Panggung Perang Gender di Pilkada Jatim

Oleh :
Abd Hannan
Magister Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya. Aktif Sebagai Peneliti Poltracking Indonesia, Wilayah Jawa Timur. 

Setelah melalui babakan drama pencolanan yang cukup panjang, kontestasi Pilkada Jatim kini memasuki babak baru. Dua nama kontestan telah resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jatim. Ada nama Saifullah Yusuf (Gus Ipul) di bawah poros PDIP, PKB, Gerindra, PKS yang akan berduet dengan Puti Guntur Soekarno. Sementara kompetitornya, Khofifah Indar Parawansa, maju bersama Emil Elistiano Dardak, yang disokong oleh Partai Nasdem, PPP, Hanura, PAN, PKPI, dan Golkar.
Dengan formasi demikian, dapat dipastikan ajang sirkulasi kepemimpinan daerah Jatim akan menawarkan laga sengit dan menarik, karena akan menyajikan duel politik secara head to head. Tidak ada poros ketiga seperti yang santer diprediksikan banyak pengamat. Karena Geridra dan PKS yang sebelumnya digadang-gadang akan membentuk poros baru, akhirnya lebih memilih berlabuh ke Gus Ipul.
Jika melihat track record keduanya, boleh dibilang duel politik Gus Ipul vs Khofifah sebagai duel yang cukup berimbang. Tersebab, setiap paslon memiliki modal sosial yang cukup sama, baik secara kultural maupun struktural. Secara kultural, Gus Ipul dan Khofih lahir dan tumbuh besar dari tradisi sosial keagamaan yang sama, yakni NU. Sedangkan dari aspek struktural, pengalaman keduanya dalam dunia birokrasi tidak perlu diragukan. Gus Ipul tercatat sebagai Wakil Gubernur Jatim. Sedangkan Khofifah merupakan mantan menteri sosial dalam satuan Kabinet Kerja pimpinan Jokowi-JK.
Bukan Faktor Tunggal
Sejauh ini, pengamatan umum masyarakat lebih tertuju pada kekuatan aspek religio-ideologi masing-masing paslon. Faktor religio-ideologi diyakini banyak kalangan sebagai faktor dominan untuk membaca arah pergerakan suara. Artinya, besar kecilnya peluang kemenangan paslon dapat diukur melalui penguasaan mereka atas religio-ideologi. Pertanyaan besarnya kemudian, apakah dua aspek tersebut akan benar-benar jadi barometer tunggal dalam percaturan kepemimpinan Jatim?
Jika melihat pola subkultur masyarakat Jatim, antara kelompok Nahdhiyyin dan kelompok masyarakat nasional sesungguhnya memiliki basis massa cukup berimbang (Burhanuddin, 2018). Misalnya, wilayah Tapal Kuda – Madura memiliki akar tradisi dan kebudayaan sangat kuat dengan ciri-ciri NU. Sedangkan wilayah Matraman dan Arek merupakan basis kekuatan kelompok masyarakat nasionalis.
Berdasarkan formulasi masing-masing paslon, sejauh ini kita melihat peta kekuatan keduanya cukup berimbang, baik secara ideologi maupun apsek religio, elektalibitas maupun popularitas. Karenanya, dalam konteks pemilihan Jatim, perlu prediktor lain yang bisa dijadikan alternatif untuk mengukur gelombang suara di tingkat elektoral. Salah satu prediktor penjelas paling relevan untuk menjelaskan perilaku pemilih masyarakat Jatim adalah aspek gender (Burhanuddin, 2018).
Faktor Gender
Dalam kacamata tak lazim-terlepas dari pengamatan umum akan pengaruh mobilitas religio-ideologi-aspek gender bisa jadi satu penjelas. Jadi, sekarang yang menjadi indikator signifikan untuk memotret perilaku pemilih warga Jawa Timur ada pada subjektivitas gender masing-masing pemilih (Hooghe, 2004). Dari sudut matematika gender, laki-laki akan cenderung memilihi Gus Ipul dan perempuan akan memilih Khofifah.
Di satu sisi, paslon Khofifah relatif lebih diuntungkan, mengingat dirinya merupakan Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU. Dengan posisinya tersebut, sudah barang tentu Khofifah akan memiliki relasi kekuasaan lebih kuat untuk mengakomodasi suara kaum perempuan. Sayangnya, situasi ini nampaknya telah berhasil dibaca oleh pihak Gus Ipul. Perekrutan Puti Guntur Soekarno, yang didaulat sebagai pasangan Gus Ipul, dapat dimaknai sebagai strategi memecah belah suara perempuan. Dengan demikian, klaim bahwa Khofifah merupakan satu-satunya kontestan yang mewakili kalangan perempuan di Pilkada Jatim tidak lagi berlaku.
Namun di sisi lain, unsur gender dapat pula menjadi batu sandungan bagi Khofifah. Karena bisa jadi, isu gender yang dimainkan dalam pilkada nanti akan digiring pada wilayah misogenis. Yakni, dikotimisasi peran sosial melalui koomodifikasi teks-teks keagamaan (Rizter, 2012). Secara teologi, kedudukan perempuan dalam kepemimpinan birokrasi ataupun publik hingga kini masih menjadi term yang mengundang banyak perdebatan.
Situasi di atas, jelas akan dimanfaatkan oleh pihak Gus Ipul untuk menggoyahkan basis dukungan Khofifah. Dalam konteks politik sektoral, intrumen politik melalui cara demikian berpotensi memiliki daya ampuh. Apalagi, beberapa wilayah Jatim, khususnya daerah Tapal Kuda-Madura, memiliki tipikal fanatisme terhadap simbol keagaman, serta produk kebudayaan lokal yang bias hierarki, seperti patriarki.
Sampai di sini, meski perebutan tahta di wilayah Jatim terjadi dalam ruang kontestasi yang cukup alot, melibatkan unsur religio, ideologi, bahkan gender. Kita sangat berharap jalan sirkulasi politik tertap berjalan demokratis. Sehingga nuansa pilkada sebagai pesta lima tahunan rakyat dapat dinikmati oleh masyarakat Jatim secara damai, sejuk, dan menyenangkan. Semoga.

———— *** ————-

Tags: