Panglima TNI dan Hubungan Bilateral RI-AS

Oleh :
M. Syaprin Zahidi, MA
Dosen Pada Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Ditolak masuknya Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo ke Amerika Serikat menjadi headline dibeberapa media baik cetak ataupun elektronik dalam beberapa hari ini. Hal ini menurut penulis memang agak aneh karena seharusnya dalam hubungan antar negara apalagi terkait dengan kunjungan resmi pejabat pemerintahan maka hal-hal “memalukan” seperti ini tidak perlu terjadi. Walaupun menurut penjelasan dari pemerintah Amerika Serikat melalui Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (US Department of Homeland Security/DHS), penolakan tersebut terjadi karena adanya keterlambatan penerbitan dokumen protokol keamanan tapi menurut Penulis apapun alasannya maka bisa dipastikan bahwa Amerika Serikat terlihat “meremehkan” pejabat negara kita.
Pemerintah Menurut penulis memang sudah melakukan beberapa langkah cepat seperti memanggil Duta Besar AS untuk Indonesia yaitu Joseph Donovan untuk meminta klarifikasi mengenai masalah ini. Joseph Donovan akhirnya menghadap kepada Menteri luar negeri Retno Marsudi untuk mengklarifikasi masalah tersebut. Menurut Retno, dalam klarifikasinya Donovan menekankan delapan poin penting yang meyebabkan insiden tersebut terjadi yang intinya adalah karena terjadinya delay dan kesalahan adminsitratif dan Amerika Serikat meminta maaf karena permasalah ini dan tetap berkomitmen untuk menjaga hubungan baik dengan Indonesia.
Permintaan Maaf dari Amerika Serikat tersebut memang tentunya menjadi simbol dalam hubungan diplomatik sebagai bentuk pengakuan kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara dalam hal ini adalah Amerika Serikat. Bagi negara sebesar Amerika Serikat yang kadang terkesan “sombong” permintaan maaf ini berarti menunjukkan bahwa mereka merasa sangat membutuhkan Indonesia sebagai partner yang strategis di Asia Tenggara. sebagaimana diungkapkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa Amerika Serikat ini merupakan negara yang kadang enggan untuk menyampaikan permintaan maaf walaupun mereka salah dan ini ditambah lagi dengan pernyataan Menteri luar negeri Retno Marsudi yang mengungkapkan bahwa Dubes AS berkali-kali meminta maaf atas insiden tersebut.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah peristiwa ini akan berdampak pada hubungan bilateral RI-AS?. Jika kita menengok kembali ke sejarah, hubungan bilateral antara RI-AS secara resmi mulai terjalin ketika pada tanggal 28 Desember 1949 AS membuka kedutaan Besarnya di Indonesia dan menunjuk Horace Merle Cochran sebagai Duta Besarnya di Indonesia yang diikuti dengan penunjukan Dr. Ali Sastroamidjojo sebagai Duta Besar RI untuk AS pada tanggal 20 Februari 1950. Sejak secara resmi memiliki hubungan bilateral tensi hubungan kedua negara ini bisa dibilang mengalami tensi naik-turun. Kadang baik kadang buruk.
Titik paling nadir dari hubungan Indonesia-AS terjadi diera Soekarno ketika Ia menentang keterlibatan AS dalam permasalahan politik dalam negeri Indonesia. kita tentu juga masih ingat dengan jargon Soekarno yang menyebutkan “Amerika kita Setrika” yang menunjukkan bahwa hubungan buruk sedang terjadi waktu itu. Hal ini menjadi wajar karena waktu itu Soekarno yang beraliran NASAKOM (Nasionalis, Agamis dan komunis sangat tidak sejalan dengan Amerika Serikat yang mengutamakan Demokrasi Liberal.  Berbeda halnya ketika diera Soeharto, hubungan RI-AS terlihat mesra yang disebabkan oleh kebijakan Soeharto yang pro Amerika Serikat dengan demokrasi dan liberalisasinya. Pasca Soeharto hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat menjadi agak renggang terutama di era Habibie yang disebabkan oleh Embargo persenjataan oleh Amerika Serikat. Diera Gusdur, Megawati,  serta SBY hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat bisa dikatakan sudah mulai membaik hal ini disebabkan oleh beberapa peristiwa penting yang menimpa Amerika Serikat teutama pasca peristiwa 9/11 sehingga Amerika Serikat menganggap Indonesia sebagai partner Strategis dalam pemberantasan terorisme terutama di Asia Tenggara.  Diera Joko Widodo ini bisa dikatakan hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat memang baik-baik saja dan banyak kalangan menganggap bahwa insiden panglima TNI tersebut tidak akan mengganggu hubungan bilateral Indonesia-AS tersebut.
Hal yang menjadi penting pasca insiden panglima TNI ini menurut penulis adalah harus ada kesepakatan yang jelas antara Indonesia dan AS agar insiden ditolak masuknya pejabat Indonesia ke wilayah yurisdiksi AS tidak terulang lagi. Walaupun sudah ada permintaan maaf dari pemerintah Amerika Serikat namun ini tentunya akan menjadi noda merah dalam hubungan Indonesia-AS yang dicatat sejarah. Bentuk kesepakatan tersebut bisa saja dilakukan secara formal ataupun informal yang formulanya bisa disepakati oleh kedua belah pihak. Ini penting menurut penulis karena akan menunjukkan bargaining position kita yang tinggi terhadap pemerintah AS.
Hal yang menjadi penting kemudian adalah pemerintah Indonesia harus menerapkan standar yang tepat kepada negara-negara lain berkaitan dengan kunjungan pejabat Indonesia ke luar negeri. Catatan pentingnya adalah jangan sampai insiden panglima TNI tersebut terulang pada kunjungan pejabat Indonesia ketika berkunjung ke negara lain.

———————– *** ————————

Tags: