PAPBD Berat “di Ongkos”

Karikatur APBDKENISCAYAAN perekonomian Jatim “terseret” arus melemahnya perekonomian nasional. Tak terkecuali Perubahan APBD 2015, akan mengalami defisit hampir Rp 2,1 triliun. Walau pada ujungnya, diperkirakan defisit bisa ditutup dengan sisa APBD 2014 (masih surplus Rp 60,-). Maka potret perekonomian rakyat tidak jauh berbeda, akan mengalami defisit dan memerlukan penghematan besar-besaran. Juga diperlukan inovasi pemerintah agar perekonomian rakyat tidak tertindih.
Harus diakui, inilah dampak melemahnya nilai tukar terhadap dolar. Perubahan APBN 2015, juga telah merevisi nilai dolar AS senilai Rp 13 ribu. Pemerintah bagai tidak memiliki cara untuk menaikkan “martabat” rupiah. Maka pasti akan membebani rakyat. Harga bahan pangan yang bergantung pada impor (susu, kedelai, dan buah) terus merambat naik. Bersyukur, karena harga minyak dunia menuju tren turun. Sehingga tidak semakin menghimpit pengeluaran.
Defisit P-APBD, bagai seloroh berat “di ongkos.” Pemerintah dan rakyat, harus sama-sama berhemat. Bedanya, pemerintah daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) harus tetap inovatif dan loman. Misalnya, program riil peningkatan hasil produk pertanian, termasuk peternakan dan hasil perikanan serta kelautan. Konon penemuan spektakuler bidang pertanian (dan sudah diakui UNICEF) belum direspons positif.
Pendapatan Daerah pada P-APBD 2015, ditaksir hanya sebesar Rp 21,945 trilyun. Taksiran itu mengoreksi minus 4% (Rp 917,857 milyar) dibanding APBD 2015 sebelum perubahan. Sedangkan Belanja Daerah malah ditaksir terkoreksi naik 1,43% (Rp 339,645 milyar) menjadi Rp 24,060 trilyun. Namun hampir seluruh program pemerintah yang dikelompokkan sebagai Urusan Wajib dan Urusan Pilihan, mengalami penurunan.
Hanya kelompok Otonomi Daerah (Otoda) yang menyedot anggaran sampai hampir Rp 15,2  trilyun (63,17 total belanja daerah). Dominasi otonomi daerah itu sudah rutin, sehingga arus kas daerah benar-benar dibawah kontrol Kepala Daerah.  Maka prinsip efisiensi dan tekad “APBD untuk Rakyat,” harus tetap kukuh dilakukan untuk PAPBD 2015. Toh APBD untuk Rakyat, bukan berarti gratisan.
Prinsip penyelengaraan pemerintah masa kini seharusnya menganut asas entrepreneurship governance. Sehingga pendapatan pemerintah bukan hanya dari “menghisap” pajak rakyat, melainkan mampu berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri melalui usaha. Pada saat “paceklik” usaha oleh pemerintah bisa dijadikan talangan. Dalam hal ini, Pemprop telah memiliki 13 BUMD (Badan Usaha Milik Daerah). Namun hanya dua BUMD tergolong baik.
Prinsip entrepreneurship pemerintah daerah sebenarnya telah dijamin dalam  UUD pasal 18 ayat (2) serta pasal 18A ayat (2). Amanat ini di-breakdown pula dalam UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Misalnya yang diatur pada pasal 2, pasal 17, pasal 18 dan banyak lainnya. Lebih lagi, sudah terdapat  PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 30 tahun 2011, khususnya tertuang dalam pasal 49 tentang obligasi daerah.
PP 30 tahun 2011 sudah bisa dilaksanakan, setelah Kementerian Keuangan menerbitkan Permenkeu Nomor 111 tahun 2011. PP ini juga dapat menjadi ukuran terhadap baik-buruknya pemerintah daerah. Yakni, manakala obligasi daerah laris (sangat diminati di pasar modal), menandakan pemerintah daerah yang telah baik. Sebaliknya, obligasi daerah tidak laku manakala penyelenggaraan pemerintah daerah masih buruk, banyak korupsi, pungli, tidak aman, serta penegakan hukumnya rendah.
Berdasarkan peraturan tersebut, obligasi bisa ditawarkan untuk membiayai program yang dapat menghasilkan penerimaan. Misalnya, membangun jalan tol, terminal, pelabuhan atau sarana publik komersial lainnya. Pemprop Jawa Timur  sebenarnya memiliki banyak peluang proyek “mercusuar” yang bisa menarik obligasi daerah. Apakah obligasi daerah Jawa Timur akan laku? Wallahu a’lam.
Andai Pemprop sukses dalam entrepreneurship, PAD-nya pasti akan meningkat, bisa membuat program kerakyatan lebih masif.

                                                                                                           ———   000   ———

Rate this article!
Tags: