Pansus Lumpur Ajak Bupati Selesaikan Tanah Wakaf

DPRD Sidoarjo, Bhirawa
Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo tidak patah arang untuk memperjuangkan 55 tanah wakaf yang tenggelam lumpur Lapindo. Jalan menuju keberhasilan memang jalan berliku sehingga selama 10 tahun ini belum dibayar. Sudah berulangkali Pansus dibentuk selalu saja terkendala. Mulai dari keabsahan tanah, akta pemberi wakaf dan penerima wakaf (nadzir).
Ketua Pansus Lumpur, Mahmud, untuk mendesak pejabat pusat mengeluarkan diskresi  sudah dilakukan. Harapannya andaikan menteri agama mengeluarkan diskresi sebenarnya masalah tanah ini sudah selesai dan bisa dibayar. Tetapi karena kehati-hatian bahwa tanah wakaf yang digunakan sebagai tempat ibadah tidak bisa diperjualkabelikan. “Ya memang bunyi UU begitu, tetapi itu kondisi normal. Tetapi yang terjadi di Lapindo ini tidak normal, dibutuhkan kebijakan tidak normal untuk menyelesaikan,” ujarnya.
Bila menteri agama tidak mau mengeluarkan diskresi agar tanah wakaf bisa dibayar, sampai kapanpun akan sulit. Mungkin kesulitan uang pembayaran akan diserahkan siapa ? menurut ia, ada badan wakaf dan nadzir yang menjamin dan bertanggungjawab untuk mencarikan lahan pengganti. Ada ketentuan lain supaya nadzir mencari lahan pengganti dulu di tempat lain. pertanyaannya pakai uang siapa untuk membeli lahan pengganti.
Ada salah satu nadzir yang pernah memberi uang muka untuk tanah pengganti, tetapi akhirnya uang itu hangus dan tidak bisa ditarik karena  nadzir gagal melunasi sesuai perjanjian.
Mahmud punya harapan lain agar bupati Sidoarjo mau mengundang kementrian agama mulai dari pejabat pusat, provinsi, Sidoarjo, nadzir, badan wakaf dan BPLS dan Pansus Lumpur untuk duduk bersama guna menyelesaikan masalah ini. Setidaknya supaya ada titik temu. Kementrian agama pusat mempunyai sudut pandang yang sama dengan Pansus untuk memahami masalah ini cepat diselesaikan sehingga Pansus bisa mengurus tugas yang lain.
Tugas berikutnya yang diselesaikan adalah ganti rugi aset Pemkab Sidoarjo. ada 200 hektar lahan Pemkab seperti sekolah, kantor desa, jalan kabupaten dan sebagainya yang tenggelam. Itupun belum dibayar. Masih ada lagi Rp 800 miliar dana B to B yang juga belum dibayar. Lalu aset desa yang belum tuntas akibat ganti rugi yang rendah.
Ia mencontohkan salah satu desa di Kec Gedangan memiliki 10 hektar lahan di Porong yang sudah tenggelam. Tetapi dalam Perpres 14/2007 hanya diberi ganti rugi Rp 130 ribu/meter. Tentu saja pemilik tanah tidak mau. Karena itu Perpres 14 harus direvisi untuk menentukan besaran ganti rugi yang baru. [adv,hds]

Tags: