Pangan “Lulus” Pandemi

foto ilustrasi

Puncak panen raya padi tahun ini (pada bulan Maret dan April 2021), masih akan dijalani dengan perasaan was-was. Kecemasan mendalam, karena hasil panen dikhawatirkan tidak dapat menutup biaya hidup keluarga petani. Faktor kecemasan terdapat pada on-farm (di ladang), dan off-farm (di pasar pangan). Bisa jadi hasil panen berkurang. Serta tidak berkualitas, disebabkan kadar air yang tinggi. Menyebabkan harga gabah murah, petani merugi.

Organisasi Pangan dan Pertanian Sedunia (FAO, Food and Agriculture Organization) meng-ingat-kan seluruh dunia bisa menghadapi kelangkaan bahan pangan seiring pewabahan pandemi CoViD-19. Karena petani sebagai produsen pangan mengalami “ke-rentan-an” kesejahteraan. Dalam laporan bertajuk “Anticipating The Impact of CoViD-19 in Humanitarian and Food Crisis Contexts,” disebut gangguan pasokan pangan akan terjadi.

Tetapi yang lebih mencemaskan, adalah Spekulasi harga bahan pangan mendompleng pandemi CoViD-19, sangat terasa. Walau realisasi kinerja sektor pangan pada tahun (2020), cukup gemilang. Bahkan bisa ekspor usai panen raya (akhir April 2020), meliputi 166 komoditas pertanian ke 43 negara Asia, dan Eropa. Nilainya lebih dari Rp 100 trilyun. Kinerja sektor pangan tidak terpengaruh huru-hara pandemi. Karena petani tetap aktif di ladang, walau tidak mengenakan masker.

Subsidi pupuk tiap tahun Rp 33 trilyun. Namun sebenarnya, subsidi pupuk tidak pernah sesuai permintaan daerah. Kesanggupan pemerintah pusat (melalui APBN) setiap tahun dalam realisasi subsidi pupuk selalu lebih rendah. Sehingga selalu terjadi rebutan, pupuk selalu terasa langka. Ironisnya, petani besar (dengan kepemilikan lahan lebih dari 2 hektar) selalu sukses memborong pupuk. Sedangkan petani dengan areal kecil (kurang dari 0,5 hektar) selalu kalah bersaing.

Ironis, petani “gurem” membeli pupuk non-subsidi, dengan harga lebih mahal. Maka kelangkaan, dan kesanggupan realisasi (APBN) subsidi pupuk, wajib menjadi koreksi bersama. Termasuk sebaran kartu subsidi pupuk, yang masih sangat tidak seimbang, lebih rendah dibanding jumlah petani. Niscaya berujung pada kelangkaan, karena tidak sesuai RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok). Dinas Pertanian di daerah (dan DPRD) selalu kelimpungan menghadapi protes kelompok petani.

Tetapi penggunaan pupuk patut mempertimbangkan saran ahli lingkungan ekologi pertanian. Karena penggunaan pupuk bisa merusak unsur tanah, dan top soil (30 sentimeter lapisan tanah paling atas). Pada masa kini penggunaan pupuk organi mulai direkomendasikan. Sehingga pemerintah (dan daerah) perlu pula mempertimbangkan membuat pabrik pupuk organik padat, dan cair. Sekaligus bisa mengurangi pengeluaran belanja pupuk.

Berdasar data BPS (Badan Pusat Statistik), Januari 2021 (bersamaan panen raya pertama), nilai tukar petani (NTP) menjadi 103,26. Naik tipis 0,01% dibanding bulan Desember 2020 (saat pemeliharaan ladang). Kelompok hortikultura naik sebesar 1%, sub-sektor perikanan naik 0,50%, serta perkebunan naik 0,42%.

NTP sebesar 103,26, berarti keuntungan usaha ke-pertani-an hanya sebesar 3,26%, dengan masa tunggu panen selama 4 bulan. Wajar kalangan milenial tidak tertarik menggeluti usaha ke-pertani-an, karena tidak feseable. Tidak keren, dan tidak men-janji-kan kemakmuran. Maka wajar pula kantung kemiskinan berada di pedesaan. Biaya besar dalam usaha ke-pertani-an, adalah faktor pupuk, dan tenaga penggarap yang bekerja secara manual, sederhana.

Kecemasan FAO, dijawab petani Indonesia dengan “prestasi,” bisa ekspor pangan. Kini giliran pemerintah berkewajiban meng-upgrade teknologi pertanian yang layak zaman. Pemerintah bisa mengadakan alat tanam, dan mesin panen, meminimalisir biaya ke-pertani-an. Daerah juga bisa meng-inisiasi mesin pembuat granula pupuk kompos dan pupuk kandang. Serta pemerintah desa bisa mengadakan selip padi. Berbagi kinerja meningkatkan kesejahteraan petani.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: