usaha tape bukanlah harapanku. Saat melangkah keluar dari rumah, aku hanya berharap bisa menjadi tukang bersih-bersih yang tak membutuhkan banyak skill. Namun, setelah mendengar tawaran itu, kontan aku langsung menerima. Aku yakin ini pasti jalan lain yang ditunjukkan Allah.

“Sudah pernah membuat tape sebelumnya?”

Aku menggeleng lemah. Sekalipun aku tahu gelengan itu bisa saja membuat bapak tambun ini langsung tak menerimaku. Anehnya, ia malah tersenyum senang.

“Baguslah, kalau begitu, saya akan mengajarimu dari nol.”

Lelaki paruh baya itu langsung mengajakku ke meja kerjanya. Ia lalu membuka laptop dan memutar video proses membuat tape. Aku menyimak se-instens mungkin. Rasanya aku akan dengan mudah mengikuti langkah demi langkahnya.

“Tape itu berasal dari singkong yang dikupas dan dicuci bersih, kemudian dikukus sampai matang. Ketika selesai dikukus, singkong didinginkan dengan cara dibiarkan saja hingga betul-betul dingin. Selanjutnya, masuk ke proses peragian,” jelas lelaki itu.

“Mohon maaf, Pak, sebelumnya kenalkan saya Luka,” potongku.

Lelaki itu langsung menyalamiku. “Saya Pak Budiman. Kalau melihat wajahmu, saya langsung tahu, kamu pasti korban belajar dari rumah ‘kan?”

Aku mengangguk tak percaya. Pak Budiman mampu membaca pikiranku.

“Kita lanjut ya!” Pak Budiman kembali bersuara sekaligus menghentikan ketakjubanku atas perkiraan lelaki itu yang begitu tepat.

Pak Budiman lalu memutar video proses peragian. Ia juga menambahkan, katanya kualitas tape ditentukan oleh ragi, mau menjadi tape yang manis dan tahan lama atau malah sebaliknya. Setelah diberi ragi, tape dimasukkan dalam besek berbagai ukuran mulai dari 3 ons hingga 1 kilogram. Beseknya sendiri dari daun pisang yang akan memberi tambahan aroma harum. Terakhir, tape yang siap edar itu tinggal diberikan label pada beseknya.

“Paham ‘kan?”

Aku mengangguk mengerti.

“Kamu bisa bekerja hari ini, tapi tugas sekolahmu sudah selesai belum?”

Aku menggeleng lemah.

Dengan aku bekerja di pagi hari seperti ini, aku tadi belum sempat berkunjung ke rumah tetangga untuk menanyai tugas. Padahal, ponsel teman sekelasku itu adalah alat sirkulasi informasi dari sekolah.

“Gimana?” desak Pak Budi.

Aku kembali menggeleng lemah.

Ia kemudian tersenyum. Lalu, mengajakku ke ruangan lain yang tak jauh dari ruang pribadinya. Di balik hangatnya tempat membuat tape tersebut ternyata ada ruangan yang lebih mirip ruangan komputer di sekolah. Di tempat tersebut, ada sekitar lima orang seusiaku yang tampak sibuk dengan komputer dan android keluaran lama.

Lima orang itu memandangku. Serupa memberikan kekuatan untuk maju ke komputer yang kosong.

“Kamu bisa menggunakan komputer dan ponsel Android di tempat ini,” ujar Pak Budiman membuatku tak percaya. “Setelah tugasmu selesai, kamu bisa langsung bekerja.” Lanjutnya membuatku serasa mendapatkan keajaiban bertubi-tubi.

Kakiku langsung bergerak ke komputer yang kosong itu. Aku gugup menatap layarnya. Apalagi, setelah tanganku meraih Android yang begitu mungil itu. Walaupun begitu, aku langsung memencet nomor Putra, sahabatku yang sering meminjamkan ponsel. Selepas itu, aku meminta bantuan dia untuk dimasukkan ke grup kelas.

——— *** ———

Senja tiba dengan peluh keringat yang bercampur kebahagiaan. Aku pun bersiap-siap keluar dari tempat pembuatan tape itu. Aku hanya perlu berjalan kaki sekitar dua kilometer menuju rumah. Dan, tentu ingatan untuk sampai di jalan tak bernama ini begitu mudah kulalui sehingga tak perlu kesasar untuk sampai di rumah sangat sederhana itu.

Tanganku segera mengetok pintu dan berucap salam. Anehnya, yang membuka pintu bukan orang tuaku, tetapi Putra.

“Kamu dapat ponsel dari mana?” tanyanya.

Aku melihat kekhawatiran atas pertanyaan itu. “Aku pinjam ke kantor,” jelasku sekaligus menceritakan keajaiban tadi pagi.

Putra menyunggingkan senyum melihat kabar baik itu.

“Kuharap kamu segera memiliki ponsel sendiri sehingga tidak mengalami kendala buat belajar di tengah pandemi ini.”

Aku langsung mengamini doa baik itu.

Putra pun langsung meminta diri. Bertepatan itu, Ayah langsung tampil berkacak pinggang.

“Gila ya, kamu kerja di perusahaan saingan Pakdemu!”

“Mana aku tahu,” jawabku cuek.

Ayah menatapku semakin dalam. Ia seperti ingin memuntahkan kemarahan yang memuncak. “Besok kamu berhenti bekerja di sana!” ungkapnya dengan nada tinggi.

Aku tersenyum sinis mendengar putusan aneh Ayah itu. Memang sebagai anak, aku harus mendengarkan apa pun yang menjadi keinginannya. Hanya saja, kalau aku menerima hal itu, aku akan kembali melangkah mundur. Toh, pekerjaan itu halal dan kalau soal bersaing dengan perusahaan Pakde itu soal lain.

“Yah, kalau aku berhenti, apakah Ayah sanggup menyediakan ponsel dan komputer?”

Ayah lemas mendengar pertanyaan itu.

Ia langsung mengalihkan topik dan menceritakan kebaikan Pakde pada keluarga ini. Aku hanya bisa terdiam tanpa kata. Toh, percuma saja, Ayah begitu membanggakan Pakde. Padahal, selama ini, kehidupan kami tak banyak berubah. Malah Pakde seperti menjegal langkah Ayah untuk berkembang dengan cara hanya menjaga kios tape bertahun-tahun lamanya.

Setelah mendengar penuturan Ayah dengan lengkap itu. Aku pun kembali masuk ke kamar. Ibu menyusul kemudian. Perempuan itu melinggarkan tangan ke tubuhku. Ia menatapku memberikan dukungan.

“Kamu bisa tetap bekerja di tempat itu, Nak.”

Aku senang atas restu Ibu. Rasanya beban yang terserat di kaki langsung sirna seketika.

——– *** ——-

Keesokan harinya, aku kembali bekerja meskipun tak direstui Ayah. Bagiku restu Ibu sudah lebih dari cukup.

Di tempat kerja, Pak Budiman menyambutku dengan hangat. Aku langsung mencuci singkong sekitar lima kilogram. Kemudian, ponsel yang menjadi jatahku berbunyi menandakan kelas segera dimulai. Aku langsung menghentikan aktivitas itu dan membawa ponsel itu ke ruangan komputer.

Pelajaran pertama yang berlangsung hari itu adalah Bahasa Indonesia. Guruku memberikan video materi teks prosedur. Dimulai dari materi struktur, isi, dan kaidah kebahasaan. Selepas itu, guruku meminta kami menganalisis teks prosedur yang disediakan. Tentu tak perlu waktu yang lama untuk mengerjakan itu.

Guru kemudian memberikan penugasan untuk membuat teks prosedur, bisa melalui video atau tulisan. Melihat tugas itu, aku langsung berpikir untuk membuat olahan tape. Hanya saja, kalau cuma tape biasa rasanya terlalu biasa.

Aku pun mencari contoh olahan tape kekinian di internet yang ternyata banyak sekali. Dari sekian banyaknya olahan yang dibuat, aku memilih untuk membuat rambutan tape. Terlebih bahannya begitu mudah didapatkan di tempat kerjaku. Aku hanya perlu menambahkan bahan tepung pisang goreng crispy, garam, santan, air, gula merah, dan lembar kulit lumpia. Setelah itu, aku langsung ke dapur dan membuat olahan kekinian itu sesuai dengan petunjuk dari internet.

Keajaiban pun muncul. Olahan rambutan tape itu tampak begitu ciamik. Setelah menyelesaikan proses pembuatan itu, aku langsung memberikannya pada Pak Budiman. Dari sorot matanya, ia seperti kegirangan dengan percobaan olahan itu.

“Bagaimana jika kamu juga jualan beginian?” tanyanya membuatku melongo tak percaya. “Kamu bisa memanfaatkan media sosial perusahaan ini untuk promosi. Setelah itu, kita bisa melihat potensi di pasar.”

Aku mengangguk setuju. Rasanya tawaran itu perlu dipertimbangkan. Siapa tahu berhasil?

“Bagaimana?” desak Pak Budiman membuatku mengangguk.

Ia kemudian mengancungkan dua jempolnya padaku. Aku pun segera kembali ke komputer dan langsung menyimpan video yang telah berhasil kubuat. Selepas itu, aku langsung bergegas kembali ke dapur. Akan tetapi, kakiku tertahan setelah salah satu pegawai menonton tayangan yang sarat motivasi. Di tayangan itu, ada seorang pemuda yang berhasil membuat olahan kekinian dan berhasil menyihir kalangan millennial. Omzet yang diperolehnya juga sangat banyak.

Menonton itu, aku langsung membayangkan keberhasilan yang nanti dapat diperoleh. Dengan begitu, pandemi derita keluarga akan segera sirna. Kami juga bisa hidup bahagia. Tanpa perlu resah besok harus makan apa. Semoga!

Tentang Gusti Trisno.
Mahasiswa S2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang yang memiliki nama lengkap Sutrisno Gustiraja Alfarizi. Peraih juara 2 Penulisan Cerpen dalam Pekan Seni Mahasiswa Jawa Timur 2016 dan Penerima Anugerah Sastra Apajake 2019. Kumpulan cerpen terbarunya berjudul “Seperti Skripsi, Kamu Patut Kuperjuangkan” (Elexmedia Komputindo). Nomor rekening BNI cabang Jember 0649910933 atas nama Sutrisno Gustiraja Alfarizi.

Rate this article!
Pandemi Derita,5 / 5 ( 1votes )
Tags: