Papua Satu Adat 1 Syura

Kirab pusaka adat kerajaan seantero Nusantara bagai berlangsung dalam keprihatinan. Persatuan Nusantara sedang dirundung duka karena insiden unjukrasa berlatar rasialis di Papua (dan Papua Barat). Sampai di keraton Kesultanan Ternate perlu diselenggarakan acara bergandeng tangan mengelilingi pulau. Sekaligus membacakan doa selamat negeri. Berbagai keraton adat yang lain di Jawa (dan Sunda), juga diselenggarakan “keprihatinan” 1 Syura tahun ini.
Ternate (di Maluku) kawasan terdekat Papua. Memiliki sejarah panjang pertautan antara masyarakat Maluku Utara (khususnya Ternate dan Tidore). Juga memiliki ciri paling mirip dengan warga Papua, yang dahulu digolongkan sebagai Melanesia. Bahkan pada tahun 1646, Kerajaan Tidore memberi nama pulau di sebelah timurnya, sebagai Papa-Ua, wilayah yang tidak menyatu (terpisah). Sebagian masyarakat (dan pembesar) Ternate, dan Tidore, telah memiliki ladang di Papua, selama berabad-abad.
Berdasar catatan sejarah, pertautan kekeluargaan (hubungan perkawinan) antara sultan-sultan di Maluku dengan masyarakat Papua. Setidaknya tercatat 14 kerajaan di Papua, merupakan keturunan sultan-sultan Maluku. Antara lain, di pesisir pulau Biak, dan kabupaten Raja Ampat (Papua Barat) terdapat empat kerajaan yang merupakan lingkaran kerajaan Bacan, dan kesultanan Ternate. Juga dua kerajaan di pulau Salawati, dan kerajaan Kaimana (di Papua Barat).
Sigi sejarah lebih tua, Papua terhubung dengan kerajaan asal Jawa Timur. Tahun 1365, kitab Negarakertagama mencatat kerajaan Majapahit telah menguasai, dan memberi perlindungan masyarakat pulau Wanin (disebut Onin), pemukiman di pesisir kabupaten Fak-fak. Papua, adalah keluarga kesultanan Ternate dan Tidore, merupakan keniscayaan sejarah. Bagian tak terpisahkan dari Nusantara (Indonesia).
Maka wajar, tragedi) amuk masa di Papua, dan Papua Barat, menjadi keprihatinan warga Maluku Utara. Memperingati tahun baru Islam, bulan Muharram (Asyura) 1441 Hijriyah, akan digelar acara Coho Gia Kololi Kie (bergandeng tangan kelilingi gunung). Dikemas dalam even Indonesia Creative Cities Festival (ICCF). Acara pada hari ketujuh Muharram (6 September) ini, digelar di kedaton Kesultanan Ternate.
Setelah doa bersama, dilanjutkan dengan doa bersama ratusan ribu peserta dari berbagai daerah seluruh Indonesia. Bendera merah-putih akan mengiringi bentang gandeng tangan mengelilingi Ternate. Penyelenggara (termasuk putra mahkota kesultanan Ternate) telah meminta ke-seksama-an peserta. Sesuai filosofi persiapan (pensucian) pada hari Jumat sebagai “penghulu” waktu. Serta, gandeng tangan (diirngi doa) hanya berlangsung selama 7 menit.
Ke-Indonesia-an Papua, “dikembalikan” oleh Presiden Abdurrahman Wahid, pada momentum bulan Ramadhan tahun 1999. Akhir tahun itu, bertepatan pada hari Jumat, 23 Ramadhan, nama Papua, digunakan lagi. Sebelumnya, selama dua dekade lebih, nama Papua kelelap, berganti “Irian.” Papua semakin memiliki pengharapan dengan terbitnya UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomis Khusus Papua.
Seharusnya rakyat Papua sudah memperoleh manfaat pembangunan. Karena UU Otonomi Khusus disertai anggaran cukup besar, mencapai Rp 75 trilyun (dalam beberapa tahun APBN). Namun hingga tahun 2017, indeks pembangunan manusia (IPM) masih rendah. Hanya di kota Jayapura, IPM tergolong tinggi (lebih dari 70). Hampir setingkat dengan kota Semarang (Jawa Tengah), dan Bandung (Jawa Barat). Tetapi tahun 2019, diperkirakan telah tergolong “sedang,” hanya tertinggal dibanding IPM di Jawa.
Perayaan tahun baru Hijriyah 1441 (tahun 2019), dapat dijadikan momentum lebih memperhatikan rakyat Papua (dan Papua Barat). Terutama di Biak, Raja Ampat, Fak-fak, dan Salawati. Majelis Rakyat Papua (yang menjadi sasaran unjukrasa) dapat bekerjasama dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB yang dipimpin Pendeta). Bersama menghadapi gertakan dan hasutan rasialisme.

——— 000 ———

Rate this article!
Papua Satu Adat 1 Syura,5 / 5 ( 1votes )
Tags: