Papua (Makin) Basodara

Simpati, dan pembelaan situasi terhadap Papua (dan Papua Barat) makin deras mengalir. Pendinginan situasi dinyatakan tokoh-tokoh lintas suku dan agama-agama, sebagai pencerahan ke-Indonesia-an. Atasnama negara, personel aparat keamanan ditambahkan ke Papua. Bukan untuk “meng-gebuk,” melainkan menjamin rasa aman masyarakat. Tetapi pelaku kriminal, dan penyebar berita hoax rasisme, akan dihukum.
Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Papua, juga telah berperan aktif menjembatani kecamuk sosial saat ini. FKUB yang dipimpin Pendeta Lipiyus Biniluk, merangkum tokoh lintas agama. Termasuk KH Payage, putra daerah asli Papua (asal Silimo Yakohimo), alumni pesantren Sukorejo, Situbondo, (Jawa Timur). FKUB “menyerahkan” pembinaan masyarakat Papua (dan Papua Barat) di perantauan kepada pemerintah.
Secara khusus pembinaan ke-Indonesia-an diserahkan kepada NU (Nahdlatul Ulama), dan Pemuda Ansor. Juga pembinaan oleh pemerintah daerah di tanah rantau. Terutama di daerah tujuan pendidikan, Bandung, Yogya, Malang, mahasiswa asal Papua sering menjadi incaran provokasi. Diharapkan pemerintah lebih memperhatikan “inklusifitas” pemuda Papua.
Seyogianya Pemerintah Daerah (propinsi, serta kabupaten, kota se-Papua dan Papua Barat) juga me-wanti wanti warganya yang merantau. Terutama menghindari provokasi rasisme. Walau sesungguhnya, masyarakat Papua di perantauan biasa dikenal pandai membawa diri, santun, dan lucu. Hanya sebagian kecil pemuda terpicu provokasi, turut demo mendukung gerakan separatis di daerah rantau! Penyusupan paham separatis menyebabkan pen-jauh-an pemuda Papua dari pergaulan kebangsaan.
Banyak pemuda Papua belajar di berbagai pesantren di Jawa Timur. Termasuk yang non-muslim, turut dalam misi pembelajaran (perbandingan) agama-agama. Sehari-hari mengenakan sarung dan kopyah, tetapi tidak turut shalat. Pemandangan yang biasa di pesantren Tebu Ireng, Jombang. Namun ada pula pemuda Papua muslim, dengan seksama menjadi santri. Sampai sukses menjadi ulama, dan aktif dalam gerakan dakwah di tanah Jawa, tanpa radikalisme.
Simpati, dan pembelaan terhadap masyarakat Papua, sesungguhnya makin gencar dilakukan. Bahkan presiden Abdurrahman Wahid, diakui sangat berjasa mengembalikan kebanggaan masyarakat melalui nama daerah “Papua.” Nama daerah ini selama lebih 40 tahun seolah-olah tenggelam, nyaris “di-haram-kan.” Presiden Gus Dur bahkan menggagas terbitnya UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomis Khusus Papua.
UU Otonomi Khusus Papua, diterbitkan berdasar kesadaran murni presiden Gus Dur. Bukan desakan (ancaman) pihak yang bersengketa. Berbeda dengan ke-otonomi-an Aceh yang disepakati berdasar UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Berdasar catatan sejarah kenegaraan, UU Pemerintahan Aceh tahun 2006, merupakan lanjutan dari nota kesepahaman antara pemerintah dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
Dengan status otonomi, Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran kultural dan kemegahan jati diri masyarakatnya. Juga dibentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua. MRP memiliki kewenangan khusus, dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, berlandaskan adat budaya.
UU Otonomi Khusus Papua (beserta propinsi pemekaran), pernah direvisi, menjadi UU Nomor 35 tahun 2008. Serta konsekuensi otonomi khusus yang berupa anggaran, telah digelontorkan. Selama 15 tahun, jumlahnya mencapai puluhan trilyun rupiah. Namun hingga tahun 2017, indeks pembangunan manusia (IPM) masih rendah. Hanya di kota Jayapura, IPM tergolong tinggi (lebih dari 70).
Sejak tahun 2019, IPM masyarakat Papua diperkirakan telah sejajar dengan 20 propinsi lain, yang tergolong tumbuh sedang (dengan angka indeks di atas 61). Makin layak disebut “basodara” Indonesia. Pemerintah (dan Pemda se-Papua) wajib menjamin peningkatan kesetaraan pembangunan kawasan. Terutama melalui pendidikan, dan bagi hasil kekayaan sumber daya alam secara berkeadilan.

——— 000 ———

Rate this article!
Papua (Makin) Basodara,5 / 5 ( 1votes )
Tags: