Pantau Keajegan Sekolah Patuhi Standar Proses

foto ilustrasi

BAP S/M Jatim, Bhirawa
Delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) menjadi dasar utama sekolah mendapatkan predikat akreditasi. Salah satunya standar proses yang di dalamnya mengatur batas maksimal dan minimal rombongan belajar (rombel) di satuan pendidikan.
Sekretaris Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah (BAP S/M) Jatim Muji Raharjo menuturkan, kemampuan sekolah memenuhi SNP menjadi penilaian. Tidak hanya saat proses assessment akreditasi, melainkan juga keajegan sekolah dalam menjaga nilai akreditasi sesuai SNP. “Itu yang melakukan langsung BAN (Badan Akreditasi Nasional). Kita bisa mengajukan rekomendasi agar dilakukan surveillance, karena tahun ini bisa saja baik saat akreditasi tapi tahun depan buruk lagi nilainya,” tutur Muji saat ditemui kemarin, Selasa (31/7).
Muji mengaku, sekolah yang tidak mampu memenuhi SNP sehingga hanya memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) tidak bisa mendapat nilai maksimal. Seperti halnya rombel yang dibatasi untuk SMK maksimal 72 rombel, SMA maksimal 36 rombel, SMP maksimal 33 rombel dan SD/MI maksimal 24 rombel. “Kalau ternyata lebih banyak dari angka maksimal tersebut berarti sekolah itu baru bisa memenuhi SPM, bukan SNP,” tutur Muji.
Jika ketahuan sekolah memiliki nilai yang rendah terhadap standar prosesnya, tidak menutup kemungkinan BAP S/M akan menurunkan predikat akreditasi sekolah tersebut. Tidak hanya BAP S/M, lanjut Muji, kontrol terhadap pelaksanaan standar proses juga akan dilakukan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). “Memang ada delapan standar yang nilainya diakumulasikan. Tapi kalau standar yang lain tidak ada yang menonjol atau bahkan lebih buruk, akreditasinya bisa turun itu,” tandasnya.
Karena hal tersebut, Muji berharap sekolah agar beroperasi sesuai ketentuan yang berlaku. Meskipun dalam kenyataanya, sekolah yang tidak sesuai standar tetap bisa menyelenggarakan pendidikan. Sebab, Kemendikbud juga tetap memberi payung hukum terhadap sekolah yang menyelenggarakan pendidikan dengan hanya menggunakan SPM.
Sementara itu, Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman menuturkan, tahun ini pihaknya telah memulai pengurangan rombel bagi sekolah-sekolah yang terlalu gemuk. Hal itu terjadi khususnya untuk Kota Surabaya dan Malang yang memiliki beberapa sekolah dengan rombel kegemukan. “Kita bertahap mengurangi rombel yang kelebihan. Disesuaikan dengan ketentuan Permendikbud,” tutur dia.
Kabid Pembinaan SMK Dindik Jatim Dr Hudiyono menambahkan, pengurangan tersebut telah diinstruksikan secara bertahap. Salah satu strateginya ialah tidak membuka kembali Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada gelombang kedua. “Kalau kita bicara rasio siswa dan kelas, semakin sedikit akan lebih baik,” kata dia.
Pengurangan rombel, kata dia, secara otomatis akan berdampak pada ketersediaan tenaga pendidik dan kependidikan. Karena itu, pengurangan rombel harus selaras dengan pemetaan kebutuhan guru yang mengajar. “Pasti ada efeknya terhadap jam mengajar guru. Tapi kan kita juga sedang mengejar peningkatan mutu sekolah,” pungkas dia. [tam]

Tags: