Paradigma “Audisi” Pilkada

Pilkada (00000000)Pilkada serentak tidak selalu dapat diselenggarakan bersamaan. Konstitusi juga telah meng-antisipasi situasi yang bisa dimanfaatkan oleh parpol maupun  bakal pasangan calon untuk mengundur jadwal pilkada. Meski konstitusi tidak memberi jalan keluar yang logis (dan manjur) mencegah ke-tidak menentu-an pilkada. Aksi “bumbung kosong” kini menjadi permainan elit politik. Kini makin mencuat aksi “jual beli” pasangan calon, yang  rela wajib kalah?!
Tidak mudah menjadi pasangan calon “wajib kalah,” karena mempertaruhkan reputasi. Kecuali personel dengan tingkat moral rendah, nyaris tiada tokoh normal yang bersedia dikorbankan. Karena itu pasangan calon “boneka” menjadi tren politik yang berharga mahal. Ini agar terhindar dari pengunduran pilkada sampai tahun 2017, karena syahwat politik sebagian elit sulit ditahan. Terutama elit parpol pada tataran pengurus pusat (DPP, Dewan Pimpinan Pusat).
Sebenarnya penundaan pilkada serentak, bukan hal terlarang. Bahkan diamanatkan UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada (Propinsi, Kabupaten dan Kota). Pada pasal 49 ayat (8), digunakan untuk pilkada Gubernur. Dinyatakan “Dalam hal … pasangan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari 2 (dua) pasangan calon, tahapan pelaksanaan pemilihan ditunda paling lama 10 (sepuluh) hari.”
Untuk pilkada Bupati dan Walikota, norma yang sama persis, juga diulang pada pasal 50 ayat (8). Dilanjutkan pada ayat (9), dinyatakan, “KPU Kabupaten/Kota membuka kembali pendaftaran pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta  pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota paling lama 3 (tiga) hari setelah penundaan tahapan ….”
Artinya, setelah pendaftaran secara normal tidak terpenuhi persyaratan adanya (minimal) dua pasangan calon, maka terdapat waktu selama 13 hari. Seyogianya, Peraturan KPU bersandar pada amanat UU Pilkada ini. Tidak lebih tidak kurang. Karena manakala ditetapkan pengunduran hanya 3 hari, berarti mengurangi hak hak parpol maupun perorangan untuk mempersiapkan bakal pasangan calon. Bahkan setelah penundaan selama 10 hari masih diberi tambahan tiga hari lagi.
Menilik pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), sebenarnya tidak perlu penafsiran lain, Karena itu pada lembaran penjelasan, pasal 49 maupun pasal 50, dinyatakan telah jelas.  Jadi, manakala (andai) terjadi dead-lock pada tanggal 31 Juli, maka KPU Kabupaten dan KPU Kota bisa membuka kembali pendaftaran pasangan calon pada tanggal 13 Agustus. Dan, jika sampai 13 Agustus tetap hanya satu pasangan calon, maka domain KPU untuk menyatakan menunda pilkada sampai 2017.
Dengan taat asas menuruti UU Nomor 8 tahun 2015, sebenarnya tidak perlu rekomendasi dari Bawaslu. Karena pengunduran selama tujuh hari pun, juga tidak sesuai amanat UU Pilkada. Begitu pula sangat tidak elok (tidak realistis) untuk menggugat Peraturan KPU, karena menunggu keputusan Pengadilan pasti akan “ketinggalan kereta” jadwal pilkada.
Padahal, penyimpangan (Peraturan KPU) terhadap UU Pilkada, akan berkonsekuensi panjang. Terutama pasangan calon yang berasal dari legislatif, telah menyatakan mundur sejak awal mendaftar di KPUD. Sebab pernyataan mundur merupakan persyaratan untuk mendaftar sebagai pasangan calon dalam pilkada. Persyaratan tersebut merupakan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) terhadap UU Nomor 8 tahun 2015, pasal 7 huruf s.
Calon tunggal dalam pilkada, memang bagai celah UU Nomor 8 tahun 2015. Bagai tiada jalan keluar. Misalnya, andai diundur pada tahun 2017 dengan tetap pada situasi calon tunggal. Apakah pilkada diundur sampai tahun 2018, atau tahun 2022? Tetapi paradima pilkada, mirip dengan audisi calon bintang dunia hiburan. Manakala audisi hanya diikuti satu orang, pasti audisi akan diundur sampai diikuti oleh banyak peserta, atau audisi dibatalkan.

                                                                                                                      ———    000   ———

Rate this article!
Tags: